Marak Pelanggaran, Kehadiran UU Perlindungan Data Pribadi Dinilai mendesak

Jum'at, 22 November 2019 - 05:15 WIB
Marak Pelanggaran, Kehadiran...
Marak Pelanggaran, Kehadiran UU Perlindungan Data Pribadi Dinilai mendesak
A A A
JAKARTA - Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Kedutaan Amerika Serikat di Indonesia menggelar diskusi publik terkait hak privasi dan akses keterbukaan informasi publik. Diskusi Publik ini diadakan Kantor Komisi Provinsi DKI Jakarta, Gedung Graha Mental Spiritual Lantai 8, Jalan Haji Awaluddin II No.1 Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis 21 November 2019.

Diskusi Publik ini menghadirkan pembicara dari Komisi I DPR RI, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, Michael Rose (U.S. Department of Commerce), Huey Tan (APEC-Singapore), Komisi Informasi Pusat, dan PT Telkomsel. Sementara peserta seminar sebanyak 100 orang yang berasal dari perwakilan lembaga pemerintah, lembaga non- struktural, lembaga keagamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan corporate.

Diskusi publik ini mengangkat tema, “Diskursus dan Harmonisasi Perlindungan Data Pribadi dengan UU Keterbukaan Informasi Publik untuk Mendorong Rumusan UU PDP yang berkeadilan bagi semua.” Arah tujuan Diskusi Publik ini adalah memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan Komisi I DPR RI dalam rangka penguatan materi dan substansi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang sedang dirancang pemerintah, baik dari aspek filosofis maupun praktik penerapan UU PDP dan atau UU sejenisnya oleh negara-negara yang sudah menerapkannya khususnya yang tergabung dalam APEC.

Alamsyah Basri, selaku Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta menyebut bahwa Kemenkominfo sudah menyusun RUU PDP yang akan segera diajukan untuk dibahas di DPR RI. RUU yang memuat 74 pasal dan 15 bab ini mengatur tentang definisi, jenis, hak kepemilikan, pemprosesan, pengiriman, lembaga berwenang yang mengatur data pribadi hingga sanksi.

Draft RUU menyebutkan, data pribadi adalah setiap data tentang seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektonik dan/atau non-elektronik. Peraturan perlindungan data pribadi di Indonesia sendiri, saat ini tersebar kurang lebih 32 regulasi di berbagai macam sektor (keuangan, kesehatan, kependudukan, telekomunikasi, energi dan sebagainya) dan masih bersifat parsial.

Wa Ode Asmawati, selaku penanggung jawab kegiatan diskusi publik ini menyatakan bahwa saat ini, pertumbuhan pengguna sistem elektronik dan internet belum dibarengi tumbuhnya kesadaran publik dalam melindungi data pribadi. Selain ini, tentunya perlu adanya kesetaraan dalam perlindungan data pribadi secara nasional maupun internasional.

"Maka menjadi tanggung jawab dari pemerintah untuk mencegah pelanggaran data pribadi dan meningkatkankan standar perlindungan data pribadi di lingkungan nasional maupun Internasional dengan mempertimbangkan keragaman dan nilai yang berlaku di Indonesia," ujarnya.

Kehadiran UU PDP juga mendesak karena adanya tuntutan keterbukaan di lembaga-lembaga pemerintah dan diharapkan dapat menekan angka korupsi di sektor publik sehingga upaya pemerintah untuk membuka informasi dan data perlu diapresiasi. Namun, pada saat yang sama konteks keterbukaan menimbulkan dilema yaitu kepentingan keterbukaan dengan kepentingan untuk melindungi hak dan privasi.

Maraknya kasus pelanggaran terhadap data pribadi juga menjadi permasalahan di antaranya kebocoran data pribadi, penyalahgunaan data pribadi serta jual beli data pribadi. Untuk itu diharapkan sesuai tema diskusi publik ini, ada diskursus dan ide-ide dalam upaya menciptakan harmonisasi antara UU PDP dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, sehingga mendorong RUUU PDP yang berkeadilan. Agar ke depan kehadiran UU PDP tidak mengganggu kepentingan keterbukaan informasi publik atas nama perlindungan privasi.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0741 seconds (0.1#10.140)