Imam Masjid New York Kritik Menag Soal Celana Cingkrang
A
A
A
JAKARTA - Isu radikalisme yang belakangan kembali marak ditambah pernyataan-pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi soal celana cingkrang dan cadar menjadi polemik di tengah masyarakat.
Berbagai pihak pun angkat bicara menanggapi polemik. Bahkan, kali ini datang dari Imam Besar Masjid New York Imam Shamsi Ali.
Menurut Shamsi, sejak terbentuknya Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, ada satu hal yang seolah menjadi “nyanyian” bersama, yaitu isu radikalisme.
"Ada kecenderungan untuk mem-blow up isu ini sehingga seolah menjadi isu Nasional yang bersifat darurat. #Radikalisme," tulis Shamsi Ali melalui akun Twitternya, @ShamsiAli2, Senin (5/11/2019). (Baca Juga: Bantah Larang Cadar dan Celana Cingkrang, Menag Ngaku Hanya Rekomendasikan)
Ali menilai pelemparan isu radikalisme kerap dijadikan senjata untuk menemukan pembenaran bagi sebuah langkah kebijakan. Salah satunya adanya regulasi yang akan mempersempit pergerakan “religius freedom” atau kebebasan beragama yang justru kerap dianggap mengganggu bagi kelompok tertentu.
"Lebih khusus kebebasan, termasuk beragama, bisa dianggap ancaman bagi kekuasaan. Radikalisme tertentu. Ini terjadi di mana-mana. Tujuan Utama bukan isunya. Tapi isu akan dijadikan pembenaran untuk tujuan tertentu. #Radikalisme," kata Presiden Nusantara Foundation itu.
Adapun yang paling disesalkan Shamsi Ali adalah sikap Menteri Agama yang meyampaikan seolah prioritas kerjanya menangani radikalisme.
Menurut dia, intervensi kementrian dalam kurikulum pendidikan atau ceramah-ceramah agama bisa dianggap pengungkungan terhadap kebebasan ekspresi.
"Apalagi ketika Menteri Agama harus mengurus bentuk pakaian yang dianggap bagian dari ekspresi agama bagi sebagian orang. Semoga kementerian tidak direduksi untuk mengurus hal-hal seperti ini. Mengurus celana cingkrang misalnya. Masih banyak urusan besar menunggu. #Radikalisme," tulis Shamsi.
Dia mencurigai isu radikalisme direspons juga dengan cara radikal. Maka terjadilah self paradox. "Memerangi radikalisme. Tapi sekaligus membangun sikap radikal....tentu kegagalan dari awal untuk semua misi yang diklaim sebagai kebaikan. #Radikalisme," katanya.
"Sebagai putra bangsa saya bermimpi melihat bangsa ini maju & besar sejajar dengan bangsa-bangsa maju & besar lainnya. Karenanya para pengambil kebijakan harus bervisi besar...jangan isu radikalisme justeru mengalihkan perhatian dari rencana awal: Indonesia Maju! #Radikalisme," lanjutnya.
Menurut dia, tuduhan radikal atas dasar penampakan fisik pernah terjadi di Kota New York. Kepolisian New Yorka, kata dia, melakukan apa yg disebut “penelitian” tentang Homegrown Radicalism di tahun 2008 lalu. Disimpulkan bahwa radikal itu bercirikan: janggut, pakaian tradisional Arab/Pakistan.
"Belakangan tuduhan-tuduhan itu tidak bisa dibuktikan. Justru yang melakukan banyak teror dan pembunuhan adalah mereka yang memakai jas/dasi dan jeans dan kaos oblong...Karenanya salah membangun imej radikal dengan penampilan fisik...itu shortsighted namanya," tulis Shamsi.
Berbagai pihak pun angkat bicara menanggapi polemik. Bahkan, kali ini datang dari Imam Besar Masjid New York Imam Shamsi Ali.
Menurut Shamsi, sejak terbentuknya Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, ada satu hal yang seolah menjadi “nyanyian” bersama, yaitu isu radikalisme.
"Ada kecenderungan untuk mem-blow up isu ini sehingga seolah menjadi isu Nasional yang bersifat darurat. #Radikalisme," tulis Shamsi Ali melalui akun Twitternya, @ShamsiAli2, Senin (5/11/2019). (Baca Juga: Bantah Larang Cadar dan Celana Cingkrang, Menag Ngaku Hanya Rekomendasikan)
Ali menilai pelemparan isu radikalisme kerap dijadikan senjata untuk menemukan pembenaran bagi sebuah langkah kebijakan. Salah satunya adanya regulasi yang akan mempersempit pergerakan “religius freedom” atau kebebasan beragama yang justru kerap dianggap mengganggu bagi kelompok tertentu.
"Lebih khusus kebebasan, termasuk beragama, bisa dianggap ancaman bagi kekuasaan. Radikalisme tertentu. Ini terjadi di mana-mana. Tujuan Utama bukan isunya. Tapi isu akan dijadikan pembenaran untuk tujuan tertentu. #Radikalisme," kata Presiden Nusantara Foundation itu.
Adapun yang paling disesalkan Shamsi Ali adalah sikap Menteri Agama yang meyampaikan seolah prioritas kerjanya menangani radikalisme.
Menurut dia, intervensi kementrian dalam kurikulum pendidikan atau ceramah-ceramah agama bisa dianggap pengungkungan terhadap kebebasan ekspresi.
"Apalagi ketika Menteri Agama harus mengurus bentuk pakaian yang dianggap bagian dari ekspresi agama bagi sebagian orang. Semoga kementerian tidak direduksi untuk mengurus hal-hal seperti ini. Mengurus celana cingkrang misalnya. Masih banyak urusan besar menunggu. #Radikalisme," tulis Shamsi.
Dia mencurigai isu radikalisme direspons juga dengan cara radikal. Maka terjadilah self paradox. "Memerangi radikalisme. Tapi sekaligus membangun sikap radikal....tentu kegagalan dari awal untuk semua misi yang diklaim sebagai kebaikan. #Radikalisme," katanya.
"Sebagai putra bangsa saya bermimpi melihat bangsa ini maju & besar sejajar dengan bangsa-bangsa maju & besar lainnya. Karenanya para pengambil kebijakan harus bervisi besar...jangan isu radikalisme justeru mengalihkan perhatian dari rencana awal: Indonesia Maju! #Radikalisme," lanjutnya.
Menurut dia, tuduhan radikal atas dasar penampakan fisik pernah terjadi di Kota New York. Kepolisian New Yorka, kata dia, melakukan apa yg disebut “penelitian” tentang Homegrown Radicalism di tahun 2008 lalu. Disimpulkan bahwa radikal itu bercirikan: janggut, pakaian tradisional Arab/Pakistan.
"Belakangan tuduhan-tuduhan itu tidak bisa dibuktikan. Justru yang melakukan banyak teror dan pembunuhan adalah mereka yang memakai jas/dasi dan jeans dan kaos oblong...Karenanya salah membangun imej radikal dengan penampilan fisik...itu shortsighted namanya," tulis Shamsi.
(dam)