Pemerintah Siap Tindak Tegas Terkait Sampah dan Limbah Beracun
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah terus mengambil sikap tegas terhadap importir sampah yang melanggar aturan. Importir diminta melakukan reekspor terhadap 428 kontainer yang berisi skrap plastik tercampur sampah dan/atau limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) ke negara asal.
Penegasan tersebut dikemukakan Dirjen Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Rosa Vivien Ratnawati kepada media, dalam konferensi pers bersama Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, di Jakarta, Rabu (31/10/2019)
Menurut Vivien, penanganan importasi limbah ilegal ini memerlukan suatu proses yang tidak sebentar, maka secara nasional diperlukan penguatan pemahaman antar instansi terkait untuk penanganannya termasuk juga dalam melakukan pengawasan di Border dan di Post Border.
Diperlukan data dan informasi yang akurat serta prosedur yang jelas bilamana akan dilakukan pengembalian limbah illegal tersebut ke negara asal.
Dijelaskan Dirjen Vivien, dalam penanganan permasalahan reekspor kontainer ilegal karena berisi limbah non B3 dalam kondisi kotor dan/atau terkontaminasi dan tercampur limbah B3 dan/atau sampah yang harus dikembalikan ke negara asal, maka penanganan yang sedang dan akan dilakukan adalah pelaksanaan reekspor dilakukan berdasarkan mekanisme B to B berdasarkan kontrak kerja sama importir dengan eksportir dibawah koordinasi Bea Cukai dan sesuai Permendag 31 Tahun 2016 terhitung pelaksanaanya dalam waktu 90 hari.
Tetapi kata Dirjen Vivien, bilamana pelaksanaan reekspor tersebut tidak terlaksana dalam mekanisme B to B maka akan ditindaklanjuti dengan mekanisme Konvensi Basel melalui notifikasi antara Focal Point pemerintah Indonesia dengan focal point negara asal limbah atau dengan focal point negara eksportir.
Kemudian, seandainya tidak ada tanggapan dari negara asal limbah dan negara eksportir, maka akan dilakukan pendekatan bilateral melalui jalur negosiasi Kementerian Luar Negeri dan melalui Sekretariat Konvensi Basel. Sedangkan paksaan reekspor terhadap importir adalah dengan perintah pengadilan.
"Dalam hal reekspor tidak berjalan dengan baik maka Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) KLHK akan menindak tegas jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak reekspor ke negara asal," ujar Vivien Ratnawati.
Dikemukakan, selama periode April - September 2019 telah diperiksa oleh Kementerian LHK total 882 kontainer berisi skrap plastik dan skrap kertas. Dari 882 kontainer yang telah diperiksa tersebut, sebanyak 428 kontainer ditemukan berisi skrap plastik tercampur sampah dan/atau limbah B3 sehingga harus direekspor, 454 sisanya dinyatakan bersih, dan 374 kontainer di antaranya yang sudah direekspor itu datang dari berbagai negara yaitu Prancis, Jerman, Belanda, Slovenia, Belgia, Inggris, Selandia Baru, Australia, Amerika, Spanyol, Kanada, Hongkong, dan Jepang.
Sebanyak 428 kontainer yang bermasalah tersebut, Kementerian LHK telah mengeluarkan surat rekomendasi agar importir melakukan reekspor. Diharapkan dengan Penguatan kerja sama dan koordinasi yang baik antar semua pihak baik internal Kementerian LHK maupun dengan instansi lainnya, permasalahan importasi limbah non B3 yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut dapat segera tertangani sehingga dapat mencegah masuknya limbah illegal ke Indonesia.
Harga diri bangsa Indonesia tetap harus dijaga dengan menjaga Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan sampah dunia.
Lebih lanjut Dirjen Vivien Ratnawati hingga 30 Oktober 2019, ratusan kontainer impor limbah non B3 yang yang masuk ke wilayah Indonesia melalui sejumlah pelabuhan yaitu Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Batu Ampar, Pelabuhan Tanjung Priok dan di Kawasan Berikat Banten telah ditahan oleh Bea dan Cukai setempat.
Melalui hasil pemeriksaan bersama antara KLHK dengan Bea Cukai, teridentifikasi bahwa kontainer yang berisi limbah non B3 tersebut sebagian terkontaminasi Limbah B3 dan/atau tercampur sampah.
"Hal ini tentu saja menjadi sorotan serius dan mengkhawatirkan karena jika hal ini tidak segera dicegah dan ditangani maka Indonesia hanya akan menjadi tempat sampah bagi Negara lain. Hal ini dapat mengakibatkan wilayah Indonesia akan terbebani dari limbah dan sampah serta residu yang dihasilkannya sehingga berdampak pada menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan," papar Vivien.
Ditegaskan Vivien, tidak diperbolehkannya masuknya sampah ke wilayah Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan larangan tentang masuknya limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) ke Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penegasan tersebut dikemukakan Dirjen Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Rosa Vivien Ratnawati kepada media, dalam konferensi pers bersama Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, di Jakarta, Rabu (31/10/2019)
Menurut Vivien, penanganan importasi limbah ilegal ini memerlukan suatu proses yang tidak sebentar, maka secara nasional diperlukan penguatan pemahaman antar instansi terkait untuk penanganannya termasuk juga dalam melakukan pengawasan di Border dan di Post Border.
Diperlukan data dan informasi yang akurat serta prosedur yang jelas bilamana akan dilakukan pengembalian limbah illegal tersebut ke negara asal.
Dijelaskan Dirjen Vivien, dalam penanganan permasalahan reekspor kontainer ilegal karena berisi limbah non B3 dalam kondisi kotor dan/atau terkontaminasi dan tercampur limbah B3 dan/atau sampah yang harus dikembalikan ke negara asal, maka penanganan yang sedang dan akan dilakukan adalah pelaksanaan reekspor dilakukan berdasarkan mekanisme B to B berdasarkan kontrak kerja sama importir dengan eksportir dibawah koordinasi Bea Cukai dan sesuai Permendag 31 Tahun 2016 terhitung pelaksanaanya dalam waktu 90 hari.
Tetapi kata Dirjen Vivien, bilamana pelaksanaan reekspor tersebut tidak terlaksana dalam mekanisme B to B maka akan ditindaklanjuti dengan mekanisme Konvensi Basel melalui notifikasi antara Focal Point pemerintah Indonesia dengan focal point negara asal limbah atau dengan focal point negara eksportir.
Kemudian, seandainya tidak ada tanggapan dari negara asal limbah dan negara eksportir, maka akan dilakukan pendekatan bilateral melalui jalur negosiasi Kementerian Luar Negeri dan melalui Sekretariat Konvensi Basel. Sedangkan paksaan reekspor terhadap importir adalah dengan perintah pengadilan.
"Dalam hal reekspor tidak berjalan dengan baik maka Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) KLHK akan menindak tegas jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak reekspor ke negara asal," ujar Vivien Ratnawati.
Dikemukakan, selama periode April - September 2019 telah diperiksa oleh Kementerian LHK total 882 kontainer berisi skrap plastik dan skrap kertas. Dari 882 kontainer yang telah diperiksa tersebut, sebanyak 428 kontainer ditemukan berisi skrap plastik tercampur sampah dan/atau limbah B3 sehingga harus direekspor, 454 sisanya dinyatakan bersih, dan 374 kontainer di antaranya yang sudah direekspor itu datang dari berbagai negara yaitu Prancis, Jerman, Belanda, Slovenia, Belgia, Inggris, Selandia Baru, Australia, Amerika, Spanyol, Kanada, Hongkong, dan Jepang.
Sebanyak 428 kontainer yang bermasalah tersebut, Kementerian LHK telah mengeluarkan surat rekomendasi agar importir melakukan reekspor. Diharapkan dengan Penguatan kerja sama dan koordinasi yang baik antar semua pihak baik internal Kementerian LHK maupun dengan instansi lainnya, permasalahan importasi limbah non B3 yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut dapat segera tertangani sehingga dapat mencegah masuknya limbah illegal ke Indonesia.
Harga diri bangsa Indonesia tetap harus dijaga dengan menjaga Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan sampah dunia.
Lebih lanjut Dirjen Vivien Ratnawati hingga 30 Oktober 2019, ratusan kontainer impor limbah non B3 yang yang masuk ke wilayah Indonesia melalui sejumlah pelabuhan yaitu Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Batu Ampar, Pelabuhan Tanjung Priok dan di Kawasan Berikat Banten telah ditahan oleh Bea dan Cukai setempat.
Melalui hasil pemeriksaan bersama antara KLHK dengan Bea Cukai, teridentifikasi bahwa kontainer yang berisi limbah non B3 tersebut sebagian terkontaminasi Limbah B3 dan/atau tercampur sampah.
"Hal ini tentu saja menjadi sorotan serius dan mengkhawatirkan karena jika hal ini tidak segera dicegah dan ditangani maka Indonesia hanya akan menjadi tempat sampah bagi Negara lain. Hal ini dapat mengakibatkan wilayah Indonesia akan terbebani dari limbah dan sampah serta residu yang dihasilkannya sehingga berdampak pada menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan," papar Vivien.
Ditegaskan Vivien, tidak diperbolehkannya masuknya sampah ke wilayah Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan larangan tentang masuknya limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) ke Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(maf)