Pemerintah Buka Sedikit Ruang Ubah Pasal Kontroversial RUU KUHP
A
A
A
JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly akan membuka sedikit ruang untuk merevisi sejumlah pasal yang kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU KUHP). Namun, alasannya harus rasional sehingga memungkinkan untuk diubah.
“Ada yang disosialisasi, ada yang barangkali..misalnya co-habitasi (kumpul kebo), perlu dari kepala desa, walaupun kepala desa itu mesti izin orang tua, ya udah agar orang tua tidak jadi alat bancakan nanti,” kata Yasonna seusai rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Namun demikian, Yasonna melanjutkan, pemerintah masih membuka ruang untuk merevisi sejumlah pasal atau ketentuan yang memang dirasa perlu untuk diubah. “Iya (buka ruang revisi), yang rasional, yang rasional,” ujarnya.
Adapun target, dia memaparkan, karena belum ditetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), maka perlu diselesaikan dulu pada 12 Desember mendatang. Baru kemudian bisa mulai dibahas kembali pada Januari 2020. Dan keuntungan dari carry over (melanjutkan) pembahasan RUU dari periode sebelumnya ini, pembahasannya tidak perlu mengulang dari awal.
“Kalau geser ke square one (paragraf pertama), lima tahun lagi nggak selesai dan nanti ribut lagi. Kalau memuaskan rakyat Indonesia kan nggak mungkin,” ucap Politikus PDIP itu.
Menurut Yasonna, RUU ini juga menyisakan beberapa pasal saja yang perlu penjelasan lebih rinci. Seperti misalnya soal unggas dan jam keluar malam, itu hanya karena masyarakat malas membaca saja. Dan soal ketentuan pulang malam bagi perempuan itu berbeda dengan bergelandangan, kalau bergelandangan itu dulu dihukum hukuman badan, sekarang denda, dan bagi yang tidak mampu akan membayar dengan kerja sosial.
Kemudian, sambung dia, soal pasal penghinaan presiden, itu tidak bisa dihapus karena menyangkut martabat. Soal kontrasepsi yang dikecualikan untuk tujuan pendidikan, aturannya akan diperjelas agar tidak disalahgunakan. Begitu juga aborsi, akan dimasukkan ketentuan dalam UU Kesehatan bahwa untuk korban pemerkosaan dan alasan medis lainnya akan dikecualikan.
“(UU Kesehatan) Masuk, dibuat pengecualian, apakah di norma atau di penjelasan. Supaya nggak bikin pusing. Kita akomodasi orang yang tidak baca semua. Akhirnya kita tahu tidak semua orang punya pemahaman yang sama,” paparnya.
Namun demikian, Yasonna menambahkan, tertutup kemungkinan untuk menghapus pasal tertentu, yang paling mungkin adalah merevisi. “Di-revise lagi mungkin, kan hanya sedikit aja itu,” tandasnya.
“Ada yang disosialisasi, ada yang barangkali..misalnya co-habitasi (kumpul kebo), perlu dari kepala desa, walaupun kepala desa itu mesti izin orang tua, ya udah agar orang tua tidak jadi alat bancakan nanti,” kata Yasonna seusai rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Namun demikian, Yasonna melanjutkan, pemerintah masih membuka ruang untuk merevisi sejumlah pasal atau ketentuan yang memang dirasa perlu untuk diubah. “Iya (buka ruang revisi), yang rasional, yang rasional,” ujarnya.
Adapun target, dia memaparkan, karena belum ditetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), maka perlu diselesaikan dulu pada 12 Desember mendatang. Baru kemudian bisa mulai dibahas kembali pada Januari 2020. Dan keuntungan dari carry over (melanjutkan) pembahasan RUU dari periode sebelumnya ini, pembahasannya tidak perlu mengulang dari awal.
“Kalau geser ke square one (paragraf pertama), lima tahun lagi nggak selesai dan nanti ribut lagi. Kalau memuaskan rakyat Indonesia kan nggak mungkin,” ucap Politikus PDIP itu.
Menurut Yasonna, RUU ini juga menyisakan beberapa pasal saja yang perlu penjelasan lebih rinci. Seperti misalnya soal unggas dan jam keluar malam, itu hanya karena masyarakat malas membaca saja. Dan soal ketentuan pulang malam bagi perempuan itu berbeda dengan bergelandangan, kalau bergelandangan itu dulu dihukum hukuman badan, sekarang denda, dan bagi yang tidak mampu akan membayar dengan kerja sosial.
Kemudian, sambung dia, soal pasal penghinaan presiden, itu tidak bisa dihapus karena menyangkut martabat. Soal kontrasepsi yang dikecualikan untuk tujuan pendidikan, aturannya akan diperjelas agar tidak disalahgunakan. Begitu juga aborsi, akan dimasukkan ketentuan dalam UU Kesehatan bahwa untuk korban pemerkosaan dan alasan medis lainnya akan dikecualikan.
“(UU Kesehatan) Masuk, dibuat pengecualian, apakah di norma atau di penjelasan. Supaya nggak bikin pusing. Kita akomodasi orang yang tidak baca semua. Akhirnya kita tahu tidak semua orang punya pemahaman yang sama,” paparnya.
Namun demikian, Yasonna menambahkan, tertutup kemungkinan untuk menghapus pasal tertentu, yang paling mungkin adalah merevisi. “Di-revise lagi mungkin, kan hanya sedikit aja itu,” tandasnya.
(pur)