Iuran BPJS Naik Bisa Picu Penunggak
A
A
A
KENAIKAN iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100% awal tahun depan berpotensi meningkatkan jumlah penunggak. Lantas, apa antisipasi pihak BPJS Kesehatan?
Kekhawatiran melonjaknya jumlah penunggak pascakenaikan iuran tersebut tidak ditampik Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. Karena itu, pihak BPJS Kesehatan mengklaim sudah menyiapkan prosedur untuk menghadapi peserta nonaktif alias nunggak iuran dengan cara persuasif.
Setiap peserta yang menunggak akan diingatkan melunasi tagihannya melalui telepon hingga tiga bulan. Apabila dalam tenggat waktu tiga bulan tidak melunasi kewajibannya maka dilakukan penagihan langsung sampai akhirnya membayar tagihan. Penagihan langsung masuk dalam kategori pendekatan nonregulatif.
Meski demikian, pihak BPJS Kesehatan menyatakan bahwa kelompok yang berpotensi bermasalah tidak perlu terlalu dikhawatirkan sebab pemerintah masih memberikan subsidi. Peserta yang mendapatkan bantuan dari pemerintah adalah Peserta Bukan Penerima Upah dan bukan pekerja alias peserta mandiri.
Dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, peserta mandiri untuk kelas I harus merogoh kocek Rp160.000 per bulan. Peserta mandiri kelas II membayar Rp110.000 per bulan. Dan, peserta mandiri kelas III mengeluarkan dana Rp42.000 per bulan. Angka tersebut berdasarkan versi pihak BPJS Kesehatan masih di bawah yang seharusnya. Kalau berdasarkan hitungan tanpa subsidi maka peserta mandiri kelas I harus membayar Rp274.204, kelas II Rp190.636, dan kelas III Rp131.195.
Kebijakan pemerintah menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan adalah salah satu upaya mengatasi defisit yang selama ini terus membelit. Namun, sejumlah masyarakat menilai langkah pemerintah menaikkan iuran adalah kurang tepat sebab langsung dibebankan kepada peserta, padahal ditengarai masih banyak cara lain yang bisa ditempuh pemerintah.
Namun apa boleh buat, palu kebijakan sudah diketuk kebijakan baru yang dimaksudkan untuk “menyelamatkan” BPJS Kesehatan siap diberlakukan awal tahun depan. Sebagai bentuk protes dari masyarakat yang menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, mereka dapat dipantau di media sosial yang diviralkan dengan tanda pagar (tagar) #turunkelas. Memang, peserta bisa “turun kelas” namun tidak bisa dilakukan sembarangan alias semaunya peserta.
Karena itu, pihak BPJS Kesehatan tidak gentar menghadapi ancaman peserta yang memilih “turun kelas” pascakenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan. Pihak BPJS Kesehatan sebagaimana dijelaskan Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf bahwa salah satu syarat untuk mengubah kelas minimal sudah terdaftar sebagai peserta selama satu tahun.
Syarat itu juga berlaku bagi peserta yang sudah pernah pindah kelas kepesertaan. Persyaratan lainnya terkait dengan dokumen, meliputi fotokopi akta kelahiran, kartu keluarga, hingga fotokopi cover buku rekening untuk proses auto debet. Pada dasarnya, persoalan “turun kelas”, maka pihak BPJS Kesehatan tidak bisa menghalangi karena itu hak bagi peserta.
Penolakan secara terang-terangan atas kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan telah disampaikan kalangan buruh yang bernaung di bawah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Ketika ribuan buruh dari berbagai daerah menggelar aksi unjuk rasa akhir bulan lalu, mereka tidak hanya menolak kenaikan upah minimum provinsi, tetapi juga memprotes kenaikan iuran BPJS Kesehatan khususnya kelas III.
Presiden KSPI Said Iqbal yang terkenal konsisten memperjuangkan nasib buruh selama ini, menilai kebijakan pemerintah menyelamatkan BPJS Kesehatan dari kerugian dengan cara menaikkan iuran itu keliru besar. Pasalnya, kenaikan iuran tersebut sangat merugikan buruh terutama di daerah.
Dicontohkan, kenaikan iuran BPJS kelas III Rp42.000 per bulan kali satu istri, satu suami, tiga anak maka total yang harus dibayar sebesar Rp210.000 per bulan. Adapun pendapatan buruh di daerah masih tergolong rendah. Karena itu, pihak KSPI berharap Presiden Joko Widodo membatalkan kebijakan itu.
Satu pertanyaan menarik dilontarkan, apakah BPJS Kesehatan tidak akan defisit lagi setelah menaikkan iuran peserta? Tidak ada jaminan, yang pasti arus kas yang diterima lembaga jaminan kesehatan itu bakal lebih besar. Arus kas BPJS Kesehatan bersumber dari anggaran negara untuk penerima bantuan iuran dan iuran yang dibayarkan masyarakat.
Sebenarnya, kebijakan menaikkan iuran peserta hanya salah satu solusi mengatasi masalah BPJS Kesehatan. Pasalnya, penyebab defisit BPJS Kesehatan tidak semata karena iuran peserta yang dinilai rendah selama ini. Sejumlah persoalan harus diselesaikan secara transparan tanpa harus membebani peserta.
Kekhawatiran melonjaknya jumlah penunggak pascakenaikan iuran tersebut tidak ditampik Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. Karena itu, pihak BPJS Kesehatan mengklaim sudah menyiapkan prosedur untuk menghadapi peserta nonaktif alias nunggak iuran dengan cara persuasif.
Setiap peserta yang menunggak akan diingatkan melunasi tagihannya melalui telepon hingga tiga bulan. Apabila dalam tenggat waktu tiga bulan tidak melunasi kewajibannya maka dilakukan penagihan langsung sampai akhirnya membayar tagihan. Penagihan langsung masuk dalam kategori pendekatan nonregulatif.
Meski demikian, pihak BPJS Kesehatan menyatakan bahwa kelompok yang berpotensi bermasalah tidak perlu terlalu dikhawatirkan sebab pemerintah masih memberikan subsidi. Peserta yang mendapatkan bantuan dari pemerintah adalah Peserta Bukan Penerima Upah dan bukan pekerja alias peserta mandiri.
Dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, peserta mandiri untuk kelas I harus merogoh kocek Rp160.000 per bulan. Peserta mandiri kelas II membayar Rp110.000 per bulan. Dan, peserta mandiri kelas III mengeluarkan dana Rp42.000 per bulan. Angka tersebut berdasarkan versi pihak BPJS Kesehatan masih di bawah yang seharusnya. Kalau berdasarkan hitungan tanpa subsidi maka peserta mandiri kelas I harus membayar Rp274.204, kelas II Rp190.636, dan kelas III Rp131.195.
Kebijakan pemerintah menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan adalah salah satu upaya mengatasi defisit yang selama ini terus membelit. Namun, sejumlah masyarakat menilai langkah pemerintah menaikkan iuran adalah kurang tepat sebab langsung dibebankan kepada peserta, padahal ditengarai masih banyak cara lain yang bisa ditempuh pemerintah.
Namun apa boleh buat, palu kebijakan sudah diketuk kebijakan baru yang dimaksudkan untuk “menyelamatkan” BPJS Kesehatan siap diberlakukan awal tahun depan. Sebagai bentuk protes dari masyarakat yang menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, mereka dapat dipantau di media sosial yang diviralkan dengan tanda pagar (tagar) #turunkelas. Memang, peserta bisa “turun kelas” namun tidak bisa dilakukan sembarangan alias semaunya peserta.
Karena itu, pihak BPJS Kesehatan tidak gentar menghadapi ancaman peserta yang memilih “turun kelas” pascakenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan. Pihak BPJS Kesehatan sebagaimana dijelaskan Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf bahwa salah satu syarat untuk mengubah kelas minimal sudah terdaftar sebagai peserta selama satu tahun.
Syarat itu juga berlaku bagi peserta yang sudah pernah pindah kelas kepesertaan. Persyaratan lainnya terkait dengan dokumen, meliputi fotokopi akta kelahiran, kartu keluarga, hingga fotokopi cover buku rekening untuk proses auto debet. Pada dasarnya, persoalan “turun kelas”, maka pihak BPJS Kesehatan tidak bisa menghalangi karena itu hak bagi peserta.
Penolakan secara terang-terangan atas kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan telah disampaikan kalangan buruh yang bernaung di bawah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Ketika ribuan buruh dari berbagai daerah menggelar aksi unjuk rasa akhir bulan lalu, mereka tidak hanya menolak kenaikan upah minimum provinsi, tetapi juga memprotes kenaikan iuran BPJS Kesehatan khususnya kelas III.
Presiden KSPI Said Iqbal yang terkenal konsisten memperjuangkan nasib buruh selama ini, menilai kebijakan pemerintah menyelamatkan BPJS Kesehatan dari kerugian dengan cara menaikkan iuran itu keliru besar. Pasalnya, kenaikan iuran tersebut sangat merugikan buruh terutama di daerah.
Dicontohkan, kenaikan iuran BPJS kelas III Rp42.000 per bulan kali satu istri, satu suami, tiga anak maka total yang harus dibayar sebesar Rp210.000 per bulan. Adapun pendapatan buruh di daerah masih tergolong rendah. Karena itu, pihak KSPI berharap Presiden Joko Widodo membatalkan kebijakan itu.
Satu pertanyaan menarik dilontarkan, apakah BPJS Kesehatan tidak akan defisit lagi setelah menaikkan iuran peserta? Tidak ada jaminan, yang pasti arus kas yang diterima lembaga jaminan kesehatan itu bakal lebih besar. Arus kas BPJS Kesehatan bersumber dari anggaran negara untuk penerima bantuan iuran dan iuran yang dibayarkan masyarakat.
Sebenarnya, kebijakan menaikkan iuran peserta hanya salah satu solusi mengatasi masalah BPJS Kesehatan. Pasalnya, penyebab defisit BPJS Kesehatan tidak semata karena iuran peserta yang dinilai rendah selama ini. Sejumlah persoalan harus diselesaikan secara transparan tanpa harus membebani peserta.
(thm)