Jatah Menteri, Gerindra Diharap Pertimbangkan Etika Politik
A
A
A
JAKARTA - Partai Gerindra ramai disebut berpotensi bergabung sebagai pendukung pemerintah dan bakal mendapatkan kursi menteri. Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad bahkan menyebut, pihaknya telah berkomunikasi intens dengan pemerintah dalam rangka rekonsiliasi pasca-pilpres dan sudah menyiapkan sejumlah nama calon menteri.
Padahal, dalam Pilpres 2019 lalu, Gerindra sebagai parpol utama pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang merupakan lawan dari Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin, memiliki arah kebijakan berbeda.
(Baca juga: Jelang Pelantikan Jokowi-Ma'ruf, Pimpinan MPR Temui Prabowo-Sandi)
Pengamat politik Universitas Paramadina Jakarta, Ahmad Khoirul Umam mengatakan, Gerindra harus mempertimbangkan etika politik dan kepantasan jika kemudian bergabung dengan pemerintah.
"Hemat saya ini bukan hanya ditimpakan kepada presiden untuk mengambil keputusan, seharusnya pada saat yang sama Gerindra juga harus mempertimbangkan etika politiknya sendiri," ujar Khoirul Umam, Rabu (9/10/2019).
(Baca juga: Menunggu Kiprah Anggota DPR Baru dari Kalangan Artis)
Apakah pantas setelah bermanuver sedemikian rupa, kemudian tidak ada satupun narasi yang positif dari Gerindra (kepada Jokowi) tapi kemudian di ujung waktu pembagian kue kekuasaan melakukan langkah diametral yang berbalik 180 derajat, meminta jatah kursi di sana," sambungnya.
Khoirul Umam yang juga Direktur Eksekutif Center for Democracy & Governance Studies (CDGS) Universitas Paramadina mengatakan, jika Gerindra bergabung dengan pemerintah, secara politik mungkin ada keuntungan bagi Presiden karena akan menambah basis kekuatan parpol koalisi pemerintah.
Namun di saat yang sama, ketika pemerintah tidak mendapatkan basis oposisi yang memadahi dan kuat, dalam prinsip dasar demokrasi hal itu membuat pemerintahan tidak berjalan dengan baik karena tidak ada pihak penyeimbang.
"Tetapi Gerindra sendiri juga harus menimbang ulang dari aspek etika politik, apakah itu pantas atau tidak setelah yang mereka ikhtiarkan selama ini, berposisi sedemikian rupa sebagai oposisi, kemudian meminta jatah menteri, itu harusnya juga dihitung," urainya.
Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini menambahkan, Jokowi juga harus memiliki pertimbangan seberapa efektif kemudian dukungan politik dari parpol tersebut bisa menerjemahkan kinerja presiden dan bisa menjalankan hal-hal yang kemudian diharapkan publik.
"Tapi di saat yang sama, ini menjadi hal unik karena tidak semua parpol oposisi kemarin itu menunjukkan, level konfrontasinya berbeda-beda. Ada yang cukup tajam dengan narasi politik identitas, ada yang berusaha tidak mau terjebak dalam konteks politik identitas," jelasnya.
"Saya kira Gerindra itu mungkin secara kelembagaan tidak menunjukkan itu, tapi dia mendiamkan terhadap proses-proses politik yang tidak sesuai dengan etika politik dimana cukup kentara perdebatan (pada Pilpres 2019) kemarin," tambahnya.
Karena itu, menurut Khoirul Umam, semua kembali pada kalkulasi politik Presiden. Namun menurutnya, Presiden juga pasti akan menimbang masukan-masukan dari parpol pengusung, utamanya PDIP. "Sepertinya Bu Mega juga punya kalkulasi sendiri," ujarnya.
Padahal, dalam Pilpres 2019 lalu, Gerindra sebagai parpol utama pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang merupakan lawan dari Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin, memiliki arah kebijakan berbeda.
(Baca juga: Jelang Pelantikan Jokowi-Ma'ruf, Pimpinan MPR Temui Prabowo-Sandi)
Pengamat politik Universitas Paramadina Jakarta, Ahmad Khoirul Umam mengatakan, Gerindra harus mempertimbangkan etika politik dan kepantasan jika kemudian bergabung dengan pemerintah.
"Hemat saya ini bukan hanya ditimpakan kepada presiden untuk mengambil keputusan, seharusnya pada saat yang sama Gerindra juga harus mempertimbangkan etika politiknya sendiri," ujar Khoirul Umam, Rabu (9/10/2019).
(Baca juga: Menunggu Kiprah Anggota DPR Baru dari Kalangan Artis)
Apakah pantas setelah bermanuver sedemikian rupa, kemudian tidak ada satupun narasi yang positif dari Gerindra (kepada Jokowi) tapi kemudian di ujung waktu pembagian kue kekuasaan melakukan langkah diametral yang berbalik 180 derajat, meminta jatah kursi di sana," sambungnya.
Khoirul Umam yang juga Direktur Eksekutif Center for Democracy & Governance Studies (CDGS) Universitas Paramadina mengatakan, jika Gerindra bergabung dengan pemerintah, secara politik mungkin ada keuntungan bagi Presiden karena akan menambah basis kekuatan parpol koalisi pemerintah.
Namun di saat yang sama, ketika pemerintah tidak mendapatkan basis oposisi yang memadahi dan kuat, dalam prinsip dasar demokrasi hal itu membuat pemerintahan tidak berjalan dengan baik karena tidak ada pihak penyeimbang.
"Tetapi Gerindra sendiri juga harus menimbang ulang dari aspek etika politik, apakah itu pantas atau tidak setelah yang mereka ikhtiarkan selama ini, berposisi sedemikian rupa sebagai oposisi, kemudian meminta jatah menteri, itu harusnya juga dihitung," urainya.
Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini menambahkan, Jokowi juga harus memiliki pertimbangan seberapa efektif kemudian dukungan politik dari parpol tersebut bisa menerjemahkan kinerja presiden dan bisa menjalankan hal-hal yang kemudian diharapkan publik.
"Tapi di saat yang sama, ini menjadi hal unik karena tidak semua parpol oposisi kemarin itu menunjukkan, level konfrontasinya berbeda-beda. Ada yang cukup tajam dengan narasi politik identitas, ada yang berusaha tidak mau terjebak dalam konteks politik identitas," jelasnya.
"Saya kira Gerindra itu mungkin secara kelembagaan tidak menunjukkan itu, tapi dia mendiamkan terhadap proses-proses politik yang tidak sesuai dengan etika politik dimana cukup kentara perdebatan (pada Pilpres 2019) kemarin," tambahnya.
Karena itu, menurut Khoirul Umam, semua kembali pada kalkulasi politik Presiden. Namun menurutnya, Presiden juga pasti akan menimbang masukan-masukan dari parpol pengusung, utamanya PDIP. "Sepertinya Bu Mega juga punya kalkulasi sendiri," ujarnya.
(maf)