Digital Dictatorship

Jum'at, 29 November 2019 - 06:20 WIB
Digital Dictatorship
Digital Dictatorship
A A A
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

ISTILAH digital dictatorship saya temukan dalam buku Homo Deus (2017) karangan Yuval Noah Harari yang edisi pertamanya dalam bahasa Ibrani (2015). Setelah berhasil menciptakan era industri, sekarang masyarakat dunia diajak memasuki era jaringan.

Pada era industri, aktivitas manusia beralih dari sawah ke pabrik. Lalu, muncul revolusi jasa layanan yang berpusat di perkantoran. Sementara era jaringan dengan mengandalkan internet, moda hidup dan bisnis berubah drastis, tidak lagi berpusat di ruang perkantoran.

Masing-masing pribadi bisa partisipasi dalam jejaring sosial. Masing-masing pribadi terhubung dengan lainnya, tanpa batas wilayah serta tidak dibatasi oleh jam kantor. Semuanya berubah sejak dari cara berkomunikasi, belajar, belanja, bekerja, berdagang, bergaul, sampai dengan pengaturan birokrasi jasa perkantoran. Pendeknya era jaringan melibatkan semua orang untuk partisipasi aktif.

Di era jaringan ini, sekat ruang dan waktu roboh. Setiap orang dengan mudah terkoneksi satu-ke-satu, peer-to-peer, dengan mitranya yang entah tinggal di mana. Ini sebuah silent revolution yang membawa perubahan hidup secara radikal pada semua lini tanpa heboh di jalanan dan pertumpahan darah yang bahkan kehadirannya disambut dan dirayakan, terutama oleh generasi milenial.

Gadget telepon genggam telah menjadi extended self, menjadi bagian tak terpisahkan dari emosi, pikiran, dan aktivitas tangan dari waktu ke waktu yang membuat seseorang terhubung dengan yang lain dan sekaligus juga merupakan jendela bagi orang lain untuk mengetahui dunia batin kita yang dulu dianggap wilayah privat.

Ketika miliaran penduduk bumi saling terhubung, muncul beberapa pertanyaan yang perlu direnungkan. Kekuatan apa dan milik siapa yang menghubungkan kita semua ini? Siapa yang paling memperoleh keuntungan dari revolusi komunikasi dan budaya ini?

Bagi para pelajar dan mahasiswa, tentu sangat terbantu untuk memperoleh informasi pengetahuan dengan cepat dan murah. Transaksi bisnis lewat daring juga lebih praktis dan mungkin lebih murah ongkosnya. Orang menonton film yang bagus tidak perlu datang ke gedung bioskop.

Mendengarkan ceramah atau kuliah bisa lewat YouTube. Transfer uang cukup melalui e-bank. Dan sekian fasilitas lain yang ditawarkan teknologi digital, sehingga secara teknikal hidup lebih mudah dan nyaman dijalani.

Namun di balik itu semua, muncul pertanyaan serius, sadarkah kita bahwa kehidupan kita bisa terancam oleh diktator baru yang disebut digital dictatorship? Sebuah kekuatan yang mampu mengarahkan dan mengendalikan selera, pikiran dan tindakan melalui program algoritma yang bekerja melalui gawai kita.

Lebih jauh lagi bahkan Harari mengatakan, otak dan perasaan manusia itu hackable. Apa yang mau kita tonton, kita makan, tempat rekreasi yang mau kita kunjungi, jenis pekerjaan yang kita kejar, model pakaian yang kita minati, jenis musik yang kita koleksi, dan sekian aktivitas lain tanpa sadar sudah diprogram oleh sistem algoritma yang bekerja secara otomatis yang kemudian mendikte kita.

Menarik direnungkan, angka bunuh diri sangat tinggi terjadi di negara yang secara ekonomi dan teknologi sudah sangat maju, misalnya Jepang, Korea Selatan, dan China. Mereka yang melakukan bunuh diri itu datang dari keluarga kaya, populer, namun jiwanya rapuh menghadapi turbulensi kehidupan.

Mungkin saja mereka telah menjadi korban dari digital dictatorship, ketika kemajuan itu telah mencampakkan nilai dan keyakinan bahwa hidup itu suci dan mulia sebagaimana diajarkan oleh semua agama.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1538 seconds (0.1#10.140)