Memprihatikan, Cuma 50% Rumah Tangga yang Punya Sanitasi Standar
A
A
A
KESADARAN memiliki sistem sanitasi yang baik tampaknya masih belum menjadi hal wajib bagi masyarakat Indonesia. Padahal jika itu dibiarkan, maka akan berdampak pada lingkungan sekitar dan kesehatan.
Tahun lalu, Bank Dunia pernah melansir bahwa sebanyak 2,3 miliar orang hidup tanpa akses ke layanan sanitasi dasar. Ironisnya lagi, hampir sebanyak 892 juta orang di antaranya melakukan buang air besar sembarangan.
Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan, meski kemudian ada peningkatan signifikan, yakni lebih dari 2,2 miliar orang memperoleh akses ke toilet atau jamban yang lebih baik sejak 1990. Padahal, sanitasi adalah salah satu Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang paling tidak sesuai jalur global.
Saat ini, hanya 68% populasi dunia yang memiliki akses ke sanitasi dasar, dan hanya 39% orang yang memiliki akses ke sanitasi yang dikelola dengan aman. Selanjutnya, 72 orang di Afrika Sub-Sahara dan 50 orang di Asia Selatan masih kekurangan akses ke layanan sanitasi dasar misalnya toilet atau jamban yang lebih baik. Itu artinya, dunia kehilangan target MDG untuk sanitasi oleh hampir 700 juta orang.
Menurut pengamat lingkungan Harry Surjadi, penggambaran sanitasi yang terjadi saat ini memang cukup memprihatinkan. Termasuk, di Ibu kota Jakarta. Menurut dia, masih banyak warga Ibu Kota yang belum memiliki sanitasi memadai.
"Jangan melihat persoalan sanitasi sebagai masalah tidak penting, dan hanya tertuju pada ketiadaan sanitasi semata. Namun, lihat dari permukimannya masih banyak kampung kumuh di Jakarta dan sanitasinya yang belum memadai," kata Harry saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
Dia menambahkan, permasalahan sanitasi saat ini tentu sangat berhubungan dengan permasalahan tempat tinggal. Jika tempat tinggalnya berada di lingkungan bersih dan tidak berada di bantaran kali, tentunya masalah sanitasi itu akan bisa ditanggulangi.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Purnawan Junaidi menambahkan, pola peduli akan kesehatan sanitasi sebenarnya sudah terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, di beberapa wilayah pedalaman atau pinggiran Jakarta saja masih ada yang tidak memiliki jamban dan fasilitas sanitasi yang memadai.
Menurut Purnawan, hanya 50% rumah tangga di Indonesia yang sudah memiliki sanitasi sesuai standar. Tidak hanya itu, kesadaran akan kebersihan diri belum menjadi kebiasaan yang selalu dilakukan.
"Hanya separuh yang memiliki kesadaran akan kebiasaan mencuci tangan, angkanya tidak terlalu besar yakni sekitar 80%," ungkapnya.
Kesadaran akan pola hidup bersih masyarakat Indonesia terlebih lagi akan sanitasi berpengaruh besar akan kesehatan. Seperti penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare merupakan dua penyakit yang disebabkan oleh kurang baiknya sistem sanitasi.
”Sampai saat ini kasus diare akibat dari pengolahan sanitasi tidak baik sudah mencapai 31%, dan ini telah mengakibatkan kematian pada anak-anak usia 1 bulan hingga 1 tahun. Sementara rata-rata yang mengidap ISPA mencapai 25% dengan angka tertinggi berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur," kata Purnawan.
Agar masyarakat bisa mengerti pentingnya kesehatan, harus ada faktor yang mendorong agar masyarakat lebih sadar hidup higienis supaya kesehatan keluarga lebih terjamin. Menurut Purnawan, di Jakarta 40% sumur yang ada di rumah tangga hanya berjarak 10 meter dari septic tank. Hal ini menunjukkan bahwa air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tidak sesuai dengan standar kesehatan.
Perilaku sehari-hari dan kebiasaan masyarakat tentang kebersihan masih kurang. Hal ini pun bisa diajarkan dari bagaimana membuang sampah di tempatnya hingga melakukan cuci tangan sebelum melakukan aktivitas makan.
”Perilaku tentang pola hidup sehat seharusnya bisa diajarkan sedari kecil terutama saat berada di lingkungan keluarga dan sekolah. Oleh karena itu, kegiatan positif harus terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari," jelasnya.
Di samping itu, pemerintah terus mencari cara untuk menyelesaikan masalah sanitasi yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
"Program tersebut sebenarnya sudah lama digerakkan, tapi hasilnya belum terlihat karena banyak faktor yang memengaruhinya. Seperti masih kurangnya pihak yang terjun langsung untuk mendukung gerakan ini. Selain itu, peningkatan ketersediaan sarana dan memastikan adanya manajemen informasi,” ujarnya.
Yang jelas, dana untuk bisa menjalankan program sanitasi ini harus benar-benar diperhitungkan mulai daerah hingga nasional.
Sementara itu Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes, Kirana Pritasari mengatakan, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) hadir untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Menurutnya, indikator STBM adalah individu dan komunitas punya akses terhadap sarana sanitasi dasar sehingga dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air di sembarang tempat (ODF).
Bukan hanya itu, masalah pengelolaan air pun turut menjadi perhatian. Baik di rumah tangga maupun sarana pelayanan umum seperti sekolah, kantor, rumah makan, puskesmas, pasar, terminal. Di tempat-tempat itu harus tersedia fasilitas cuci tangan sehingga setiap orang dapat mencuci tangan dengan benar.
"Setiap rumah tangga juga wajib mengelola limbah, juga sampah dengan benar," ungkapnya.
Dia mengatakan, STBM meliputi tiga komponen yang saling mendukung satu sama lain dengan penciptaan lingkungan yang kondusif, peningkatan kebutuhan sanitasi, dan peningkatan penyediaan akses sanitasi.
Sebagai bukti keseriusan, Kemenkes memberikan apresiasi bagi pemerintah daerah yang berupaya maksimal dalam pengelolaan sanitasi. Kemenkes mengadakan STBM Award yang merupakan tindak lanjut dari kesepakatan Rakornas STBM 2017 tentang kerja sama 5 kementerian dalam penuntasan akses sanitasi masyarakat. Award ini bertujuan memberikan apresiasi kepada kabupaten/kota yang telah berhasil pada pilar 1 STBM serta mengupayakan keberlanjutannya.
"Adanya STBM Award Berkelanjutan diharapkan akan menjadi pemicu bagi daerah lain untuk mencapai target STBM dan melahirkan banyak inovasi untuk percepatan Universal Akses 2020 maupun SDG’s 2030," jelasnya.
Pada 2019 terdapat 19 kabupaten/kota yang mencapai ODF dan mendapatkan anugerah STBM Award Berkelanjutan 2019. Mereka adalah Sulawesi Selatan (Kab Bantaeng, Soppeng, Kota Palopo), Sumatera Barat (Kota Payakumbuh dan Kota Solok), Jawa Tengah (Kab Sragen, Klaten, Blora, Rembang, Temanggung, Kendal, Kota Salatiga, dan Kota Surakarta/Solo), Lampung (Kab Way Kanan), Jawa Timur (Kab Pamekasan, Kota Malang, dan Kota Kediri), dan Kab Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) dari Sumatera Selatan. (Aprilia S Andyna/Ananda Nararya)
Tahun lalu, Bank Dunia pernah melansir bahwa sebanyak 2,3 miliar orang hidup tanpa akses ke layanan sanitasi dasar. Ironisnya lagi, hampir sebanyak 892 juta orang di antaranya melakukan buang air besar sembarangan.
Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan, meski kemudian ada peningkatan signifikan, yakni lebih dari 2,2 miliar orang memperoleh akses ke toilet atau jamban yang lebih baik sejak 1990. Padahal, sanitasi adalah salah satu Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang paling tidak sesuai jalur global.
Saat ini, hanya 68% populasi dunia yang memiliki akses ke sanitasi dasar, dan hanya 39% orang yang memiliki akses ke sanitasi yang dikelola dengan aman. Selanjutnya, 72 orang di Afrika Sub-Sahara dan 50 orang di Asia Selatan masih kekurangan akses ke layanan sanitasi dasar misalnya toilet atau jamban yang lebih baik. Itu artinya, dunia kehilangan target MDG untuk sanitasi oleh hampir 700 juta orang.
Menurut pengamat lingkungan Harry Surjadi, penggambaran sanitasi yang terjadi saat ini memang cukup memprihatinkan. Termasuk, di Ibu kota Jakarta. Menurut dia, masih banyak warga Ibu Kota yang belum memiliki sanitasi memadai.
"Jangan melihat persoalan sanitasi sebagai masalah tidak penting, dan hanya tertuju pada ketiadaan sanitasi semata. Namun, lihat dari permukimannya masih banyak kampung kumuh di Jakarta dan sanitasinya yang belum memadai," kata Harry saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
Dia menambahkan, permasalahan sanitasi saat ini tentu sangat berhubungan dengan permasalahan tempat tinggal. Jika tempat tinggalnya berada di lingkungan bersih dan tidak berada di bantaran kali, tentunya masalah sanitasi itu akan bisa ditanggulangi.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Purnawan Junaidi menambahkan, pola peduli akan kesehatan sanitasi sebenarnya sudah terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, di beberapa wilayah pedalaman atau pinggiran Jakarta saja masih ada yang tidak memiliki jamban dan fasilitas sanitasi yang memadai.
Menurut Purnawan, hanya 50% rumah tangga di Indonesia yang sudah memiliki sanitasi sesuai standar. Tidak hanya itu, kesadaran akan kebersihan diri belum menjadi kebiasaan yang selalu dilakukan.
"Hanya separuh yang memiliki kesadaran akan kebiasaan mencuci tangan, angkanya tidak terlalu besar yakni sekitar 80%," ungkapnya.
Kesadaran akan pola hidup bersih masyarakat Indonesia terlebih lagi akan sanitasi berpengaruh besar akan kesehatan. Seperti penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare merupakan dua penyakit yang disebabkan oleh kurang baiknya sistem sanitasi.
”Sampai saat ini kasus diare akibat dari pengolahan sanitasi tidak baik sudah mencapai 31%, dan ini telah mengakibatkan kematian pada anak-anak usia 1 bulan hingga 1 tahun. Sementara rata-rata yang mengidap ISPA mencapai 25% dengan angka tertinggi berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur," kata Purnawan.
Agar masyarakat bisa mengerti pentingnya kesehatan, harus ada faktor yang mendorong agar masyarakat lebih sadar hidup higienis supaya kesehatan keluarga lebih terjamin. Menurut Purnawan, di Jakarta 40% sumur yang ada di rumah tangga hanya berjarak 10 meter dari septic tank. Hal ini menunjukkan bahwa air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tidak sesuai dengan standar kesehatan.
Perilaku sehari-hari dan kebiasaan masyarakat tentang kebersihan masih kurang. Hal ini pun bisa diajarkan dari bagaimana membuang sampah di tempatnya hingga melakukan cuci tangan sebelum melakukan aktivitas makan.
”Perilaku tentang pola hidup sehat seharusnya bisa diajarkan sedari kecil terutama saat berada di lingkungan keluarga dan sekolah. Oleh karena itu, kegiatan positif harus terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari," jelasnya.
Di samping itu, pemerintah terus mencari cara untuk menyelesaikan masalah sanitasi yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
"Program tersebut sebenarnya sudah lama digerakkan, tapi hasilnya belum terlihat karena banyak faktor yang memengaruhinya. Seperti masih kurangnya pihak yang terjun langsung untuk mendukung gerakan ini. Selain itu, peningkatan ketersediaan sarana dan memastikan adanya manajemen informasi,” ujarnya.
Yang jelas, dana untuk bisa menjalankan program sanitasi ini harus benar-benar diperhitungkan mulai daerah hingga nasional.
Sementara itu Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes, Kirana Pritasari mengatakan, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) hadir untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Menurutnya, indikator STBM adalah individu dan komunitas punya akses terhadap sarana sanitasi dasar sehingga dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air di sembarang tempat (ODF).
Bukan hanya itu, masalah pengelolaan air pun turut menjadi perhatian. Baik di rumah tangga maupun sarana pelayanan umum seperti sekolah, kantor, rumah makan, puskesmas, pasar, terminal. Di tempat-tempat itu harus tersedia fasilitas cuci tangan sehingga setiap orang dapat mencuci tangan dengan benar.
"Setiap rumah tangga juga wajib mengelola limbah, juga sampah dengan benar," ungkapnya.
Dia mengatakan, STBM meliputi tiga komponen yang saling mendukung satu sama lain dengan penciptaan lingkungan yang kondusif, peningkatan kebutuhan sanitasi, dan peningkatan penyediaan akses sanitasi.
Sebagai bukti keseriusan, Kemenkes memberikan apresiasi bagi pemerintah daerah yang berupaya maksimal dalam pengelolaan sanitasi. Kemenkes mengadakan STBM Award yang merupakan tindak lanjut dari kesepakatan Rakornas STBM 2017 tentang kerja sama 5 kementerian dalam penuntasan akses sanitasi masyarakat. Award ini bertujuan memberikan apresiasi kepada kabupaten/kota yang telah berhasil pada pilar 1 STBM serta mengupayakan keberlanjutannya.
"Adanya STBM Award Berkelanjutan diharapkan akan menjadi pemicu bagi daerah lain untuk mencapai target STBM dan melahirkan banyak inovasi untuk percepatan Universal Akses 2020 maupun SDG’s 2030," jelasnya.
Pada 2019 terdapat 19 kabupaten/kota yang mencapai ODF dan mendapatkan anugerah STBM Award Berkelanjutan 2019. Mereka adalah Sulawesi Selatan (Kab Bantaeng, Soppeng, Kota Palopo), Sumatera Barat (Kota Payakumbuh dan Kota Solok), Jawa Tengah (Kab Sragen, Klaten, Blora, Rembang, Temanggung, Kendal, Kota Salatiga, dan Kota Surakarta/Solo), Lampung (Kab Way Kanan), Jawa Timur (Kab Pamekasan, Kota Malang, dan Kota Kediri), dan Kab Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) dari Sumatera Selatan. (Aprilia S Andyna/Ananda Nararya)
(nfl)