Belajar Wisata Medis ke Singapura

Selasa, 29 Oktober 2019 - 13:41 WIB
Belajar Wisata Medis ke Singapura
Belajar Wisata Medis ke Singapura
A A A
Tatiana Gromenko
Pendiri Singapore Guidebook (SGB)

SINGAPURA merupakan salah satu destinasi utama bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan perjalanan medis. Dengan sederet rumah sakit yang memiliki fasilitas dan teknologi terbaik di Asia, didukung dengan dokter-dokter serta perawat profesional yang terampil dan berpengalaman, tidak heran jika setiap tahun ada 250.000 pasien luar negeri yang berkunjung ke Singapura untuk mendapatkan perawatan klinis.

Tidak saja dari Indonesia, namun juga dari negara-negara lain seperti Malaysia, Australia, Burma, India, China, Timur Tengah hingga Afrika. Bahkan pasien-pasien dari negara maju seperti Amerika dan Eropa pun memilih Singapura karena relatif terjangkau dan berkualitas.

Pada awal semester pertama 2019, majalah bisnis terkemuka dunia Newsweek menempatkan salah satu rumah sakit di negara kota ini, Singapore General Hospital (SGH) sebagai rumah sakit terbaik ketiga di dunia. Lembaga riset Value Champion juga menempatkan Singapura sebagai Top 5 Health Care System di Asia Pasifik dilihat dari sisi kualitas pelayanan, aksesibilitas dan keterjangkauan.

Bersama dengan Jepang, Hong Kong dan Australia, negara-negara ini konsisten memberikan output berupa harapan hidup, tingkat kematian yang rendah serta akses terhadap layanan berkualitas.

Sebenarnya, sudah sejak lama masyarakat Indonesia menjadikan Singapura sebagai tempat melakukan pemeriksaan medis dikarenakan teknologi serta fasilitas-fasilitasnya yang cukup lengkap. Apalagi sektor medis juga mendapat dukungan dari lembaga pemerintah, maka wajar apabila Singapura menjadi pusat medis pilihan di Asia.

Dalam beberapa tahun terakhir rumah sakit dan pusat-pusat medis di Singapura telah memperoleh akreditasi Joint Commision International (JCI) di bawah Joint Commission. Selama lebih dari 50 tahun The Joint Commission telah mendedikasikan diri dalam peningkatan kualitas dan keselamatan kesehatan.

Tentu tidak semua rumah sakit bisa mendapatkan akreditasi seperti ini. Dengan rasio jumlah pasien dan rumahsakit yang cukup seimbang, cukup lumrah apabila banyak pasien dari negara-negara lain seperti Indonesia lebih memilih berobat ke Singapura. Ditambah lagi pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang semakin meningkat setiap tahun membuat masyarakat di sini cenderung mencari perawatan medis yang lebih lengkap.

Meski demikian, rumah sakit di Indonesia tidak kalah berkualitas dan memiliki fasilitas yang juga lengkap, termasuk teknologi di bidang kesehatan. Namun karena jumlah penduduk yang sangat besar dan keberadaan rumah sakit yang rasionya masih terlalu kecil, membuat sebagian kelompok middle class memilih terbang ke Singapura untuk wisata perawatan medis.

Mengapa kelas menengah Indonesia memilih Singapura untuk rawat medis? Sebagai seseorang yang pernah bermukim di Indonesia dan saat ini tinggal di Singapura, saya melihat cara pemerintah masing-masing negara dalam memberlakukan wisata medis ini sedikit berbeda.

Di Singapura, pemerintahnya berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan agar citra Negara Singa ini sebagai destinasi pengobatan semakin kuat. Tentu didukung dengan infrastruktur yang dibangun secara masif untuk melayani para wisatawan medis tersebut.

Sementara di Indonesia, secara kualitas tenaga ahli tidak kalah dengan Singapura. Bahkan dokter-dokter yang bekerja di rumah sakit-rumah sakit di negara-negara tetangga pun banyak yang lulusan kampus Indonesia. Hanya saja, sinergi dengan pemangku kepentingan di industrI ini belum maksimal. Perlu kejelasan siapa yang harus mempromosikan Indonesia sebagai destinasi wisata medis, apakah Kementerian Pariwisata atau Kementerian Kesehatan.

Selainitu, citra Indonesia masihlebih kuat sebagai daerah yang memiliki panorama keindahan dan budayanya, bukan sebagai tujuan wisata medis. Bisa kita lihat di lapangan, sangat jarang sekali orang asing yang berobat di rumah sakit-rumah sakit ternama di Jakarta. Sebaliknya, banyak orang Indonesia yang berobat di rumah sakit Singapura.

Dari sisi pemasaran dan public relations, saya berpendapat bahwa Pemerintah Singapura berhasil melakukan integrasi komunikasi yang solid dalam mencitrakan Negara ini sebagai destinasi medis. Kampanye-kampanyenya tidak saja dilakukan secara above the line (ATL), namun juga below the line (BTL), membangun kemitraan dengan negara lain, media massa dan media sosial. Narasi-narasi yang dibangun pun diarahkan pada pembentukan citra medis yang positif, dan tentu didukung oleh kualitas layanan di lapangan.

Pemerintah juga rajin mengundang media-media asing untuk dating ke Singapura dan merasakan sendiri kualitas layanan rumah sakit yang ada di sana. Karena medis adalah sebuah industri, maka pemerintah pun bertanggung jawab untuk mendukung dan mengembangkannya. Pelaku-pelaku industrinya pun bersinergi dengan regulator dan asosiasi agar bisa merumuskan peraturan agar industri ini bisa berkembang secara kondusif.

Menurut saya, kelebihan yang dimiliki Indonesia seperti pengobatan tradisional bisa menjadi nilai jual untuk pengembangan wisata medis. Negara ini sangat kaya dengan beraneka ragam obat-obat herbal yang diramu dari tumbuh-tumbuhan local dan memiliki khasiat yang tidak kalah dengan obat kimia. Keunggulan ini yang harus dikomunikasikan kemasyarakat luar agar mereka dating ke Indonesia untuk melakukan pengobatan berbasis herbal.

Kedepannya, Singapura, Indonesia dan Malaysia bisa menjadi mitra strategis untuk destinasi wisata medis dunia karena masing-masing memiliki keunggulannya. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan cross-promotion antarnegara untuk rumah sakit-rumah sakit unggulannya. Jadi, sinergi ini bisa membawa pengaruh positif terhadap devisa dalam negeri masing-masing negara.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6074 seconds (0.1#10.140)