Desa Fiktif Bukan Hal Baru, DPR Minta Pengawasan Diperketat
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang menyebutkan adanya desa tak berpenduduk alias desa fiktif namun tetap mendapat kucuran dana desa hingga Rp1 miliar mengejutkan publik. Namun, informasi tersebut ternyata dinilai bukan hal baru.
”Soal ini kan bukan soal baru. Dalam rapat dengan BPJS sebelumnya, kita mendengar dari 30 juta peserta, ada kurang lebih 17 bahkan lebih 20 juta. Setelah disisir, terjadi duplikasi dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jangan terkejut. Fiktif-fiktif ini biasa dalam pembobolsan anggaran itu,” tutur anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Menurut politikus PDI Perjuangan ini, hal yang justru harus dicermati adalah bagaimana tugas Inspektorat dalam melakukan pemeriksaan baik aparat pemerintah maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam menjalankan sistem pengendalian internal. Termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor eksternal yang harus memeriksa terus.
”Sebab kalau tidak, siapa sih orang yang tidak suka mendapatkan dana lebih besar dengan program-program yang terkadang fiktif? Asumsi kita ini harus berubah. Harusnya adalah orang kan cenderung menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki. Sehingga kalau terjadi, justru kita heran kalau tidak terjadi penyimpangan. Asumsinya begitu,” katanya.
Karena itu, dari informasi yang disampaikan Menkeu, DPR akan melakukan telaah lebih detail. ”Tetapi substansinya itu bukan hal yang baru. Kalau misalnya ada insentif untuk desa yang penduduk miskinnya besar, tiba-tiba muncul desa-desa yang jumlah penduduk miskinnya bertambah, yang begini substansinya tidak mengejutkan. Tetapi bagaimana proses administrasinya, pertanggungjawaban keuangannya,” paparnya.
Di sisi lain, Inspektorat di tingkat kabupaten/kota juga harus terus melakukan monitoring dan pengawasan. DPR sendiri masih akan melakukan cek dan ricek untuk mendapatkan laporan yang lebih detail. ”Jangan sampai kita belum memiliki bahan laporan yang seksama, terus ribut sendiri,” urainya.
Hendrawan mengatakan, hal terpenting yang harus diperhatikan yaitu memiliki database yang akurat sehingga bisa dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan publik yang efektif.
”Pohon besarnya begitu. Substansi pemikiran kita begitu. Itu sebabnya kalau kita tidak memiliki data yang akurat, kebijakan publik kita tidak akan jelas arah dan efektivitasnya,” urainya.
Karena itu, menurut Hendrawan, Presiden mengeluarkan Perpres Satu Data dengan menjadikan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai tulang punggung penyediaan data. ”Sekarang inikan datanya berubah-ubah. Misalnya data produk pertanian, data perdagangan, dan perindustrian. Ini berubah-ubah terus, jadi bukan baru hari ini,” urainya.
”Soal ini kan bukan soal baru. Dalam rapat dengan BPJS sebelumnya, kita mendengar dari 30 juta peserta, ada kurang lebih 17 bahkan lebih 20 juta. Setelah disisir, terjadi duplikasi dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jangan terkejut. Fiktif-fiktif ini biasa dalam pembobolsan anggaran itu,” tutur anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Menurut politikus PDI Perjuangan ini, hal yang justru harus dicermati adalah bagaimana tugas Inspektorat dalam melakukan pemeriksaan baik aparat pemerintah maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam menjalankan sistem pengendalian internal. Termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor eksternal yang harus memeriksa terus.
”Sebab kalau tidak, siapa sih orang yang tidak suka mendapatkan dana lebih besar dengan program-program yang terkadang fiktif? Asumsi kita ini harus berubah. Harusnya adalah orang kan cenderung menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki. Sehingga kalau terjadi, justru kita heran kalau tidak terjadi penyimpangan. Asumsinya begitu,” katanya.
Karena itu, dari informasi yang disampaikan Menkeu, DPR akan melakukan telaah lebih detail. ”Tetapi substansinya itu bukan hal yang baru. Kalau misalnya ada insentif untuk desa yang penduduk miskinnya besar, tiba-tiba muncul desa-desa yang jumlah penduduk miskinnya bertambah, yang begini substansinya tidak mengejutkan. Tetapi bagaimana proses administrasinya, pertanggungjawaban keuangannya,” paparnya.
Di sisi lain, Inspektorat di tingkat kabupaten/kota juga harus terus melakukan monitoring dan pengawasan. DPR sendiri masih akan melakukan cek dan ricek untuk mendapatkan laporan yang lebih detail. ”Jangan sampai kita belum memiliki bahan laporan yang seksama, terus ribut sendiri,” urainya.
Hendrawan mengatakan, hal terpenting yang harus diperhatikan yaitu memiliki database yang akurat sehingga bisa dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan publik yang efektif.
”Pohon besarnya begitu. Substansi pemikiran kita begitu. Itu sebabnya kalau kita tidak memiliki data yang akurat, kebijakan publik kita tidak akan jelas arah dan efektivitasnya,” urainya.
Karena itu, menurut Hendrawan, Presiden mengeluarkan Perpres Satu Data dengan menjadikan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai tulang punggung penyediaan data. ”Sekarang inikan datanya berubah-ubah. Misalnya data produk pertanian, data perdagangan, dan perindustrian. Ini berubah-ubah terus, jadi bukan baru hari ini,” urainya.
(cip)