Pelajaran dari Sofyan Basyir
A
A
A
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
VONIS bebas murni yang dijatuhkan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) pada mantan Direktur Utama PLN, Sofyan Basyir (SB) cukup mengejutkan masyarakat. Selama ini sangat jarang ada putusan bebas murni pada kasus tindak pidana korupsi, khususnya di pengadilan tingkat pertama.
Bahkan jika dibandingkan dengan kebebasan yang diberoleh Syafrudin Arsyad Tumenggung (SAT) yang 'hanya' berkualifikasi 'lepas' dari dari segala tuntutan hukum (onslag), sedangkan putusan yang membebaskan SB berkategori bebas murni (vrijpraak).
Kini semua mata tertuju pada putusan yang membebaskan SB tersebut, Putusan Tipikor tersebut sekaligus menjawab bahwa pengadilan masih melakukan kontrol atas kinerja KPK. Artinya jika selama ini ada anggapan bahwa apapun proses penyidikan, sudah pasti dakwaan jaksa KPK akan diterima oleh pengadilan menjadi terpatahkan dengan vonis SB tersebut.
Pemikiran reflektif atas hal tersebut adalah bahwa memang kualitas dakwaan dan bukti KPK memang bagus, namun tidak terjadi pada kasus SB. Pemikiran lainnya adalah KPK perlu mawas diri dan menjadikan putusan SB sebagai momentum evaluasi.
Kemungkinan lainnya adalah, bisa saja hakim yang membebaskan SB dalam tipikor tersebut keliru dalam merumuskan putusan, sehingga perlu pengujian kembali di tingkat berikutnya.
Jika mengacu pada pendapat Scott Traviz (2002), bahwa hakim yang mengambil 'landmark decision' biasanya telah memiliki dasar kuat mengingat seluruh mata akan tertuju pada Putusan yang dibuat tersebut.
Pelajaran dari vonis bebas SB tersebut adalah bahwa perlu dibuat batas antara keputusan professional yang keliru tanpa adanya niat jahat dengan keputusan yang dilandasi dengan adanya itikad jahat (niat jahat) guna menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain yang menjadi ranah dari tindak pidana korupsi.
Salah satu faktor yang mendorong jatuhnya putusan bebas untuk SB adalah tidak ditemukannya niat jahat SB dalam rangkaian kegiatan korupsi yang dilakukan oleh Eni Saragih, Johanes Kotjo dan terdakwa lainnya. Keputusan SB ketika menjabat Direktur Utama PLN dipandang oleh hakim tidak secara sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Niat Jahat
Meskipun masih mungkin dikoreksi di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA), dalam hal ini setidaknya putusan bebasnya SB memberi pelajaran dan tafsir baru terkait pemahaman akan adanya niat jahat itu sendiri.
Paradigma yang selama ini digunakan adalah jika seseorang berada dalam rangkaian kejahatan (terlepas orang tersebut mengetahui atau tidak) dan perbuatannya dipandang memuluskan atau mendorong terjadinya kejahatan yang digerakkan oleh orang lain maka ia dipandang turut memiliki itikad buruk dan turut serta melakukan atau membantu terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan orang lain.
Dalam hal ini niat jahat dipandang timbul ketika rangkaian kejahatan tersebut selesai dilakukan oleh pihak lain, jadi parameter adanya niat jahat adalah selesai dilakukannya tindak pidana korupsi oleh pihak lain. Parameter yang dipergunakan dalam hal ini adalah adanya tindakan yang turut mendorong adanya kerugian negara atau turut mendorong orang lain untuk memperkaya dirinya sendiri.
Pada situasi ini hubungan dan peran para pihak dalam rangkaian tindakan tersebut tidak menjadi pertimbangan yang utama, mengingat yang menjadi pertimbangan utama adalah adanya rangkaian tindakan yang memperkaya orang lain.
Pertimbangan hakim hingga akhirnya menjatuhkan vonis bebas murni pada SB adalah bahwa tindakan SB dalam rangkaian perbuatan koruptif pihak lain seperti Eni Saragih, Idrus Marham dan Johanes Kotjo tidak didasari atas niat jahat. Pemahaman niat jahat dalam putusan yang membebaskan SB tersebut adalah SB dipandang tidak memiliki itikad buruk ketika menjalankan tugasnya sebagai direktur utama PLN kala itu, meskipun ketika menjalankan tugasnya tersebut SB berada dalam rangkaian perbuatan koruptif Eni Saragih, Idrus Marham dan Johanes Kotjo.
Majelis hakim berpandangan bahwa SB tidak turut serta dalam permufakatan jahat pihak lain, meskipun permufakatan jahat tersebut melibatkan peran SB sebagai direktur utama PLN kala itu. Dalam hal ini pemaknaan niat jahat adalah ada atau tiadanya itikad buruk pada saat seseorang tersebut melakukan perannya.
Jika paradigma ini yang digunakan hakim yang mengadili putusan SB maka tepatlah putusan bebas SB, sebab tidak ditemukan adanya niat jahat dan pelaksanaanya. Sebagaimana diuraikan Mertokusumo (1991), bahwa asas dalam penegakan hukum adalah 'in dubio pro reo' dalam keragu-raguan hakim harus membebaskan terdakwa. Artinya dengan tidak ditemukannya fakta bahwa SB memiliki itikad jahat untuk berperan secara aktif dalam berpartisipasi dalam rangkaian perbuatan koruptif tersebut maka hakim mutlak harus membebaskan SB.
Partisipasi Aktif
Dalam putusan bebasnya SB, partisipasi aktif dan peran dari masing masing individu dalam rangkaian tersebut merupakan hal yang berkorelasi dengan adanya niat jahat dari masing masing. Partisipasi aktif diukur dengan keterlibatan para pihak hingga niat jahat tersebut tercapai, dalam hal ini hingga tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain terwujud.
Artinya, meskipun seseorang (bersama pihak lain) berada dalam rangkaian tindakan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, namun seseorang tersebut tidak memiliki itikad jahat dan melaksanakan tindakannya sesuai tupoksi normalnya maka tidak dapat dikatakan orang tersebut memiliki niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Pada paradigma ini dipisahkan antara niat jahat dalam ranah pidana, khususnya korupsi dan kekeliruan dalam justifikasi bisnis (business judgement) yang bukan merupakan ranah pidana.
Doktrin business judgement rule menempatkan jika ada kekeliruan diluar ranah hukum pidana sebatas dalam pertanggung jawaban professional. Dalam hal ini seandainya terdapat kekeliruan dan kekeliruan tersebut dimanfaatkan pihak lain guna melakukan tindakan koruptif, maka sepanjang tidak ada itikad jahat dan partisipasi aktif untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain maka kekeliruan tersebut bukan berada dalam ranah pidana.
Memang putusan bebasnya SB tersebut mungkin akan dikoreksi oleh MA di tingkat berikutnya tapi sekali lagi putusan bebasnya SB ini memberi pekerjaan rumah bagi KPK dalam mendefinisikan niat jahat terkait perbuatan perbantuan maupun turut serta dalam rangkaian perbuatan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, sehingga putusan bebasnya SB ini sesungguhnya membuka pemikiran baru terkait paradigma dan batasan niat jahat dalam tindak pidana korupsi.
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
VONIS bebas murni yang dijatuhkan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) pada mantan Direktur Utama PLN, Sofyan Basyir (SB) cukup mengejutkan masyarakat. Selama ini sangat jarang ada putusan bebas murni pada kasus tindak pidana korupsi, khususnya di pengadilan tingkat pertama.
Bahkan jika dibandingkan dengan kebebasan yang diberoleh Syafrudin Arsyad Tumenggung (SAT) yang 'hanya' berkualifikasi 'lepas' dari dari segala tuntutan hukum (onslag), sedangkan putusan yang membebaskan SB berkategori bebas murni (vrijpraak).
Kini semua mata tertuju pada putusan yang membebaskan SB tersebut, Putusan Tipikor tersebut sekaligus menjawab bahwa pengadilan masih melakukan kontrol atas kinerja KPK. Artinya jika selama ini ada anggapan bahwa apapun proses penyidikan, sudah pasti dakwaan jaksa KPK akan diterima oleh pengadilan menjadi terpatahkan dengan vonis SB tersebut.
Pemikiran reflektif atas hal tersebut adalah bahwa memang kualitas dakwaan dan bukti KPK memang bagus, namun tidak terjadi pada kasus SB. Pemikiran lainnya adalah KPK perlu mawas diri dan menjadikan putusan SB sebagai momentum evaluasi.
Kemungkinan lainnya adalah, bisa saja hakim yang membebaskan SB dalam tipikor tersebut keliru dalam merumuskan putusan, sehingga perlu pengujian kembali di tingkat berikutnya.
Jika mengacu pada pendapat Scott Traviz (2002), bahwa hakim yang mengambil 'landmark decision' biasanya telah memiliki dasar kuat mengingat seluruh mata akan tertuju pada Putusan yang dibuat tersebut.
Pelajaran dari vonis bebas SB tersebut adalah bahwa perlu dibuat batas antara keputusan professional yang keliru tanpa adanya niat jahat dengan keputusan yang dilandasi dengan adanya itikad jahat (niat jahat) guna menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain yang menjadi ranah dari tindak pidana korupsi.
Salah satu faktor yang mendorong jatuhnya putusan bebas untuk SB adalah tidak ditemukannya niat jahat SB dalam rangkaian kegiatan korupsi yang dilakukan oleh Eni Saragih, Johanes Kotjo dan terdakwa lainnya. Keputusan SB ketika menjabat Direktur Utama PLN dipandang oleh hakim tidak secara sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Niat Jahat
Meskipun masih mungkin dikoreksi di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA), dalam hal ini setidaknya putusan bebasnya SB memberi pelajaran dan tafsir baru terkait pemahaman akan adanya niat jahat itu sendiri.
Paradigma yang selama ini digunakan adalah jika seseorang berada dalam rangkaian kejahatan (terlepas orang tersebut mengetahui atau tidak) dan perbuatannya dipandang memuluskan atau mendorong terjadinya kejahatan yang digerakkan oleh orang lain maka ia dipandang turut memiliki itikad buruk dan turut serta melakukan atau membantu terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan orang lain.
Dalam hal ini niat jahat dipandang timbul ketika rangkaian kejahatan tersebut selesai dilakukan oleh pihak lain, jadi parameter adanya niat jahat adalah selesai dilakukannya tindak pidana korupsi oleh pihak lain. Parameter yang dipergunakan dalam hal ini adalah adanya tindakan yang turut mendorong adanya kerugian negara atau turut mendorong orang lain untuk memperkaya dirinya sendiri.
Pada situasi ini hubungan dan peran para pihak dalam rangkaian tindakan tersebut tidak menjadi pertimbangan yang utama, mengingat yang menjadi pertimbangan utama adalah adanya rangkaian tindakan yang memperkaya orang lain.
Pertimbangan hakim hingga akhirnya menjatuhkan vonis bebas murni pada SB adalah bahwa tindakan SB dalam rangkaian perbuatan koruptif pihak lain seperti Eni Saragih, Idrus Marham dan Johanes Kotjo tidak didasari atas niat jahat. Pemahaman niat jahat dalam putusan yang membebaskan SB tersebut adalah SB dipandang tidak memiliki itikad buruk ketika menjalankan tugasnya sebagai direktur utama PLN kala itu, meskipun ketika menjalankan tugasnya tersebut SB berada dalam rangkaian perbuatan koruptif Eni Saragih, Idrus Marham dan Johanes Kotjo.
Majelis hakim berpandangan bahwa SB tidak turut serta dalam permufakatan jahat pihak lain, meskipun permufakatan jahat tersebut melibatkan peran SB sebagai direktur utama PLN kala itu. Dalam hal ini pemaknaan niat jahat adalah ada atau tiadanya itikad buruk pada saat seseorang tersebut melakukan perannya.
Jika paradigma ini yang digunakan hakim yang mengadili putusan SB maka tepatlah putusan bebas SB, sebab tidak ditemukan adanya niat jahat dan pelaksanaanya. Sebagaimana diuraikan Mertokusumo (1991), bahwa asas dalam penegakan hukum adalah 'in dubio pro reo' dalam keragu-raguan hakim harus membebaskan terdakwa. Artinya dengan tidak ditemukannya fakta bahwa SB memiliki itikad jahat untuk berperan secara aktif dalam berpartisipasi dalam rangkaian perbuatan koruptif tersebut maka hakim mutlak harus membebaskan SB.
Partisipasi Aktif
Dalam putusan bebasnya SB, partisipasi aktif dan peran dari masing masing individu dalam rangkaian tersebut merupakan hal yang berkorelasi dengan adanya niat jahat dari masing masing. Partisipasi aktif diukur dengan keterlibatan para pihak hingga niat jahat tersebut tercapai, dalam hal ini hingga tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain terwujud.
Artinya, meskipun seseorang (bersama pihak lain) berada dalam rangkaian tindakan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, namun seseorang tersebut tidak memiliki itikad jahat dan melaksanakan tindakannya sesuai tupoksi normalnya maka tidak dapat dikatakan orang tersebut memiliki niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Pada paradigma ini dipisahkan antara niat jahat dalam ranah pidana, khususnya korupsi dan kekeliruan dalam justifikasi bisnis (business judgement) yang bukan merupakan ranah pidana.
Doktrin business judgement rule menempatkan jika ada kekeliruan diluar ranah hukum pidana sebatas dalam pertanggung jawaban professional. Dalam hal ini seandainya terdapat kekeliruan dan kekeliruan tersebut dimanfaatkan pihak lain guna melakukan tindakan koruptif, maka sepanjang tidak ada itikad jahat dan partisipasi aktif untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain maka kekeliruan tersebut bukan berada dalam ranah pidana.
Memang putusan bebasnya SB tersebut mungkin akan dikoreksi oleh MA di tingkat berikutnya tapi sekali lagi putusan bebasnya SB ini memberi pekerjaan rumah bagi KPK dalam mendefinisikan niat jahat terkait perbuatan perbantuan maupun turut serta dalam rangkaian perbuatan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, sehingga putusan bebasnya SB ini sesungguhnya membuka pemikiran baru terkait paradigma dan batasan niat jahat dalam tindak pidana korupsi.
(shf)