Presiden Tiga Periode Berpotensi Timbulkan Otoritarianisme

Kamis, 28 November 2019 - 18:18 WIB
Presiden Tiga Periode Berpotensi Timbulkan Otoritarianisme
Presiden Tiga Periode Berpotensi Timbulkan Otoritarianisme
A A A
JAKARTA - Wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berkembang belakangan ini, salah satunya muncul gagasan masa periodesasi jabatan presiden menjadi tiga periode dari sebelumnya maksimal hanya dua periode.

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan saat ini demokrasi yang ada di Indonesia sebenarnya masih dalam proses menuju atau transisi demokrasi. Jika saat ini muncul wacana perpanjangan masa periodesasi presiden menjadi tiga periode, menurut Ujang, wacana yang berkembang ini harus benar-benar dikawal dan dikritisi.

”Kalau kita tidak hati-hati dalam proses transisi demokrasi ini, kalau kita tidak kawal maka dikhawatirkan itu akan menjadi otoritarian. Inilah yang terjadi di Amerika Latin, demokrasinya gagal, kembali ke otoratier, matilah kita,” ujar Ujang dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema "Bola Liar Amandemen, Masa Jabatan Presiden Diperpanjang?" di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini, wacana menjadikan periodesasi presiden menjadi tiga periode harus dikawal karena upaya melanggengkan kekuasaan akan sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

”Kalau soal demokrasi berbiaya tinggi, itu harus kita koreksi. Karena sesungguhnya kesinambungan program kerja adalah periode pertama ke jilid kedua. Misalnya Nawacita 1 ke Nawacita 2, itu berkesinambungan. Masa meminta jilid ketiga, kan aneh? Lalu nanti minta jilid empat. Kesinambungan itu satu ke dua, bukan ketiga dan keempat,” urainya.

Karena itu, sebagai upaya memperbaiki bangsa yang diperlukan bukan dengan melanggengkan kekuasaan. Ujang mengakui bahwa demokrasi di Indonesia sangat mahal. Hal yang sama juga terjadi di Amerika maka disebut demokrasi liberal.

”Dan itu kita adopsi sama 'plek’ bahkan lebih liberal. Ini yang harus kita evaluasi sesungguhnya. Wacana inilah yang kita kawal. Membangun transisi demokrasi,” katanya.

Menurutnya, wacana tiga periode presiden cukup sebagai bahan kajian akademik, namun tidak boleh diterapkan di Indonesia sehingga menjadikan negara ini kembali ke sistem otoritarian. “Itu cukup menjadi wacana diskusi, bukan untuk mengembalikan kita kepada proses kembali ke otoriter. Ini terjadi di Amerika Latin, jangan terjadi di negara kita. Wacana yang berkembang cukup kita jadikan budaya akademik."

"Kalau wacana ini ini untuk melanggengkan kekuasaan dengan orang yang sama dengan presiden yang sama maka itu yang terjadi nanti adalah abuse of power maka saya yakin akan kembali ke proses otoritarianisme karena itu merupakan gagalnya demokrasitisasi. Kita tak mau maka itu kita sampaikan ke DPR untuk menjaga proses demokratisasi itu,” sambungnya.

Ujang menegaskan, persoalan ini harus benar-benar disikapi dengan hati-hati sehingga jangan sampai nantinya MPR membuat keputusan yang salah jalan. ”Kenapa kewenangan yang begitu panjang, yang begitu kuat, contoh-contoh presiden sebelumnya, itu menandakan kekuasaan itu enak. Karena merasa enak, tidur dilayani, mau bangun tidur dilayani, maka katakanlah ingin bertambah jabatannya itu. Persoalannya, apakah ini secara rasional penting bagi rakyat atau penting bagi elite, ini yang harus dikaji secara matang,” tandasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0782 seconds (0.1#10.140)