Maju Mundur Penghapusan UN
A
A
A
WACANA penghapusan ujian nasional (UN) kembali bergulir. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang menyinggung rencana ini. Nadiem menyebut UN kemungkinan akan ditiadakan setelah 2020 nanti.
Wacana penghapusan UN sesungguhnya bukan hal yang baru. Wacana ini sering muncul ketika terjadi pergantian mendikbud. Namun sebelumnya rencana ini sering batal karena kerap menimbulkan pro dan kontra. Akhirnya wacana ini maju mundur saja.
Di tingkat elite pemerintahan pun terjadi perbedaan pendapat. Jusuf Kalla ketika menjabat sebagai wakil presiden termasuk tokoh yang menolak UN dihapus, sebaliknya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendukung. Setelah JK tidak lagi menjabat, akankah penghapusan UN bakal lebih mudah terealisasi?
Pertimbangan dalam menghapus UN tentu tidak semata melihat seberapa besar dukungan atau penolakan yang ditimbulkan. Pertimbangan utamanya adalah seberapa penting UN tersebut tetap diadakan dan jikapun dihapus apa dampak yang akan ditimbulkan?
Rencana penghapusan UN ini pertama kali disampaikan Mendikbud Nadiem Makarim saat mengadakan rapat bersama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Staf Khusus Mendikbud, dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) baru-baru ini. Mantan CEO GoJek ini menyebut rencana penghapusan UN masih dalam tahap pengkajian.
Dia memastikan untuk tahun ajaran 2019/2020 yang sedang berjalan UN masih tetap diadakan. Nadiem tidak akan menghapus UN begitu saja karena tidak ingin membingungkan guru dan pelajar yang sudah melakukan persiapan.
Perlu tidaknya UN dipertahankan selalu menjadi perdebatan, termasuk di kalangan tenaga pendidik. Banyak yang menyebut UN yang dilaksanakan di akhir masa studi tidak lagi relevan dipertahankan karena sejak 2015 ia tidak lagi menjadi tolok ukur kelulusan siswa.
Hasil UN juga tidak lagi digunakan pelajar SMA/sederajat sebagai syarat untuk masuk perguruan tinggi negeri. Tidak hanya itu, keberadaan UN semakin dipertanyakan seiring dengan berlakunya sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru. Dengan sistem zonasi, nilai UN rendah atau tinggi bukan lagi utama, ia hanya menjadi penilaian kedua. Pertimbangan utama tetaplah jarak rumah calon siswa baru dengan sekolah.
Kelemahan UN lainnya adalah sistem ini hanya mengukur kemampuan siswa dari segi kognitifnya. Ini dianggap tidak adil bagi siswa karena kemampuan setiap anak berbeda-beda. Memang sebagian orang unggul pada aspek kognitifnya, tetapi ada pula orang lain yang kemampuannya menonjol justru unggul pada aspek afektif atau aspek psikomotorik.
Belum lagi UN selama ini dinilai menjadi beban bagi siswa. Mereka dituntut untuk belajar keras menjelang ujian sampai mengganggu kondisi fisik dan psikologisnya. Deretan fakta ini dirasa tidak sejalan dengan besarnya anggaran yang digunakan untuk membiayai UN.
Tidak kurang Rp500 miliar anggaran negara dialokasikan untuk membiayai UN setiap tahunnya. Banyak yang beranggapan alangkah baiknya jika dana sebesar itu dialokasikan saja untuk membangun infrastruktur sekolah, membeli fasilitas yang dibutuhkan siswa, dan melatih guru meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, atau membantu sekolah swasta yang membutuhkan.
Namun tidak sedikit yang berpandangan UN harus tetap dipertahankan karena itu menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi kemampuan siswa. UN masih yang terbaik dalam menguji proses belajar yang sudah berjalan. UN penting bagi siswa karena hasilnya akan menjadi tolok ukur dalam mengetahui kemampuan dirinya, juga potensi yang dimilikinya. Selain itu hasil UN bisa dijadikan siswa alat untuk memetakan kemampuan diri, termasuk ketika akan menentukan pilihan bidang studi apa yang akan dipilihnya ketika akan naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Manfaat berikutnya UN menjadi ajang uji kemampuan tiap siswa dalam berprestasi sehingga akan memberi efek pada meningkatnya semangat belajar mereka. Menjadi pengetahuan umum bahwa siswa pada umumnya memiliki keinginan menjadi yang terbaik di antara rekan-rekannya yang lain. Semangat kompetisi dalam makna positif ini akan terus ada dan tertanam pada diri setiap siswa selama UN dilaksanakan.
Tiap pihak, baik yang setuju UN dihapus maupun yang menolak penghapusan, tentu punya alasan rasional. Namun yang pasti sebelum benar-benar menghapus UN, kajian secara menyeluruh dan mendalam perlu dilakukan. Jangan ada kebijakan yang didorong prinsip “yang penting terlihat berbeda”, ingin dicitrakan revolusioner, sekadar gebrakan, tetapi tidak dibarengi kajian yang matang.
Akibatnya nanti banyak pihak yang akan dirugikan, terutama siswa. Apalagi jika kebijakan UN lantas bongkar pasang; setiap menteri berganti kebijakan UN juga ikut berubah. Jikapun UN benar-benar dihapus, harus ada pengganti yang fungsinya tetap sebagai alat evaluasi proses belajar siswa, tetapi tidak menimbulkan tekanan bagi siswa.
Wacana penghapusan UN sesungguhnya bukan hal yang baru. Wacana ini sering muncul ketika terjadi pergantian mendikbud. Namun sebelumnya rencana ini sering batal karena kerap menimbulkan pro dan kontra. Akhirnya wacana ini maju mundur saja.
Di tingkat elite pemerintahan pun terjadi perbedaan pendapat. Jusuf Kalla ketika menjabat sebagai wakil presiden termasuk tokoh yang menolak UN dihapus, sebaliknya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendukung. Setelah JK tidak lagi menjabat, akankah penghapusan UN bakal lebih mudah terealisasi?
Pertimbangan dalam menghapus UN tentu tidak semata melihat seberapa besar dukungan atau penolakan yang ditimbulkan. Pertimbangan utamanya adalah seberapa penting UN tersebut tetap diadakan dan jikapun dihapus apa dampak yang akan ditimbulkan?
Rencana penghapusan UN ini pertama kali disampaikan Mendikbud Nadiem Makarim saat mengadakan rapat bersama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Staf Khusus Mendikbud, dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) baru-baru ini. Mantan CEO GoJek ini menyebut rencana penghapusan UN masih dalam tahap pengkajian.
Dia memastikan untuk tahun ajaran 2019/2020 yang sedang berjalan UN masih tetap diadakan. Nadiem tidak akan menghapus UN begitu saja karena tidak ingin membingungkan guru dan pelajar yang sudah melakukan persiapan.
Perlu tidaknya UN dipertahankan selalu menjadi perdebatan, termasuk di kalangan tenaga pendidik. Banyak yang menyebut UN yang dilaksanakan di akhir masa studi tidak lagi relevan dipertahankan karena sejak 2015 ia tidak lagi menjadi tolok ukur kelulusan siswa.
Hasil UN juga tidak lagi digunakan pelajar SMA/sederajat sebagai syarat untuk masuk perguruan tinggi negeri. Tidak hanya itu, keberadaan UN semakin dipertanyakan seiring dengan berlakunya sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru. Dengan sistem zonasi, nilai UN rendah atau tinggi bukan lagi utama, ia hanya menjadi penilaian kedua. Pertimbangan utama tetaplah jarak rumah calon siswa baru dengan sekolah.
Kelemahan UN lainnya adalah sistem ini hanya mengukur kemampuan siswa dari segi kognitifnya. Ini dianggap tidak adil bagi siswa karena kemampuan setiap anak berbeda-beda. Memang sebagian orang unggul pada aspek kognitifnya, tetapi ada pula orang lain yang kemampuannya menonjol justru unggul pada aspek afektif atau aspek psikomotorik.
Belum lagi UN selama ini dinilai menjadi beban bagi siswa. Mereka dituntut untuk belajar keras menjelang ujian sampai mengganggu kondisi fisik dan psikologisnya. Deretan fakta ini dirasa tidak sejalan dengan besarnya anggaran yang digunakan untuk membiayai UN.
Tidak kurang Rp500 miliar anggaran negara dialokasikan untuk membiayai UN setiap tahunnya. Banyak yang beranggapan alangkah baiknya jika dana sebesar itu dialokasikan saja untuk membangun infrastruktur sekolah, membeli fasilitas yang dibutuhkan siswa, dan melatih guru meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, atau membantu sekolah swasta yang membutuhkan.
Namun tidak sedikit yang berpandangan UN harus tetap dipertahankan karena itu menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi kemampuan siswa. UN masih yang terbaik dalam menguji proses belajar yang sudah berjalan. UN penting bagi siswa karena hasilnya akan menjadi tolok ukur dalam mengetahui kemampuan dirinya, juga potensi yang dimilikinya. Selain itu hasil UN bisa dijadikan siswa alat untuk memetakan kemampuan diri, termasuk ketika akan menentukan pilihan bidang studi apa yang akan dipilihnya ketika akan naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Manfaat berikutnya UN menjadi ajang uji kemampuan tiap siswa dalam berprestasi sehingga akan memberi efek pada meningkatnya semangat belajar mereka. Menjadi pengetahuan umum bahwa siswa pada umumnya memiliki keinginan menjadi yang terbaik di antara rekan-rekannya yang lain. Semangat kompetisi dalam makna positif ini akan terus ada dan tertanam pada diri setiap siswa selama UN dilaksanakan.
Tiap pihak, baik yang setuju UN dihapus maupun yang menolak penghapusan, tentu punya alasan rasional. Namun yang pasti sebelum benar-benar menghapus UN, kajian secara menyeluruh dan mendalam perlu dilakukan. Jangan ada kebijakan yang didorong prinsip “yang penting terlihat berbeda”, ingin dicitrakan revolusioner, sekadar gebrakan, tetapi tidak dibarengi kajian yang matang.
Akibatnya nanti banyak pihak yang akan dirugikan, terutama siswa. Apalagi jika kebijakan UN lantas bongkar pasang; setiap menteri berganti kebijakan UN juga ikut berubah. Jikapun UN benar-benar dihapus, harus ada pengganti yang fungsinya tetap sebagai alat evaluasi proses belajar siswa, tetapi tidak menimbulkan tekanan bagi siswa.
(whb)