Rusuh Suporter dan Citra Indonesia
A
A
A
KERUSUHAN suporter yang terjadi di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, seusai kekalahan Persebaya Surabaya dari PSS Sleman, Selasa (29/10), memunculkan keprihatinan mendalam. Untuk kesekian kalinya kita melihat ketidakdewasaan suporter dalam menyikapi kekalahan timnya. Tak pelak kejadian semacam ini semakin mencoreng wajah sepak bola kita yang selama ini sudah minim prestasi.
Kerusuhan suporter bola sebenarnya jamak terjadi, tak terkecuali di negara dengan kompetisi yang maju. Namun apa yang terjadi di Stadion Bung Tomo cukup mengusik sehingga memunculkan pertanyaan, apa sesungguhnya yang dicari suporter saat mendukung timnya? Apakah ekspresi kekecewaan akibat tim kesayangan kalah harus disikapi dengan sikap destruktif itu?
Bahwa suporter melempar botol bekas minuman atau benda lain ke tengah lapangan sudah sering kita saksikan. Begitu pun suporter yang merusak bangku di tribun juga acap kali kita lihat di banyak tempat lain. Namun apa yang terjadi di Stadion Bung Tomo pada Selasa malam itu cukup menyesakkan dada karena suporter sudah pada tahap melakukan pembakaran di tengah lapangan.
Oknum suporter yang kecewa pun merangsek masuk ke lapangan hijau dan membakar benda-benda yang ditemui, di antaranya poster dan papan iklan. Api yang berkobar di tengah lapangan hijau membesar bak api unggun raksasa; pemandangan yang sangat jarang kita temukan di tempat mana pun.
Sangat wajar jika banyak kalangan yang mengecam tindakan tidak bertanggung jawab dari oknum suporter ini. Apalagi Indonesia pada 2021 akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Dan, Stadion Bung Tomo adalah salah satu dari 10 venue yang disiapkan untuk menggelar pertandingan.
Kejadian kerusuhan suporter seperti di Surabaya bisa saja memunculkan kekhawatiran dari negara-negara yang akan tampil nanti. Memperbaiki kerusakan sarana stadion memang mudah, hanya perlu beberapa hari renovasi, kondisi akan kembali seperti semula. Namun bicara dampak kerusuhan bukan semata perkara memperbaiki fasilitas yang rusak, tetapi juga menyangkut citra bangsa Indonesia di mata dunia.
Meski kerusuhan dan perusakan oleh suporter sudah sangat sering terjadi di Tanah Air, kali ini Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) harus memberikan perhatian lebih. Jangan pernah menganggap kejadian ini sepele. Harus ada hukuman berat kepada klub untuk menunjukkan bahwa kejadian seperti itu tidak bisa ditoleransi. Hukuman sangat penting agar menimbulkan efek jera bagi suporter perusuh agar tidak mengulangi perbuatannya. Juga sekaligus memberi efek jera kepada suporter klub lain agar tidak berani mencoba-coba melakukan keonaran serupa.
Kerusuhan suporter seperti di Surabaya dan banyak kota lain di Tanah Air sebelumnya memang sangat disayangkan. Apalagi FIFA memilih Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 karena alasan keunggulan yang dimilikinya. FIFA memilih Indonesia karena tertarik dengan proposal PSSI yang menawarkan jargon diversity (keanekaragaman), unity (persatuan) dan opportunity (kesempatan).
Ketiga kata yang menjadi jargon ini memiliki kaitan satu sama lain. Artinya kurang lebih bahwa Indonesia memiliki basis suporter sepak bola (unity) yang sangat besar berasal dari bangsa majemuk dengan etnik yang beragam (diversity). Jika Piala Dunia digelar di Indonesia, maka itu akan menjadi kesempatan (opportunity) bagi pengembangan sepak bola di Tanah Air.
Kepercayaan FIFA kepada Indonesia ini adalah sejarah sehingga seyogianya dijaga dan dibuktikan dengan menjadi tuan rumah yang baik. Jika Piala Dunia sukses diselenggarakan otomatis itu akan menjadi promosi yang sangat baik bagi Indonesia.
Status tuan rumah akan menjadikan Indonesia menangguk banyak keuntungan. Bisa dipastikan akan banyak pekerjaan yang tersedia saat event tersebut digelar. Potensi ekonomi juga bisa dinikmati secara langsung oleh pelaku industri kuliner dan UMKM.
Namun, lebih dari itu, ini adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk membuktikan diri mampu menyelenggarakan event olahraga berskala internasional. Jika penyelenggaraan Piala Dunia U-20 sukses, Indonesia bisa lebih percaya diri mengajukan diri sebagai calon tuan rumah Olimpiade atau Piala Dunia.
Kerusuhan suporter bola sebenarnya jamak terjadi, tak terkecuali di negara dengan kompetisi yang maju. Namun apa yang terjadi di Stadion Bung Tomo cukup mengusik sehingga memunculkan pertanyaan, apa sesungguhnya yang dicari suporter saat mendukung timnya? Apakah ekspresi kekecewaan akibat tim kesayangan kalah harus disikapi dengan sikap destruktif itu?
Bahwa suporter melempar botol bekas minuman atau benda lain ke tengah lapangan sudah sering kita saksikan. Begitu pun suporter yang merusak bangku di tribun juga acap kali kita lihat di banyak tempat lain. Namun apa yang terjadi di Stadion Bung Tomo pada Selasa malam itu cukup menyesakkan dada karena suporter sudah pada tahap melakukan pembakaran di tengah lapangan.
Oknum suporter yang kecewa pun merangsek masuk ke lapangan hijau dan membakar benda-benda yang ditemui, di antaranya poster dan papan iklan. Api yang berkobar di tengah lapangan hijau membesar bak api unggun raksasa; pemandangan yang sangat jarang kita temukan di tempat mana pun.
Sangat wajar jika banyak kalangan yang mengecam tindakan tidak bertanggung jawab dari oknum suporter ini. Apalagi Indonesia pada 2021 akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Dan, Stadion Bung Tomo adalah salah satu dari 10 venue yang disiapkan untuk menggelar pertandingan.
Kejadian kerusuhan suporter seperti di Surabaya bisa saja memunculkan kekhawatiran dari negara-negara yang akan tampil nanti. Memperbaiki kerusakan sarana stadion memang mudah, hanya perlu beberapa hari renovasi, kondisi akan kembali seperti semula. Namun bicara dampak kerusuhan bukan semata perkara memperbaiki fasilitas yang rusak, tetapi juga menyangkut citra bangsa Indonesia di mata dunia.
Meski kerusuhan dan perusakan oleh suporter sudah sangat sering terjadi di Tanah Air, kali ini Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) harus memberikan perhatian lebih. Jangan pernah menganggap kejadian ini sepele. Harus ada hukuman berat kepada klub untuk menunjukkan bahwa kejadian seperti itu tidak bisa ditoleransi. Hukuman sangat penting agar menimbulkan efek jera bagi suporter perusuh agar tidak mengulangi perbuatannya. Juga sekaligus memberi efek jera kepada suporter klub lain agar tidak berani mencoba-coba melakukan keonaran serupa.
Kerusuhan suporter seperti di Surabaya dan banyak kota lain di Tanah Air sebelumnya memang sangat disayangkan. Apalagi FIFA memilih Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 karena alasan keunggulan yang dimilikinya. FIFA memilih Indonesia karena tertarik dengan proposal PSSI yang menawarkan jargon diversity (keanekaragaman), unity (persatuan) dan opportunity (kesempatan).
Ketiga kata yang menjadi jargon ini memiliki kaitan satu sama lain. Artinya kurang lebih bahwa Indonesia memiliki basis suporter sepak bola (unity) yang sangat besar berasal dari bangsa majemuk dengan etnik yang beragam (diversity). Jika Piala Dunia digelar di Indonesia, maka itu akan menjadi kesempatan (opportunity) bagi pengembangan sepak bola di Tanah Air.
Kepercayaan FIFA kepada Indonesia ini adalah sejarah sehingga seyogianya dijaga dan dibuktikan dengan menjadi tuan rumah yang baik. Jika Piala Dunia sukses diselenggarakan otomatis itu akan menjadi promosi yang sangat baik bagi Indonesia.
Status tuan rumah akan menjadikan Indonesia menangguk banyak keuntungan. Bisa dipastikan akan banyak pekerjaan yang tersedia saat event tersebut digelar. Potensi ekonomi juga bisa dinikmati secara langsung oleh pelaku industri kuliner dan UMKM.
Namun, lebih dari itu, ini adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk membuktikan diri mampu menyelenggarakan event olahraga berskala internasional. Jika penyelenggaraan Piala Dunia U-20 sukses, Indonesia bisa lebih percaya diri mengajukan diri sebagai calon tuan rumah Olimpiade atau Piala Dunia.
(kri)