Golkar Apresiasi Sikap Tegas Jokowi Soal Amendemen UUD 1945
A
A
A
JAKARTA - Fraksi Partai Golkar MPR RI menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebutkan bahwa pemilihan langsung serta pembatasan masa jabatan periodesasi presiden dan wakil presiden adalah hasil reformasi, sejalan dengan sikap Golkar. Sikap Jokowi yang menolak keras wacana pemilihan presiden oleh MPR dan periodesasi presiden bisa diperpanjang menjadi tiga periode dinilai sudah tepat.
Ketua Fraksi Golkar di MPR RI, Idris Laena mengatakan ungkapan Jokowi tersebut sejalan dengan sikap Fraksi Golkar MPR. Bahkan, Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto pada acara penutupan Munas X Golkar 2019 di Jakarta pada Kamis (6/12/2019), menyebutkan bahwa Golkar tidak akan mengutak-atik UUD 1945.
Menurutnya, tidak ada urgensinya melakukan perubahan UUD Negara RI 1945. “Dan jika hanya terkait soal isu pokok-pokok haluan negara maka dapat dibuat dalam bentuk undang-undang,” ujarnya di Jakarta, Minggu (8/12/2019).
Mengamendemen UUD Negara 1945, kata Idris, bukan perkara yang mudah karena menyangkut konstitusi negara dan hukum dasar negara yang menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Dia menilai jika ada satu pasal saja yang berubah maka hal ini akan memengaruhi seluruh produk peraturan perundang-undangan di bawahnya.
“Ini sudah barang tentu juga mempengaruhi kebijakan pemerintah,” ucapnya.
Karena itulah, lanjut Idris, pada Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, pengaturan perubahan tidak mudah karena dalam ayat (1) disebutkan bahwa usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam Sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
”Karena itu, patut kita pahami kekhawatiran Presiden Jokowi. Bayangkan jika 1/3 anggota Majelis mengajukan usul dengan masing-masing alasannya karena sesuai dengan aspirasi yang diserap dari daerah pemilihannya maka betul-betul terjadi bahwa akan melebar ke mana-mana. Jangan lupa bahwa hak konstitusi melekat kepada masing-masing anggota Majelis, bukan pada fraksi-fraksi atau kelompok di MPR RI,” tuturnya.
Bagaimana jika usul perubahan sudah disetujui? Menurut Idris Laena, pada ayat (3) mengatur bahwa untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 atau 470 orang dari jumlah anggota MPR. Kemudian, putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD, pada ayat (4) disebutkan bahwa dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
“Amandemen ke 4 UUD Negara RI 1945 mengisyaratkan bahwa perubahan UUD tentu tidak perlu terlalu mudah. Barangkali yang perlu juga disinggung adalah kebiasaan kita membandingkan dengan negara lain. Misalnya, konstitusi Amerika Serikat yang sudah diamendemen sebanyak 27 kali. Padahal kita semestinya juga memahami bahwa Sistem Federasi yang berlaku di AS sudah pasti berbeda dengan sistem di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelasnya.
Dia mencontohkan, amendemen ke-10 Konstitusi AS menyatakan bahwa kekuasaan yang tidak secara spesifik ditujukan kepada pemerintah pusat maka diserahkan kepada masing-masing negara bagian. Di bawah Sistem Federasi, setiap tahun negara bagian mengeluarkan undang-undang.
Lantas, kerap kali sebuah undang-undang di satu negara bagian berbeda dengan negara bagian yang lain, meskipun pada isu yang sama. Intinya, Konstitusi AS hanyalah mengatur hal-hal dasar yang menyangkut urusan Federasi.
Ketua Fraksi Golkar di MPR RI, Idris Laena mengatakan ungkapan Jokowi tersebut sejalan dengan sikap Fraksi Golkar MPR. Bahkan, Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto pada acara penutupan Munas X Golkar 2019 di Jakarta pada Kamis (6/12/2019), menyebutkan bahwa Golkar tidak akan mengutak-atik UUD 1945.
Menurutnya, tidak ada urgensinya melakukan perubahan UUD Negara RI 1945. “Dan jika hanya terkait soal isu pokok-pokok haluan negara maka dapat dibuat dalam bentuk undang-undang,” ujarnya di Jakarta, Minggu (8/12/2019).
Mengamendemen UUD Negara 1945, kata Idris, bukan perkara yang mudah karena menyangkut konstitusi negara dan hukum dasar negara yang menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Dia menilai jika ada satu pasal saja yang berubah maka hal ini akan memengaruhi seluruh produk peraturan perundang-undangan di bawahnya.
“Ini sudah barang tentu juga mempengaruhi kebijakan pemerintah,” ucapnya.
Karena itulah, lanjut Idris, pada Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, pengaturan perubahan tidak mudah karena dalam ayat (1) disebutkan bahwa usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam Sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
”Karena itu, patut kita pahami kekhawatiran Presiden Jokowi. Bayangkan jika 1/3 anggota Majelis mengajukan usul dengan masing-masing alasannya karena sesuai dengan aspirasi yang diserap dari daerah pemilihannya maka betul-betul terjadi bahwa akan melebar ke mana-mana. Jangan lupa bahwa hak konstitusi melekat kepada masing-masing anggota Majelis, bukan pada fraksi-fraksi atau kelompok di MPR RI,” tuturnya.
Bagaimana jika usul perubahan sudah disetujui? Menurut Idris Laena, pada ayat (3) mengatur bahwa untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 atau 470 orang dari jumlah anggota MPR. Kemudian, putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD, pada ayat (4) disebutkan bahwa dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
“Amandemen ke 4 UUD Negara RI 1945 mengisyaratkan bahwa perubahan UUD tentu tidak perlu terlalu mudah. Barangkali yang perlu juga disinggung adalah kebiasaan kita membandingkan dengan negara lain. Misalnya, konstitusi Amerika Serikat yang sudah diamendemen sebanyak 27 kali. Padahal kita semestinya juga memahami bahwa Sistem Federasi yang berlaku di AS sudah pasti berbeda dengan sistem di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelasnya.
Dia mencontohkan, amendemen ke-10 Konstitusi AS menyatakan bahwa kekuasaan yang tidak secara spesifik ditujukan kepada pemerintah pusat maka diserahkan kepada masing-masing negara bagian. Di bawah Sistem Federasi, setiap tahun negara bagian mengeluarkan undang-undang.
Lantas, kerap kali sebuah undang-undang di satu negara bagian berbeda dengan negara bagian yang lain, meskipun pada isu yang sama. Intinya, Konstitusi AS hanyalah mengatur hal-hal dasar yang menyangkut urusan Federasi.
(kri)