Wawasan Kebangsaan Harus Diamalkan, Jangan Jadi Hafalan
A
A
A
JAKARTA - Munculnya fenomena diskontinuitas generasi saat ini terhadap nilai dan norma tentang masa lalu harus disikapi secara serius. Apalagi jika hal tersebut kemudian dapat menyebabkan lunturnya penghayatan terhadap nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa.
Karena itu penguatan wawasan kebangsaan dinilai penting untuk menguatkan ideologi bangsa sekaligus menangkal ideologi radikalisme dan terorisme.
“Ini kesalahan kita, dulu pada masa Orde Baru penanaman wawasan kebangsaan itu lebih kepada hafalan untuk mengingat. Tetapi sekarang dengan adanya media sosial (medsos), penanaman wawasan kebangsaan harus disertai contoh di kehidupan sehari-hari, tanpa contoh itu akan menimbulkan kegamangan di kalangan masyarakat. Hal inilah kemudian membuat anak-anak muda mudah menyerap ideologi-ideologi lain dari medsos,” tutur Sekretaris Jenderal Suluh Kebangsaan, Alissa Wahid di Jakarta, Jumat 29 November 2019.
Untuk mengatasi masuknya ideologi selain Pancasila, kata dia, perlu pendekatan sesuai dengan tingkatannya. Pertama, terorisme ini sudah pasti masuk ekstriemisme dengan kekerasan, itu jelas sangat membahayakan. Kedua, esktremisme tanpa kekerasan yang bertujuan mengubah ideologi negara.
Ketiga ekslusivitas agama dan ultrakonservatifisme yang bisa membahayakan demokrasi meskipun tidak menggunakan cara-cara kekerasan. “Mengatasi ketiga hal ini diperlukan penanganan yang berbeda sesuai dengan kondisinya,” tutur putri pertama Presiden keempat Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Sebenarnya, ungkap Alissa, paham ini bukan hal baru atau berasal dari luar tetapi kemudian menjadi muncul dan berbahaya karena interpretasi agamanya yang sempit.
“Contoh seperti al wala wal bara, itu tidak boleh berteman dengan yang berbeda padahal negara kita ini penuh keberagaman. Hal-hal seperti ini yang saat ini diarus-utamakan atau didorong oleh beberapa kelompok keagamaan tertentu hingga menimbulkan perpecahan. Sedangkan wawasan kebangsaan kita justru tidak kita dorong,” tuturnya.
Oleh karena itu, sambung dia, perlu keseimbangan sebagai warga negara dan juga sebagai umat beragama. Seperti di Nahdlatul Ulama (NU), mengenal trilogi ukhuwah bahwa sebagai umat Islam harus berperilaku sehari-hari dengan tiga ukhuwah, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basariyah.
Intinya, kata Alissa, beragama tetapi tetap menjunjung keberagaman. Karena yang dihadapi saat ini adalah pemuka agama yang menggunakan agama untuk mengikis rasa kebangsaan maka kemudian yang perlu diajak kerja sama pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat.
Dia menilai perlu melibatkan berbagai pihak untuk mengatasi hal ini. Ada tujuh kelompok strategis yang penting untuk dilibatkan, yakni birokasi, TNI-Polri, media massa, ekosistem pendidikan, masyarakat sipil termasuk di dalamnya organisasi berbasis agama, sektor private dan para pelaku bisnis, partai politik.
Khusus partai politik (parpol) dinilai penting karena dalam pemilihan langsung terhadap posisi-posisi di pemerintahan, baik pusat dan daerah, sentimen agama ini berbahaya jika kemudian dipakai dalam kontestasi politik.
Menurut dia, parpol melalui parlemen perlu membangun regulasi untuk mengatur itu sehingga tidak ada nantinya politikus yang menggunakan sentimen agama untuk menarik simpati publik.
Alissa menyampaikan saat ini dirinya dan kelompok Gus Durian atau pendukung Gus Dur ikut berperan aktif untuk mengatasi isu-isu kebangsaan di tanah air.
“Di Gus Durian, kami berbasis nilai-nilai yang diteladankan oleh Gus Dur. Pertama spiritualitas, kedua kemanusiaan, ketiga keadilan. Jadi ketika kami menyikapi isu-isu kebangsaan, landasannya tiga hal ini. Kami juga terus menerus melakukan kampanye keberagaman dan kebersatuan. Saat ini Gus Durian juga sedang mengembangkan modul parenting untuk keluarga dalam mencegah ekstremisme berbasis kekerasan. Kami ingin para orang tua bisa melakukan deteksi dini, lalu memberi pembekalan kepada anak-anaknya agar tidak terpapar,” tutur Koordinator Nasional Gus Durian Network Indonesia ini
Alissa juga menyampaikan pentingnya peran pemerintah, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai garda terdepan mengatasi isu radikal terorisme ini.
Menurut dia, pemerintah harus memiliki strategi nasional dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Tugas BNPT memastikan muatan-muatan yang dibawa oleh berbagai elemen masyarakat yang bergerak bersama ini adalah muatan yang tepat. Bukan hanya seminar atau event-event tertentu tetapi benar-benar berhadapan dengan situasi di akar rumputnya.
Karena itu penguatan wawasan kebangsaan dinilai penting untuk menguatkan ideologi bangsa sekaligus menangkal ideologi radikalisme dan terorisme.
“Ini kesalahan kita, dulu pada masa Orde Baru penanaman wawasan kebangsaan itu lebih kepada hafalan untuk mengingat. Tetapi sekarang dengan adanya media sosial (medsos), penanaman wawasan kebangsaan harus disertai contoh di kehidupan sehari-hari, tanpa contoh itu akan menimbulkan kegamangan di kalangan masyarakat. Hal inilah kemudian membuat anak-anak muda mudah menyerap ideologi-ideologi lain dari medsos,” tutur Sekretaris Jenderal Suluh Kebangsaan, Alissa Wahid di Jakarta, Jumat 29 November 2019.
Untuk mengatasi masuknya ideologi selain Pancasila, kata dia, perlu pendekatan sesuai dengan tingkatannya. Pertama, terorisme ini sudah pasti masuk ekstriemisme dengan kekerasan, itu jelas sangat membahayakan. Kedua, esktremisme tanpa kekerasan yang bertujuan mengubah ideologi negara.
Ketiga ekslusivitas agama dan ultrakonservatifisme yang bisa membahayakan demokrasi meskipun tidak menggunakan cara-cara kekerasan. “Mengatasi ketiga hal ini diperlukan penanganan yang berbeda sesuai dengan kondisinya,” tutur putri pertama Presiden keempat Indonesia, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Sebenarnya, ungkap Alissa, paham ini bukan hal baru atau berasal dari luar tetapi kemudian menjadi muncul dan berbahaya karena interpretasi agamanya yang sempit.
“Contoh seperti al wala wal bara, itu tidak boleh berteman dengan yang berbeda padahal negara kita ini penuh keberagaman. Hal-hal seperti ini yang saat ini diarus-utamakan atau didorong oleh beberapa kelompok keagamaan tertentu hingga menimbulkan perpecahan. Sedangkan wawasan kebangsaan kita justru tidak kita dorong,” tuturnya.
Oleh karena itu, sambung dia, perlu keseimbangan sebagai warga negara dan juga sebagai umat beragama. Seperti di Nahdlatul Ulama (NU), mengenal trilogi ukhuwah bahwa sebagai umat Islam harus berperilaku sehari-hari dengan tiga ukhuwah, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basariyah.
Intinya, kata Alissa, beragama tetapi tetap menjunjung keberagaman. Karena yang dihadapi saat ini adalah pemuka agama yang menggunakan agama untuk mengikis rasa kebangsaan maka kemudian yang perlu diajak kerja sama pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat.
Dia menilai perlu melibatkan berbagai pihak untuk mengatasi hal ini. Ada tujuh kelompok strategis yang penting untuk dilibatkan, yakni birokasi, TNI-Polri, media massa, ekosistem pendidikan, masyarakat sipil termasuk di dalamnya organisasi berbasis agama, sektor private dan para pelaku bisnis, partai politik.
Khusus partai politik (parpol) dinilai penting karena dalam pemilihan langsung terhadap posisi-posisi di pemerintahan, baik pusat dan daerah, sentimen agama ini berbahaya jika kemudian dipakai dalam kontestasi politik.
Menurut dia, parpol melalui parlemen perlu membangun regulasi untuk mengatur itu sehingga tidak ada nantinya politikus yang menggunakan sentimen agama untuk menarik simpati publik.
Alissa menyampaikan saat ini dirinya dan kelompok Gus Durian atau pendukung Gus Dur ikut berperan aktif untuk mengatasi isu-isu kebangsaan di tanah air.
“Di Gus Durian, kami berbasis nilai-nilai yang diteladankan oleh Gus Dur. Pertama spiritualitas, kedua kemanusiaan, ketiga keadilan. Jadi ketika kami menyikapi isu-isu kebangsaan, landasannya tiga hal ini. Kami juga terus menerus melakukan kampanye keberagaman dan kebersatuan. Saat ini Gus Durian juga sedang mengembangkan modul parenting untuk keluarga dalam mencegah ekstremisme berbasis kekerasan. Kami ingin para orang tua bisa melakukan deteksi dini, lalu memberi pembekalan kepada anak-anaknya agar tidak terpapar,” tutur Koordinator Nasional Gus Durian Network Indonesia ini
Alissa juga menyampaikan pentingnya peran pemerintah, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai garda terdepan mengatasi isu radikal terorisme ini.
Menurut dia, pemerintah harus memiliki strategi nasional dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Tugas BNPT memastikan muatan-muatan yang dibawa oleh berbagai elemen masyarakat yang bergerak bersama ini adalah muatan yang tepat. Bukan hanya seminar atau event-event tertentu tetapi benar-benar berhadapan dengan situasi di akar rumputnya.
(dam)