Selamat Bekerja
A
A
A
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin resmi menjadi pemimpin Indonesia hingga lima tahun ke depan setelah dilantik melalui sidang paripurna MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta kemarin. Setelah dilantik, Jokowi yang terpilih sebagai presiden untuk kedua kalinya akan mengumumkan kabinetnya hari ini.
Pengumuman nama-nama menteri ini sangat ditunggu. Publik ingin tahu siapa saja yang akhirnya dipilih Jokowi untuk mengisi Kabinet Kerja Jilid II. Tentu keingintahuan publik beralasan mengingat keberhasilan Jokowi dalam menakhodai pemerintahan periode 2019-2024 sangat tergantung pada figur menteri yang dipilihnya.
Penentuan nama-nama menteri memang menjadi hak prerogatif presiden. Namun mengacu pada periode lalu, hak tersebut tidak selalu bisa mudah digunakan mengingat faktor politik juga harus diperhitungkan. Jokowi harus mengakomodasi kepentingan partai pendukungnya untuk mengisi kabinet. Pada 2014, Jokowi hanya didukung lima partai politik (parpol), yakni PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI.
Lantas ditambah lagi partai yang belakangan ikut gabung, yakni PPP, Golkar, dan PAN (meski PAN akhirnya keluar dari koalisi jelang Pemilu 2019). Kini ada tambahan empat parpol di koalisi Jokowi, yakni PSI, Perindo, PKPI, dan PBB. Belum lagi jika benar partai politik yang selama ini tidak masuk bagian koalisi ikut bergabung, yakni Demokrat, Gerindra, dan PAN.
Dengan koalisi yang lebih ramping saja Jokowi di periode pertamanya memiliki 34 menteri dan 3 wakil menteri. Apakah postur kabinet kali ini akan lebih gemuk mengingat Jokowi harus mengakomodasi 10 partai pendukung dan 3 partai yang tengah mewacanakan bergabung?
Gemuknya partai pendukung tentu bukan perkara gampang. Jokowi dituntut pintar-pintar menyusun komposisi kabinet agar seluruh partai pendukungnya bisa menerima. Kecermatan diperlukan, termasuk dalam hal pembagian jatah menteri bagi parpol yang masuknya belakangan. Kurang cermat bisa saja ada parpol pendukung yang merasakan ketidakadilan.Jika itu terjadi, tentu cukup berisiko menciptakan kegaduhan yang berujung pada tidak efektifnya kinerja kabinet. Padahal di periode kedua ini Jokowi justru membutuhkan kabinet yang lebih solid demi mewujudkan program yang sudah dicanangkan. Ada harapan kabinet Jokowi kali ini akan bisa bergerak elastis. Ini tak lepas dari janji Jokowi bahwa komposisi menterinya diisi kalangan profesional 55% dan politisi 45%.Ini cukup memberi harapan karena penempatan figur profesional memang sangat penting, terutama untuk bidang perekonomian. Kita berharap kali ini Jokowi mampu membawa perekonomian tumbuh hingga 7%, tidak lagi hanya berkutat di angka 5% seperti di periode pertamanya. Kali ini Jokowi harus bisa membawa Indonesia melompat lebih tinggi karena pertumbuhan 5% tidak cukup untuk menyejahterakan rakyat.Masalah perekonomian yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi stagnan adalah angka impor yang masih lebih besar daripada angka ekspor. Karena itu pemerintah perlu lebih fokus pada industrialisasi dan menggenjot ekspor. Daya saing Indonesia yang melorot juga pekerjaan rumah besar. Untuk itu pembangunan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan inovasi harus digenjot untuk meningkatkan daya saing ini.
Para menteri juga perlu membantu Jokowi mencapai apa yang belum terealisasi di periode pertamanya. Kita tahu, Jokowi memang memberi banyak kemajuan, terutama di bidang infrastruktur. Dalam lima tahun, proyek yang dibangun antara lain 980 km jalan tol, 3.793 km jalan nasional, 2.778 jalan perbatasan, 330 unit jembatan gantung, 15 bandara baru, MRT dan LRT, dan 65 bendungan.
Namun ada catatan minus di bidang hukum dan HAM. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyorot penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tidak bergerak sama sekali dalam periode pertama Jokowi. Pada tahun 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat capaian aspek kebebasan sipil Indonesia pada 2018 adalah 78,46% atau turun 0,29 poin bila dibandingkan dengan 2017. Kebebasan sipil yang dimaksud mencakup kebebasan berkumpul dan berserikat, berpendapat, berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi. Hal inilah yang memerlukan kerja keras untuk diperbaiki.
Jokowi dalam pidato pelantikannya kemarin sudah mengingatkan bahwa para menteri dalam bekerja jangan berprinsip "asal bapak senang". Menteri jangan hanya membuat dan melaksanakan kebijakan, tetapi tugasnya adalah membuat masyarakat menikmati pelayanan dan menikmati hasil dari pembangunan itu.
Ini sinyal kuat dari Jokowi bahwa di periode keduanya ia hanya membutuhkan menteri yang memang benar-benar bisa sejalan dengan visinya. Kita harapkan kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin yang didukung jajaran menterinya akan bekerja dengan baik sehingga mampu menuntaskan seluruh janji politiknya. Selamat bekerja.
Pengumuman nama-nama menteri ini sangat ditunggu. Publik ingin tahu siapa saja yang akhirnya dipilih Jokowi untuk mengisi Kabinet Kerja Jilid II. Tentu keingintahuan publik beralasan mengingat keberhasilan Jokowi dalam menakhodai pemerintahan periode 2019-2024 sangat tergantung pada figur menteri yang dipilihnya.
Penentuan nama-nama menteri memang menjadi hak prerogatif presiden. Namun mengacu pada periode lalu, hak tersebut tidak selalu bisa mudah digunakan mengingat faktor politik juga harus diperhitungkan. Jokowi harus mengakomodasi kepentingan partai pendukungnya untuk mengisi kabinet. Pada 2014, Jokowi hanya didukung lima partai politik (parpol), yakni PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI.
Lantas ditambah lagi partai yang belakangan ikut gabung, yakni PPP, Golkar, dan PAN (meski PAN akhirnya keluar dari koalisi jelang Pemilu 2019). Kini ada tambahan empat parpol di koalisi Jokowi, yakni PSI, Perindo, PKPI, dan PBB. Belum lagi jika benar partai politik yang selama ini tidak masuk bagian koalisi ikut bergabung, yakni Demokrat, Gerindra, dan PAN.
Dengan koalisi yang lebih ramping saja Jokowi di periode pertamanya memiliki 34 menteri dan 3 wakil menteri. Apakah postur kabinet kali ini akan lebih gemuk mengingat Jokowi harus mengakomodasi 10 partai pendukung dan 3 partai yang tengah mewacanakan bergabung?
Gemuknya partai pendukung tentu bukan perkara gampang. Jokowi dituntut pintar-pintar menyusun komposisi kabinet agar seluruh partai pendukungnya bisa menerima. Kecermatan diperlukan, termasuk dalam hal pembagian jatah menteri bagi parpol yang masuknya belakangan. Kurang cermat bisa saja ada parpol pendukung yang merasakan ketidakadilan.Jika itu terjadi, tentu cukup berisiko menciptakan kegaduhan yang berujung pada tidak efektifnya kinerja kabinet. Padahal di periode kedua ini Jokowi justru membutuhkan kabinet yang lebih solid demi mewujudkan program yang sudah dicanangkan. Ada harapan kabinet Jokowi kali ini akan bisa bergerak elastis. Ini tak lepas dari janji Jokowi bahwa komposisi menterinya diisi kalangan profesional 55% dan politisi 45%.Ini cukup memberi harapan karena penempatan figur profesional memang sangat penting, terutama untuk bidang perekonomian. Kita berharap kali ini Jokowi mampu membawa perekonomian tumbuh hingga 7%, tidak lagi hanya berkutat di angka 5% seperti di periode pertamanya. Kali ini Jokowi harus bisa membawa Indonesia melompat lebih tinggi karena pertumbuhan 5% tidak cukup untuk menyejahterakan rakyat.Masalah perekonomian yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi stagnan adalah angka impor yang masih lebih besar daripada angka ekspor. Karena itu pemerintah perlu lebih fokus pada industrialisasi dan menggenjot ekspor. Daya saing Indonesia yang melorot juga pekerjaan rumah besar. Untuk itu pembangunan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan inovasi harus digenjot untuk meningkatkan daya saing ini.
Para menteri juga perlu membantu Jokowi mencapai apa yang belum terealisasi di periode pertamanya. Kita tahu, Jokowi memang memberi banyak kemajuan, terutama di bidang infrastruktur. Dalam lima tahun, proyek yang dibangun antara lain 980 km jalan tol, 3.793 km jalan nasional, 2.778 jalan perbatasan, 330 unit jembatan gantung, 15 bandara baru, MRT dan LRT, dan 65 bendungan.
Namun ada catatan minus di bidang hukum dan HAM. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyorot penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tidak bergerak sama sekali dalam periode pertama Jokowi. Pada tahun 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat capaian aspek kebebasan sipil Indonesia pada 2018 adalah 78,46% atau turun 0,29 poin bila dibandingkan dengan 2017. Kebebasan sipil yang dimaksud mencakup kebebasan berkumpul dan berserikat, berpendapat, berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi. Hal inilah yang memerlukan kerja keras untuk diperbaiki.
Jokowi dalam pidato pelantikannya kemarin sudah mengingatkan bahwa para menteri dalam bekerja jangan berprinsip "asal bapak senang". Menteri jangan hanya membuat dan melaksanakan kebijakan, tetapi tugasnya adalah membuat masyarakat menikmati pelayanan dan menikmati hasil dari pembangunan itu.
Ini sinyal kuat dari Jokowi bahwa di periode keduanya ia hanya membutuhkan menteri yang memang benar-benar bisa sejalan dengan visinya. Kita harapkan kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin yang didukung jajaran menterinya akan bekerja dengan baik sehingga mampu menuntaskan seluruh janji politiknya. Selamat bekerja.
(zil)