Tampak Akomodatif, Kabinet Jokowi Jilid II Dinilai Hadapi Tantangan Berat
A
A
A
JAKARTA - Analis Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubeidilah Badrun menilai, kabinet pemerintahan Jokowi jilid II tampak akomodatif, namun sebenarnya menghadapi tantangan berat.
Menurut Ubeid, sapaan akrabnya, kabinet Jokowi jilid II terkesan menyatukan kekuatan politik sekaligus terkesan bagi-bagi kue kekuasaan, tetapi menyimpan empat tantangan berat.
"Pertama Ekonomi yang melambat, tantangan beratnya bagaimana menaikan angka pertumbuhan ekonomi dari sekitar 5% menjadi 7%," papar Ubeid kepada wartawan, Rabu (13/11/2019).
Kedua, lanjut dia, isu korupsi dan hak asasi manusia yang mendera pemerintahan ini. Menurutnya, rezim Jokowi selama 5 tahun periode pertama masih diwarnai praktik korupsi yang sistemik.
Di saat yang sama alih-alih menangani perkara hak asasi manusia tetapi justru menciptakan perkara baru yakni hak asasi manusia dalam kasus rusuh Wamena. "Terbunuhnya demonstran saat demonstrasi di Bawaslu dan demonstrasi tolak pelemahan KPK," beber dia.
Ketiga, kata Ubeid, tata kelola negara yang kurang antisipatif (birokrasi dan sistem politik yang belum efektif). Ia menilai, sistem politik Indonesia memiliki kapabilitas rendah sehingga menghambat pencapaian tujuan pemerintahan.
"Lucunya sistem politik tersebut dibuat pemerintah dan DPR yang sedang berkuasa," kata Ubeid menambahkan.
Selanjutnya, yang keempat, tantangan bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan masa depan Indonesia di era disrupsi dan era post digital society dinilai masih kurang efektif.
"Ini PR yang tidak mudah karena sangat ditentukan oleh design pendidikan selama 5 tahun ke depan. Sementara menterinya dalam satu tahun ke depan baru belajar dan memetakan problem utama pendidikan di Indonesia," ujarnya.
Menurut Ubeid, sapaan akrabnya, kabinet Jokowi jilid II terkesan menyatukan kekuatan politik sekaligus terkesan bagi-bagi kue kekuasaan, tetapi menyimpan empat tantangan berat.
"Pertama Ekonomi yang melambat, tantangan beratnya bagaimana menaikan angka pertumbuhan ekonomi dari sekitar 5% menjadi 7%," papar Ubeid kepada wartawan, Rabu (13/11/2019).
Kedua, lanjut dia, isu korupsi dan hak asasi manusia yang mendera pemerintahan ini. Menurutnya, rezim Jokowi selama 5 tahun periode pertama masih diwarnai praktik korupsi yang sistemik.
Di saat yang sama alih-alih menangani perkara hak asasi manusia tetapi justru menciptakan perkara baru yakni hak asasi manusia dalam kasus rusuh Wamena. "Terbunuhnya demonstran saat demonstrasi di Bawaslu dan demonstrasi tolak pelemahan KPK," beber dia.
Ketiga, kata Ubeid, tata kelola negara yang kurang antisipatif (birokrasi dan sistem politik yang belum efektif). Ia menilai, sistem politik Indonesia memiliki kapabilitas rendah sehingga menghambat pencapaian tujuan pemerintahan.
"Lucunya sistem politik tersebut dibuat pemerintah dan DPR yang sedang berkuasa," kata Ubeid menambahkan.
Selanjutnya, yang keempat, tantangan bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan masa depan Indonesia di era disrupsi dan era post digital society dinilai masih kurang efektif.
"Ini PR yang tidak mudah karena sangat ditentukan oleh design pendidikan selama 5 tahun ke depan. Sementara menterinya dalam satu tahun ke depan baru belajar dan memetakan problem utama pendidikan di Indonesia," ujarnya.
(pur)