Pilpres Kembali ke MPR Jadi Autokritik untuk Perbaiki Pemilihan Langsung
A
A
A
SUKOHARJO - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Aria Bima menilai wacana Pemilihan Presiden (Pilpres) dikembalikan ke MPR sebagai bentuk kemunduran proses berdemokrasi.
“Kita belajar membangun konsolidasi demokrasi. Bagi saya Pemilihan Presiden melalui institusi MPR sebuah kemunduran dalam proses berdemokrasi. Tapi bukan berarti bahwa kita telah maju,” kata Aria Bima di sela-sela Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan, di Balai Rakyat, Desa Telukan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Minggu 1 Desember 2019.
Berbagai kekurangan dalam pilpres kemarin perlu dievaluasi, seperti praktik politik uang dan konflik sosial yang membuat kekhawatiran bahwa potensi demokrasi tidak menjadi penguat kebangsaan.
Berbagai hal yang membuat demokrasi langsung dipandang menjadi pelemahan dalam proses membangun spirit kebangsaan juga dinilainya perlu dievaluasi.
“Batasan-batasan menggunakan cara-cara dengan meng-eksplore primodialisme untuk mendapat dukungan voters perlu dievaluasi betul,” kata Aria. (Baca Juga: Wacana Pilpres Kembali ke MPR)
Secara substansi demokrasi, dalam pilpres yang baru saja dilewati mengalami kemunduran yang sangat luar biasa. Rasa kebangsaan, solidaritas sosial menjadi terusik. Sebab faktor keagamaan, dan primodial menjadi komoditas dalam proses berdemokrasi yang dinilai merupakan sesuatu yang salah besar.
“Sangat mundur. Itu mungkin alasan-alasan yang digunakan mengapa kita dianggap tidak siap dalam proses pemilihan langsung kemarin,” urainya.
Semestinya, lanjut dia, proses berdemokrasi membangun kedewasaan, semangat kebangsaan dan narasi ke arah penguatan sebagai negara bersatu. Namun demikian, dirinya kembali menegaskan alasan yang digunakan agar pilpres kembali ke MPR secara presedural demokrasi adalah sebuah kemunduran.
Kendati demikian, dia menganggap wacana pilpres kembali oleh MPR menjadi autokritik agar pilpres langsung ke depan dapat berjalan lebih baik. Sistem dalam aturan main, diharapkan memberikan penguatan guna menjunjung nilai kebangsaan dan persatuan lebih tinggi.
“Kita belajar membangun konsolidasi demokrasi. Bagi saya Pemilihan Presiden melalui institusi MPR sebuah kemunduran dalam proses berdemokrasi. Tapi bukan berarti bahwa kita telah maju,” kata Aria Bima di sela-sela Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan, di Balai Rakyat, Desa Telukan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Minggu 1 Desember 2019.
Berbagai kekurangan dalam pilpres kemarin perlu dievaluasi, seperti praktik politik uang dan konflik sosial yang membuat kekhawatiran bahwa potensi demokrasi tidak menjadi penguat kebangsaan.
Berbagai hal yang membuat demokrasi langsung dipandang menjadi pelemahan dalam proses membangun spirit kebangsaan juga dinilainya perlu dievaluasi.
“Batasan-batasan menggunakan cara-cara dengan meng-eksplore primodialisme untuk mendapat dukungan voters perlu dievaluasi betul,” kata Aria. (Baca Juga: Wacana Pilpres Kembali ke MPR)
Secara substansi demokrasi, dalam pilpres yang baru saja dilewati mengalami kemunduran yang sangat luar biasa. Rasa kebangsaan, solidaritas sosial menjadi terusik. Sebab faktor keagamaan, dan primodial menjadi komoditas dalam proses berdemokrasi yang dinilai merupakan sesuatu yang salah besar.
“Sangat mundur. Itu mungkin alasan-alasan yang digunakan mengapa kita dianggap tidak siap dalam proses pemilihan langsung kemarin,” urainya.
Semestinya, lanjut dia, proses berdemokrasi membangun kedewasaan, semangat kebangsaan dan narasi ke arah penguatan sebagai negara bersatu. Namun demikian, dirinya kembali menegaskan alasan yang digunakan agar pilpres kembali ke MPR secara presedural demokrasi adalah sebuah kemunduran.
Kendati demikian, dia menganggap wacana pilpres kembali oleh MPR menjadi autokritik agar pilpres langsung ke depan dapat berjalan lebih baik. Sistem dalam aturan main, diharapkan memberikan penguatan guna menjunjung nilai kebangsaan dan persatuan lebih tinggi.
(poe)