Buzzer (Tidak) Mengancam Demokrasi?

Sabtu, 12 Oktober 2019 - 06:00 WIB
Buzzer (Tidak) Mengancam Demokrasi?
Buzzer (Tidak) Mengancam Demokrasi?
A A A
JAKARTA - Makroen Sanjaya
Praktisi Media/Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi SPS Universitas Sahid Jakarta


Dua peneliti Oxford University, Inggris, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard, merilis laporan hasil penelitiannya: The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Dalam laporan penelitian ini diungkap tren propaganda komputasi, termasuk aktivitas buzzer (pendengung) di 70 negara, tak terkecuali di Indonesia.

Sesuai nama programnya, Computational Propaganda Research Project, riset yang berlangsung mulai 2017 hingga 2019 itu memotret aksi manipulasi media sosial yang terorganisasi oleh pemerintah dan partai politik (https://www.oii.ox.ac.uk/).

Dari 70 negara yang diteliti, ditemukan fakta setidaknya terdapat satu pihak, dari partai politik atau lembaga pemerintah, yang menggunakan media sosial untuk membentuk sikap publik di dalam negeri. Di 26 negara dari 70 sampel, media sosial bahkan terkooptasi oleh rezim otoriter, di mana media sosial digunakan sebagai alat kontrol informasi untuk tujuan menekan hak asasi manusia (HAM), mendiskreditkan lawan politik dan menenggelamkan perbedaan pendapat.

Aktivitas pasukan siber (cyber troop) di Indonesia termasuk di antara 70 negara yang diteliti pada tahun ini. Seperti dimaklumi, pada tahun politik ini ruang publik wacana di dunia maya digaduhkan oleh isu politik, baik yang dilakukan oleh masyarakat pemilik akun kebanyakan, terutama oleh akun buzzer. Penelitian Oxford Internet Institute pula yang menyajikan fakta bahwa dua pihak, yaitu partai politik dan kontraktor swasta, merupakan bentuk organisasi (aktor) yang melakukan propaganda dengan memanipulasi media sosial. Manipulasi media sosial itu dilakukan untuk membentuk opini publik, menetapkan agenda politik, dan menyebarkan ide.

Platform Youtube tidak dimanfaatkan oleh buzzer Indonesia. Platform Facebook, Twitter, Instagram, dan Whattsapp menjadi andalan. Uniknya, Instagram hanya digunakan buzzer Indonesia, bersama buzzer dari tujuh negara lain, yaitu Argentina, Israel, Iran, Moldova, Pakistan, Rusia, dan Spanyol. Hal ini bisa dimaklumi karena komunitas Instagram di Indonesia merupakan yang terbesar di Asia-Pasifik. Pada umumnya, aktivitas cyber troop ini melalui akun palsu tipe bot, manusia, cyborg, dan akun bajakan atau curian. Buzzer Indonesia hanya menggunakan dua tipe, yaitu bot dan manusia.

Kontribusi media sosial dalam percaturan politik di Indonesia untuk propaganda, kampanye, dan pemasaran politik, baik oleh aktor politik sendiri maupun hasil kerja buzzer, sudah terjadi setidaknya dalam satu dekade terakhir, berbarengan dengan kemunculan Joko Widodo dalam panggung politik nasional.

Manisnya penggunaan media sosial selama masa kampanye, untuk mengerek elektabilitas, berlanjut hingga Pilpres 2014 dan 2019 ini. Sejumlah media massa pada pekan pertama Oktober 2019 diramaikan dengan berita yang menyoroti sepak terjang buzzer di seputar Istana, yang mengundang reaksi dan klarifikasi oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Pernyataan-pernyataan Moeldoko menegasikan bahwa Jokowi menggunakan jasa buzzer untuk kepentingan politiknya.

Kerja politik selama masa kampanye melalui media sosial lebih menggelegak lagi di arena Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016. Donald Trump menggunakan segala cara, antara lain mengangkat Brad Parscale sebagai direktur digital, yang menggerakkan tim digital untuk operasi pada platform Google, Facebook, dan Twitter dari sebuah mal di San Antonio, Texas. Trump juga menyewa konsultan komunikasi digital spesialis penarget mikro, Cambridge Analytica, yang meraup 13,5 juta pemilih yang dibujuk di 16 belas negara bagian, menemukan pemilih Trump yang tersembunyi, dan menargetkan pendukung Hillary Clinton, terutama “kaum liberal kulit putih, wanita muda dan kalangan Afro-Amerika”, dengan merancang komunikasi untuk mengurangi jumlah pemilih kelompok itu ke kubu Hillary Clinton. Dengan metode profil psikografis, Cambridge Analytica “mengiris” profil Facebooker untuk menarget pemilih yang unik. Selain itu, Trump ditopang Tim Digital Partai Republik, yang sejak 2012 telah membangun sistem teknologi untuk kepentingan pemilu (Nathaniel Persily: 2017).

Fenomena penggunaan media sosial untuk kampanye Trump ini disebut Nathaniel Persily, sebagai “babak terakhir dalam disintegrasi lembaga-lembaga warisan yang telah menetapkan batas bagi politik AS di era pascaperang”. Persily menyatakan, apa yang dilakukan Trump sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya, dalam melanggar norma-norma politik yang sudah mapan. Namun, kampanye semacam ini hanya bisa berhasil karena lembaga yang sudah mapan—terutama media arus utama dan organisasi partai politik—telah kehilangan sebagian besar kekuasaannya, baik di Amerika Serikat maupun di seluruh dunia. “Kekosongan yang ditinggalkan oleh lembaga-lembaga yang mengikis ini diisi oleh nasionalisme populis yang tidak bermediasi, yang dibuat khusus untuk zaman internet.”

Pernyataan Persily sekaligus menyiratkan pertanyaan, apakah aktivitas buzzer dan berkuasanya media sosial dalam lapangan politik itu merupakan pertanda disfungsinya lembaga warisan, yaitu pers dan partai politik? Apakah sepak terjang buzzer melalui media sosial ini mengancam eksistensi demokrasi dan menggoyang tatanan peradaban politik yang sudah mapan selama berabad ini? Mengapa ruang publik maya semakin digdaya dalam arena politik, di sisi lain media arus utama tidak lagi menjadi saluran utama dalam proses politik?

Kemerosotan Demokrasi


Dekade pertama milenium baru (tahun 2000-an) peradaban politik mulai dirambah oleh entitas baru komunikasi: media digital. Dirintis oleh munculnya web 2.0 pada 1990-an, yang dari kandungannya melahirkan situs web hingga media sosial. Media digital terus merangsek ke segala segi kehidupan umat manusia. Mengutip Currant, et al (2012), Sonia Pedro Sebastiao (2014), konsepsi pertama di media sosial web mengikuti optimisme dunia maya yang menjadi ciri studi tentang internet pada 1990-an, yang menekankan kekuatan teknologi dan kapasitasnya untuk mengatasi hambatan fisik, ekonomi, politik, sosial, dan individu.

Hingga 2019 ini, dari 7,6 miliar manusia di jagat, 4,3 miliar di antaranya tersambung dengan internet, dan yang memiliki akun media sosial sudah tembus 3.5 miliar (Hootsuite. We Are Social: 2019). Ledakan internet dan gelembung media sosial ini memunculkan istilah baru yang disebut keberlimpahan komunikatif (communicative abundance), yang ditengarai Jhon Keane (2013) menyebabkan dekadensi atau kemerosotan demokrasi dan media (democracy and media decadence).

Media berbagai platform muncul bak cendawan di musim hujan, sementara karakter media massa menuju media baru (digital) terbedakan dari tersentral menjadi tersebar, dari komunikasi satu arah menjadi dua bahkan banyak arah, dari yang dikontrol negara menjadi independen (terbebas dari kontrol negara), dari instrumen rezim untuk stratifikasi dan ketidaksetaraan menjadi demokratisasi yang memfasilitasi kewargenaraan universal, dan dari semula memengaruhi kesadaran menjadi memengaruhi pengalaman (Holmes: 2016).

Perbedaan karakter media lama dan media baru (digital), juga berimbas pula pada karakter berdemokrasi dalam koridor sistem komunikasi politik, di mana entitas media digital mampu mengerek tingkat partisipasi publik dalam berdemokrasi (demokrasi partisipatoris). Digitalisasi demokrasi dan demokratisasi digital pun melanda segenap negeri. Setiap orang yang memiliki kecakapan digital bisa bertindak sebagai komunikator politik, menebar opini publik di media sosial. Masyarakat maya yang dilahirkan oleh dunia maya pun membentuk realitas politik yang dapat dikomodifikasi untuk kepentingan elektoral atau memperkuat citra penguasa dan petahana.

Dalam konteks inilah, muncul peran buzzer, yang menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol informasi untuk tujuan menekan hak asasi manusia (HAM), mendiskreditkan lawan politik, dan menenggelamkan perbedaan pendapat—yang ketiganya menabrak norma demokrasi yang meniscayakan perbedaan pendapat dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat itu sendiri.

Demokrasi yang sering dicabik perilaku buruk politisi, bakal semakin mengalami dekadensi. Idealnya, buzzer diabdikan untuk membentuk peradaban komunikasi, antara lain membangun diskursus publik yang mencerahkan, penciptaan ruang publik wacana yang emansipatoris, dan mengedepankan moralitas. Kalau buzzer dianggap sebagai “anak kandung” politik (di dalamnya terdapat komunikator politik), yang perilakunya menihilkan moralitas, maka benar yang dikatakan oleh Immanuel Kant 200-an tahun lalu, “Politik yang benar tidak pernah dapat melangkah maju tanpa merebahkan kepalanya di dalam rumah moralitas.”

Alih-alih memanfaatkan media sosial untuk mengerek citra, popularitas, bahkan elektabilitas seorang kandidat, buzzer ditengarai menyalahgunakan karakteristik media digital yang banyak mengandung kerawanan. Sepanjang eksistensi dan operasi buzzer tidak terjangkau regulasi, maka demokrasi akan semakin mengalami dekadensi. Dalam buku CyberAttack (2014) Paul Day menyatakan bahwa internet seharusnya menjadi era baru komunikasi. Sebaliknya, kita hidup di zaman baru yang gelap; neraka informasi. Potensi kekuatan internet untuk meningkatkan peradaban telah ditumbangkan dan kita hidup dalam era baru ancaman dunia maya, di mana komputer telah menjadi musuh. Kita tidak bisa lagi mempercayai komputer” (dan juga buzzer, barangkali).
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5668 seconds (0.1#10.140)