Ajukan Kasasi, Komisi Pemberantasan Korupsi Perkuat Bukti Baru
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan mengajukan kasasi atas putusan bebas Sofyan Basir. Untuk itu, KPK masih mempersiapkan fakta kuat dan bukti tambahan yang akan dituangkan dan dilampirkan pada memori kasasi yang akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, ada beberapa hal yang patut disampaikan KPK sehubungan dengan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang memvonis bebas mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir pada Senin (4/11). Pertama, KPK secara kelembagaan sangat kecewa namun tetap menghormati dan menghargai putusan tersebut karena menjadi kewenangan majelis hakim yang independen dan imparsial.
Kedua, penanganan kasus suap terkait mempercepat atau setidak-tidaknya tercapai kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) yang tenar dengan nama proyek IPP PLTU Riau-1 milik PT PLN (Persero) dengan tiga orang sebelumnya serta pembantuan tindak pidana untuk mempercepat atau setidak-tidaknya tercapai kesepakatan dengan pelaku Sofyan Basir telah dilakukan dengan sangat hati-hati.
Tiga orang yang dimaksud adalah terpidana pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara), terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku wakil ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, dan terdakwa mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 5 tahun, saat ini sedang tahap kasasi).
Ketiga, untuk perkara suap Kotjo, Eni, dan Idrus telah terbukti dan divonis bersalah. Keempat, KPK melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama beberapa hari setelah putusan bebas Sofyan langsung mengidentifikasi secara lebih detail dan merinci argumentasi-argumentasi dan fakta-fakta hukum yang telah muncul dalam persidangan.
Argumen dan fakta hukum tersebut, menurut Febri, bukan hanya yang muncul dalam persidangan Sofyan Basir tapi juga dalam persidangan tiga orang sebelumnya. Febri menggariskan, saat penanganan perkara suap dengan terdakwa Sofyan memang dalam persidangan Sofyan mengaku tidak mengetahui tentang adanya uang suap atau rencana penyediaan suap dari Kotjo termasuk untuk Sofyan terkait dengan mempercepat atau setidak-tidaknya tercapai kesepakatan proyek IPP PLTU Riau-1.
Bantahan atau pengingkaran tersebut disampaikan Sofyan saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa. Padahal, saat Sofyan menjadi saksi atau memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan Kotjo, Eni, dan Idrus, ternyata Sofyan mengakui dan memastikan mengetahui tentang rencana penyediaan uang suap dari Kotjo disusul pemberian uang dari Kotjo ke Eni dan Idrus serta Sofyan membahas dengan Eni melalui sambungan telepon tentang alokasi atau penyediaan uang termasuk rencana jatah untuk Sofyan.
“Secara hukum, dalam KUHAP (Pasal 160 ayat (3) KUHAP) jelas disebutkan seorang saksi memiliki kewajiban memberikan keterangan yang sebenarnya. Sedangkan seorang terdakwa memiliki hak ingkar atau tidak menyampaikan keterangan (Pasal 175 KUHAP).
Sedangkan dalam KUHAP (Pasal 184 ayat (1) KUHAP) sudah diatur ada lima alat bukti dan tidak cukup hanya dengan keterangan terdakwa. Nah itu sedang kami rinci untuk melakukan langkah hukum selanjutnya (kasasi),” ungkap Febri di Jakarta, kemarin.
Terkait pengetahuan Sofyan tentang adanya suap dari Kotjo ke Eni, maka JPU telah menyisir dan menemukan sejumlah pertimbangan majelis hakim yang mengabaikan sejumlah fakta dan bukti yang muncul di persidangan. Di antaranya adanya dugaan pengetahuan Sofyan tentang suap yang akan diterima oleh Eni dari Kotjo.
“Hal ini pernah disampaikan SB (Sofyan Basir) saat menjadi saksi dalam perkara Eni Saragih yang menyatakan bahwa terdakwa (Sofyan) diberitahu Eni bahwa Eni mengawal perusahaan Kotjo dalam rangka menggalang dana untuk partai,” paparnya.
Berikutnya, meskipun kesaksian atau berita acara pemeriksaan (BAP)tersebut dicabut atau keterangan diubah, namun Sofyan menyatakan tidak mendapat tekanan atau paksaan dari penyidik KPK saat pemeriksaan di tahap penyidikan. Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan keterangan Eni yang menyatakan bahwa benar Eni memberitahu Sofyan bahwa dirinya ditugaskan untuk mengawal perusahaan Kotjo guna mencari dana untuk partai politik.
Selain itu, Febri memaparkan, JPU juga telah mengidentifikasi bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan peran Sofyan dalam mempercepat proses proyek PLTU Riau-1 dengan cara yang melanggar sejumlah aturan. Padahal, dengan bantuan Sofyan juga kemudian Eni dan Idrus menerima suap Rp4,75 miliar dari Kotjo.
Jika tanpa bantuan Sofyan, maka keinginan Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek IPP PLTU Riau-1 tidak akan terlaksana. “Poin-poin ini akan kami matangkan dalam memori kasasi yang disiapkan JPU. Jadi secara paralel, KPK melakukan analisis terhadap pertimbangan yang disampaikan hakim secara lisan di pengadilan,” paparnya.
Ketiga, peran Sofyan sebagai pembantu tindak pidana korupsi terbagi dalam tiga bagian utama. Masing-masing yakni mempertemukan Eni dan Kotjo dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) saat itu Supangkat Iwan Santoso dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU Riau-1. Pertemuan-pertemuan dilakukan di kantor dan rumah Sofyan, di hotel, maupun di rumah mantan ketua DPR Setya Novanto.
Berikutnya, Sofyan meminta kepada Direktur Perencanaan PT PLN (Persero) saat itu Nicke Widyawati sebagai jawaban atas permintaan Eni dan Kotjo ke Sofyan agar proyek PLTU Riau-1 tetap dicantumkan dalam RUPTL PT PLN 2017-2026.
Kemudian Sofyan menandatangani dokumen Power Purchased Agreement (PPA) proyek pada 29 September 2017 sebelum semua prosedur dilalui dan hal tersebut dilakukan tanpa membahas dengan direksi PLN lainnya. Sedangkan PPA secara resmi tertanggal 6 Oktober 2017.
Selain itu, pada saat PPA ditandatangani, ternyata belum dimasukan proposal penawaran anak perusahaan PT PLN (Persero), belum ada penandatanganan Letter of Intent (LOI), hingga belum dilakukan persetujuan dan evaluasi dan negosiasi harga jual-beli listrik antara PLN dengan anak perusahaan atau afiliasi lainnya.
“KPK meyakini bukti yang dihadirkan di persidangan kuat. Dari bukti yang ada, KPK memandang peran terdakwa sangat penting. Karena itulah, KPK menerapkan pasal suap yang dihubungkan dengan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHPidana,” ungkapnya.
JPU juga kemungkinan melampirkan bukti tambahan sebagai pendukung memori kasasi. Namun dia mengaku belum menerima informasi bukti tambahan apa yang disiapkan JPU. “Ada batas waktu 14 hari bagi kami untuk menyusun memori kasasi,” ujarnya.
Soesilo Aribowo selaku Ketua Tim Kuasa Hukum Sofyan Basir mengatakan, vonis bebas kliennya merupakan perjuangan panjang sejak proses penyidikan hingga pembuktian di persidangan. Apalagi pertimbangan majelis hakim jelas memastikan Sofyan tidak terbukti melakukan perbantuan pidana.
Dia mengatakan, pihaknya mempersilakan KPK mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Karena memang tidak ada pilihan lain bagi JPU selain mengajukan kasasi. Di sisi lain Soesilo menyatakan, pihaknya sudah siap jika KPK mengajukan kasasi.
“Kita juga siap menghadapi andai kata misalnya KPK mengajukan upaya hukum kasasi. Cuma mesti kita ingat bahwa pengajuan kasasi itu bukan lagi berbicara soal fakta, tetapi soal penerapan hukumnya. Salah satunya soal penerapan hukum apakah penerapan Pasal 56 KUHP itu sudah sesuai atau belum, itu saja sih,” ujarnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, ada beberapa hal yang patut disampaikan KPK sehubungan dengan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang memvonis bebas mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir pada Senin (4/11). Pertama, KPK secara kelembagaan sangat kecewa namun tetap menghormati dan menghargai putusan tersebut karena menjadi kewenangan majelis hakim yang independen dan imparsial.
Kedua, penanganan kasus suap terkait mempercepat atau setidak-tidaknya tercapai kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) yang tenar dengan nama proyek IPP PLTU Riau-1 milik PT PLN (Persero) dengan tiga orang sebelumnya serta pembantuan tindak pidana untuk mempercepat atau setidak-tidaknya tercapai kesepakatan dengan pelaku Sofyan Basir telah dilakukan dengan sangat hati-hati.
Tiga orang yang dimaksud adalah terpidana pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara), terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku wakil ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, dan terdakwa mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 5 tahun, saat ini sedang tahap kasasi).
Ketiga, untuk perkara suap Kotjo, Eni, dan Idrus telah terbukti dan divonis bersalah. Keempat, KPK melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama beberapa hari setelah putusan bebas Sofyan langsung mengidentifikasi secara lebih detail dan merinci argumentasi-argumentasi dan fakta-fakta hukum yang telah muncul dalam persidangan.
Argumen dan fakta hukum tersebut, menurut Febri, bukan hanya yang muncul dalam persidangan Sofyan Basir tapi juga dalam persidangan tiga orang sebelumnya. Febri menggariskan, saat penanganan perkara suap dengan terdakwa Sofyan memang dalam persidangan Sofyan mengaku tidak mengetahui tentang adanya uang suap atau rencana penyediaan suap dari Kotjo termasuk untuk Sofyan terkait dengan mempercepat atau setidak-tidaknya tercapai kesepakatan proyek IPP PLTU Riau-1.
Bantahan atau pengingkaran tersebut disampaikan Sofyan saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa. Padahal, saat Sofyan menjadi saksi atau memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan Kotjo, Eni, dan Idrus, ternyata Sofyan mengakui dan memastikan mengetahui tentang rencana penyediaan uang suap dari Kotjo disusul pemberian uang dari Kotjo ke Eni dan Idrus serta Sofyan membahas dengan Eni melalui sambungan telepon tentang alokasi atau penyediaan uang termasuk rencana jatah untuk Sofyan.
“Secara hukum, dalam KUHAP (Pasal 160 ayat (3) KUHAP) jelas disebutkan seorang saksi memiliki kewajiban memberikan keterangan yang sebenarnya. Sedangkan seorang terdakwa memiliki hak ingkar atau tidak menyampaikan keterangan (Pasal 175 KUHAP).
Sedangkan dalam KUHAP (Pasal 184 ayat (1) KUHAP) sudah diatur ada lima alat bukti dan tidak cukup hanya dengan keterangan terdakwa. Nah itu sedang kami rinci untuk melakukan langkah hukum selanjutnya (kasasi),” ungkap Febri di Jakarta, kemarin.
Terkait pengetahuan Sofyan tentang adanya suap dari Kotjo ke Eni, maka JPU telah menyisir dan menemukan sejumlah pertimbangan majelis hakim yang mengabaikan sejumlah fakta dan bukti yang muncul di persidangan. Di antaranya adanya dugaan pengetahuan Sofyan tentang suap yang akan diterima oleh Eni dari Kotjo.
“Hal ini pernah disampaikan SB (Sofyan Basir) saat menjadi saksi dalam perkara Eni Saragih yang menyatakan bahwa terdakwa (Sofyan) diberitahu Eni bahwa Eni mengawal perusahaan Kotjo dalam rangka menggalang dana untuk partai,” paparnya.
Berikutnya, meskipun kesaksian atau berita acara pemeriksaan (BAP)tersebut dicabut atau keterangan diubah, namun Sofyan menyatakan tidak mendapat tekanan atau paksaan dari penyidik KPK saat pemeriksaan di tahap penyidikan. Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan keterangan Eni yang menyatakan bahwa benar Eni memberitahu Sofyan bahwa dirinya ditugaskan untuk mengawal perusahaan Kotjo guna mencari dana untuk partai politik.
Selain itu, Febri memaparkan, JPU juga telah mengidentifikasi bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan peran Sofyan dalam mempercepat proses proyek PLTU Riau-1 dengan cara yang melanggar sejumlah aturan. Padahal, dengan bantuan Sofyan juga kemudian Eni dan Idrus menerima suap Rp4,75 miliar dari Kotjo.
Jika tanpa bantuan Sofyan, maka keinginan Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek IPP PLTU Riau-1 tidak akan terlaksana. “Poin-poin ini akan kami matangkan dalam memori kasasi yang disiapkan JPU. Jadi secara paralel, KPK melakukan analisis terhadap pertimbangan yang disampaikan hakim secara lisan di pengadilan,” paparnya.
Ketiga, peran Sofyan sebagai pembantu tindak pidana korupsi terbagi dalam tiga bagian utama. Masing-masing yakni mempertemukan Eni dan Kotjo dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) saat itu Supangkat Iwan Santoso dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU Riau-1. Pertemuan-pertemuan dilakukan di kantor dan rumah Sofyan, di hotel, maupun di rumah mantan ketua DPR Setya Novanto.
Berikutnya, Sofyan meminta kepada Direktur Perencanaan PT PLN (Persero) saat itu Nicke Widyawati sebagai jawaban atas permintaan Eni dan Kotjo ke Sofyan agar proyek PLTU Riau-1 tetap dicantumkan dalam RUPTL PT PLN 2017-2026.
Kemudian Sofyan menandatangani dokumen Power Purchased Agreement (PPA) proyek pada 29 September 2017 sebelum semua prosedur dilalui dan hal tersebut dilakukan tanpa membahas dengan direksi PLN lainnya. Sedangkan PPA secara resmi tertanggal 6 Oktober 2017.
Selain itu, pada saat PPA ditandatangani, ternyata belum dimasukan proposal penawaran anak perusahaan PT PLN (Persero), belum ada penandatanganan Letter of Intent (LOI), hingga belum dilakukan persetujuan dan evaluasi dan negosiasi harga jual-beli listrik antara PLN dengan anak perusahaan atau afiliasi lainnya.
“KPK meyakini bukti yang dihadirkan di persidangan kuat. Dari bukti yang ada, KPK memandang peran terdakwa sangat penting. Karena itulah, KPK menerapkan pasal suap yang dihubungkan dengan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHPidana,” ungkapnya.
JPU juga kemungkinan melampirkan bukti tambahan sebagai pendukung memori kasasi. Namun dia mengaku belum menerima informasi bukti tambahan apa yang disiapkan JPU. “Ada batas waktu 14 hari bagi kami untuk menyusun memori kasasi,” ujarnya.
Soesilo Aribowo selaku Ketua Tim Kuasa Hukum Sofyan Basir mengatakan, vonis bebas kliennya merupakan perjuangan panjang sejak proses penyidikan hingga pembuktian di persidangan. Apalagi pertimbangan majelis hakim jelas memastikan Sofyan tidak terbukti melakukan perbantuan pidana.
Dia mengatakan, pihaknya mempersilakan KPK mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Karena memang tidak ada pilihan lain bagi JPU selain mengajukan kasasi. Di sisi lain Soesilo menyatakan, pihaknya sudah siap jika KPK mengajukan kasasi.
“Kita juga siap menghadapi andai kata misalnya KPK mengajukan upaya hukum kasasi. Cuma mesti kita ingat bahwa pengajuan kasasi itu bukan lagi berbicara soal fakta, tetapi soal penerapan hukumnya. Salah satunya soal penerapan hukum apakah penerapan Pasal 56 KUHP itu sudah sesuai atau belum, itu saja sih,” ujarnya.
(don)