Annas Dapat Grasi, Komitmen Jokowi Berantas Korupsi Dipertanyakan

Kamis, 28 November 2019 - 11:16 WIB
Annas Dapat Grasi, Komitmen...
Annas Dapat Grasi, Komitmen Jokowi Berantas Korupsi Dipertanyakan
A A A
JAKARTA - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengaku, semakin miris melihat sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas komitmen terhadap pemberantasan korupsi.Setelah menolak menerbitkan Perppu KPK, kini Jokowi menerbitkan grasi terhadap terpidana korupsi yakni mantan Gubernur Riau, Annas Maamun.
Kata Ray, alasan Presiden pun terbilang sederhana, tak pakai 'njelimet' yakni karena pertimbangan Mahkamah Agung dan kemanusiaan. Alasan pertama jelas bukan argumen. Karena memang hal itu adalah prosedur yang harus ditempuh jika presiden hendak menerbitkan grasi, terhadap siapa pun.

"Oleh karena itu, penekanan presiden soal adanya pertimbangan MA itu sekedar mengalihkan beban tanggungjawab dirinya atas putusan yang dibuatnya sendiri," tutur Ray kepada SINDOnews, Kamis (28/11/2019).

Menurut Ray, tentu perlu menguji, apakah semua pertimbangan MA yang mengabulkan permohonan grasi terpidana dikabulkan atau justru ditolak oleh Presiden. Dan dengan begitu, semua pihak bisa melihat mengapa grasi terhadap terpidana korupsi ini diberikan, sementara kepada yang lain misalnya tidak dikabulkan presiden.

Adapun lanjut Ray, soal kemanusiaan, tentu dapat dipertimbangkan. Masalahnya adalah apakah semata hanya soal sakitnya yang jadi pertimbangan. Lalu bagaimana dengan jenis kejahatan yang dilakukan seorang terpidana, apakah kejahatan korupsi sesuatu yang bisa dimaafkan dan sebagainya.

"Di sinilah sikap presiden diuji. Apalagi sikap ini misalnya dikaitkan dengan kemungkinan napi lain yang juga mengajukan grasi atas dasar pertimbangan kemanusiaan," ujar dia.

"Sebut saja soal aktivis di berbagai tempat yang dipenjara, atau kejahatan lain yang sama sekali tidak berbahaya pada negara. Dalam konteks inilah grasi ini jadi layak dikritik," imbuh dia.

Ray mengatakan, Presiden seperti ingin memperlihatkan sisi kemanusiaannya dengan memberi grasi terhadap tahanan kasus korupsi, tapi saat yang sama, seperti abai pada nasib tahanan lain yang dipenjara semata karena memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara. Yang bisa jadi mereka dipenjara karena aktivitas pembelaan mereka pada hak-hak mereka sebagai warga.

Baginya, faktor kemanusiaan tak melulu pertimbangannya adalah kesehatan, tapi juga soal bobot kejahatannya, efeknya bagi sistem dan peradaban bangsa, nilai moral dari grasi itu sendiri, unsur keadilan atas grasinya, termasuk di dalamnya mencegah yang tak patut dipidana mendekam dalam tahanan.

Dalam perspektif inilah, kata Ray, pemberian grasi terhadap tahanan kasus korupsi itu jadi tidak tepat, dan sekaligus memperlihatkan makin lemahnya sikap dan komitmen presiden pada pemberantasan korupsi.

Selain itu, dalam kondisi seperti ini, tak terbayangkan jika presiden ditambah masa priodenya menjadi tiga kali, dan kelak mereka hanya menjalankan amanah sesuai GBHN. "Tak terbayang seperti apa rasanya hidup di tengah-tengah situasi seperti itu. Miris, sungguh miris," kata mantan aktivis 98 ini menandaskan.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8974 seconds (0.1#10.140)