Saatnya Bangga Berbahasa Indonesia
A
A
A
Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Perpres yang ditandatangani Jokowi pada 30 September 2019 ini lahir atas pertimbangan bahwa perpres lama yang terbit di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum mengatur seluruh hal sebagaimana amanat Pasal 40 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Perpres lama hanya mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi presiden dan/atau wakil presiden serta pejabat negara lain. Sedangkan perpres baru ini ikut mengatur soal penggunaan bahasa Indonesia dalam peraturan, dokumen resmi negara, bahasa pengantar pendidikan, hingga nota kesepahaman.
Perpres juga mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia pada nama sekolah hingga universitas, penamaan bangunan atau gedung, nama jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, serta organisasi. Penerbitan perpres ini menjadi sangat penting sebagai upaya memperkuat identitas kebangsaan kita.
Kita tahu perkembangan teknologi komunikasi dalam beberapa dekade terakhir telah banyak mengubah tatanan tradisional masyarakat. Hari ini dunia seolah tidak lagi memiliki tapal batas. Antarnegara saat ini seolah hanya dipisahkan oleh sebuah garis batas imajiner. Geografi menjadi kabur karena orang-orang bisa terhubung dan berinteraksi tatap muka tanpa bertemu langsung melalui perantara internet. Satu di antara kekhawatiran yang muncul akibat dunia tanpa batas ini adalah semakin lunturnya identitas keindonesiaan kita, termasuk dalam berbahasa.
Ini bukan kekhawatiran yang berlebihan. Lihat saja, sangat mudah ditemui penggunaan kata atau istilah asing di media sosial yang sesungguhnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, banyak orang yang lebih suka menggunakan kata gadget ketimbang gawai, lebih senang pakai istilah smartphone ketimbang telepon pintar.
Di media sosial juga mudah ditemui penggunaan istilah gaul seperti 'generasi zaman now'. Sekilas ini tidak ada masalah karena makna dari kata atau istilah tersebut umumnya bisa dipahami. Namun, jika direnungkan lebih dalam, sesungguhnya muncul kekhawatiran generasi muda akan makin terbiasa, bahkan euforia dalam menggunakan istilah asing.
Bagaimana di lingkungan sekitar kita? Sudah sejak lama ruang publik dijejali dengan istilah asing. Itu terutama mudah dilihat dalam pesan iklan pada reklame atau spanduk, nama kampus, sekolah, penamaan kompleks perumahan, kawasan, nama hotel, restoran, dan lain-lain. Penggunaan istilah asing seperti itu mungkin dimaksudkan agar menunjukkan kesan kemajuan dan kemodernan.
Selain itu, ada aspek pembelajaran di mana orang akan familier dengan bahasa Inggris. Tapi, pertanyaannya, apakah penggunaan bahasa Indonesia untuk konteks yang sama tidak bisa mencerminkan kemajuan dan kemodernan? Barangkali ini hanya soal persepsi.
Tentu tidak semua ruang publik dijejali istilah asing. Masih ada lokasi tertentu yang berupaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Kita layak mengapresiasi penggunaan bahasa Indonesia secara konsisten pada ruang publik seperti di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di tempat ini nyaris tidak ada tempat atau petunjuk yang menggunakan istilah asing.Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beberapa waktu lalu mencanangkan TMII sebagai kawasan percontohan praktik baik pengutamaan bahasa negara di ruang publik. Lokasi wisata yang menjadi miniatur Indonesia ini dinilai sebagai salah satu kawasan yang sangat baik dalam menggunakan bahasa negara. Ini hal yang positif sebagai medium kampanye mengingat jumlah kunjungan ke TMII menghampiri 7 juta orang per tahun.
Penerbitan perpres soal bahasa Indonesia ini tentu harus disambut baik dalam rangka makin meneguhkan identitas kebangsaan kita. Perwujudan rasa nasionalisme yang paling sederhana satu di antaranya adalah ketika kita bangga menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pertanyaannya sekarang, sejauh mana perpres ini akan dilaksanakan secara konsisten?
Siapa lembaga yang akan mengawasi pelanggaran berbahasa di ruang publik, termasuk pihak yang diberi mandat untuk menindak jika terjadi pelanggaran? Hal ini yang mesti dijawab oleh pemerintah. Mengapa? Satu di antara kelemahan dalam penerapan aturan di negeri ini adalah soal konsistensi. Sebagai contoh, pemerintah pernah menerbitkan undang-undang yang isinya memberikan hukuman kebiri kimia kepada pelaku predator seksual anak.
Faktanya, hingga saat ini belum satu pun pelaku predator seksual yang menjalani hukuman tersebut. Hingga dua tahun setelah undang-undang terbit pemerintah masih berkutat pada polemik aturan teknis soal siapa eksekutor pelaksanaan hukuman kebiri.
Untuk itu, kita harapkan perpres soal kewajiban penggunaan bahasa Indonesia ini tidak hanya indah di atas kertas, namun benar-benar dapat diimplementasikan secara konsisten. Sebagai bangsa yang besar dan majemuk sudah selayaknya kita bangga menggunakan bahasa sendiri.
Perpres lama hanya mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi presiden dan/atau wakil presiden serta pejabat negara lain. Sedangkan perpres baru ini ikut mengatur soal penggunaan bahasa Indonesia dalam peraturan, dokumen resmi negara, bahasa pengantar pendidikan, hingga nota kesepahaman.
Perpres juga mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia pada nama sekolah hingga universitas, penamaan bangunan atau gedung, nama jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, serta organisasi. Penerbitan perpres ini menjadi sangat penting sebagai upaya memperkuat identitas kebangsaan kita.
Kita tahu perkembangan teknologi komunikasi dalam beberapa dekade terakhir telah banyak mengubah tatanan tradisional masyarakat. Hari ini dunia seolah tidak lagi memiliki tapal batas. Antarnegara saat ini seolah hanya dipisahkan oleh sebuah garis batas imajiner. Geografi menjadi kabur karena orang-orang bisa terhubung dan berinteraksi tatap muka tanpa bertemu langsung melalui perantara internet. Satu di antara kekhawatiran yang muncul akibat dunia tanpa batas ini adalah semakin lunturnya identitas keindonesiaan kita, termasuk dalam berbahasa.
Ini bukan kekhawatiran yang berlebihan. Lihat saja, sangat mudah ditemui penggunaan kata atau istilah asing di media sosial yang sesungguhnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, banyak orang yang lebih suka menggunakan kata gadget ketimbang gawai, lebih senang pakai istilah smartphone ketimbang telepon pintar.
Di media sosial juga mudah ditemui penggunaan istilah gaul seperti 'generasi zaman now'. Sekilas ini tidak ada masalah karena makna dari kata atau istilah tersebut umumnya bisa dipahami. Namun, jika direnungkan lebih dalam, sesungguhnya muncul kekhawatiran generasi muda akan makin terbiasa, bahkan euforia dalam menggunakan istilah asing.
Bagaimana di lingkungan sekitar kita? Sudah sejak lama ruang publik dijejali dengan istilah asing. Itu terutama mudah dilihat dalam pesan iklan pada reklame atau spanduk, nama kampus, sekolah, penamaan kompleks perumahan, kawasan, nama hotel, restoran, dan lain-lain. Penggunaan istilah asing seperti itu mungkin dimaksudkan agar menunjukkan kesan kemajuan dan kemodernan.
Selain itu, ada aspek pembelajaran di mana orang akan familier dengan bahasa Inggris. Tapi, pertanyaannya, apakah penggunaan bahasa Indonesia untuk konteks yang sama tidak bisa mencerminkan kemajuan dan kemodernan? Barangkali ini hanya soal persepsi.
Tentu tidak semua ruang publik dijejali istilah asing. Masih ada lokasi tertentu yang berupaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Kita layak mengapresiasi penggunaan bahasa Indonesia secara konsisten pada ruang publik seperti di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di tempat ini nyaris tidak ada tempat atau petunjuk yang menggunakan istilah asing.Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beberapa waktu lalu mencanangkan TMII sebagai kawasan percontohan praktik baik pengutamaan bahasa negara di ruang publik. Lokasi wisata yang menjadi miniatur Indonesia ini dinilai sebagai salah satu kawasan yang sangat baik dalam menggunakan bahasa negara. Ini hal yang positif sebagai medium kampanye mengingat jumlah kunjungan ke TMII menghampiri 7 juta orang per tahun.
Penerbitan perpres soal bahasa Indonesia ini tentu harus disambut baik dalam rangka makin meneguhkan identitas kebangsaan kita. Perwujudan rasa nasionalisme yang paling sederhana satu di antaranya adalah ketika kita bangga menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pertanyaannya sekarang, sejauh mana perpres ini akan dilaksanakan secara konsisten?
Siapa lembaga yang akan mengawasi pelanggaran berbahasa di ruang publik, termasuk pihak yang diberi mandat untuk menindak jika terjadi pelanggaran? Hal ini yang mesti dijawab oleh pemerintah. Mengapa? Satu di antara kelemahan dalam penerapan aturan di negeri ini adalah soal konsistensi. Sebagai contoh, pemerintah pernah menerbitkan undang-undang yang isinya memberikan hukuman kebiri kimia kepada pelaku predator seksual anak.
Faktanya, hingga saat ini belum satu pun pelaku predator seksual yang menjalani hukuman tersebut. Hingga dua tahun setelah undang-undang terbit pemerintah masih berkutat pada polemik aturan teknis soal siapa eksekutor pelaksanaan hukuman kebiri.
Untuk itu, kita harapkan perpres soal kewajiban penggunaan bahasa Indonesia ini tidak hanya indah di atas kertas, namun benar-benar dapat diimplementasikan secara konsisten. Sebagai bangsa yang besar dan majemuk sudah selayaknya kita bangga menggunakan bahasa sendiri.
(rhs)