Ekonomi Digital Tumbuh Subur
A
A
A
PERTUMBUHAN ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mendekati USD40 miliar tahun ini, dan diperkirakan mencapai USD133 miliar pada 2025 ke depan. Saat ini Indonesia menempati posisi tertinggi pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara.
Predikat tersebut berdasarkan data tren pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara dari laporan e-Conomy Southeast Asia (SEA). Pihak Google Indonesia sebagaimana disampaikan Managing Director Randy Jusuf mengungkapkan bahwa laporan yang menempatkan Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi digital teratas di antara negara serumpun adalah perpaduan dari Google Trends, riset Temasek, dan analisis Bain & Company, serta melibatkan sejumlah sumber dari industri dan wawancara ahli. Transformasi ekonomi yang tinggi diyakini menjadi pendorong pertumbuhan yang dinamis di kawasan Asia Tenggara.
Sebenarnya, laporan e-Conomy SEA tidaklah terlalu mengejutkan sebab selama ini pasar ekonomi digital Indonesia memang selalu disebut sejumlah lembaga riset dalam bidang ekonomi sebagai pasar yang sangat menjanjikan. Bahkan, Indonesia termasuk negara ketiga terbesar di Asia untuk pasar ekonomi digital.
Posisi pertama ditempati China, disusul India. Belakangan ini, sejumlah startup Indonesia menjadi pemain tingkat regional. Berbagai inovasi yang mencengangkan yang mampu memecahkan persoalan lokal, seperti merevolusi sektor transportasi, jasa pengantaran makanan, wisata dan perjalanan. Dan, diperkuat jumlah masyarakat Indonesia yang sudah melek internet. Tercatat kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital.
Pertumbuhan startup atau perusahaan rintisan di Indonesia bak jamur pada musim hujan. Di negeri ini, telah hadir tiga startup unicorn, yakni Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan satu decacorn yaitu Go-Jek, dan sejumlah perusahaan rintisan lainnya telah bermunculan yang berpotensi meraih status unicorn.
Dalam bidang finansial, berdasarkan data Asosiasi Fintech (Financial Technology) Indonesia, lebih dari 200 startup yang bergerak dalam bidang finansial, dan separuh lebih dari perusahaan masuk kategori usaha atau bergerak dalam bidang peminjaman (peer-to-peer lending) terdaftar dan mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan data OJK, Fintech peer-to-peer (P2P) lending yang jumlahnya mencapai 127 platform per Agustus 2019, telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp44,8 triliun. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimbo Santoso mengklaim sejumlah perusahaan Fintech dalam negeri sudah merambah kawasan Asia Tenggara.
Bagaimana dukungan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi digital selama ini? Yang pasti, pemerintah telah berkomitmen penuh bagaimana memberi ruang hidup selebar-lebarnya untuk ekonomi digital. Dalam setiap kesempatan bila berbicara ekonomi digital, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menegaskan bahwa aturan yang dikeluarkan tidak boleh berlaku kaku. Dalam pengembangan ekonomi digital harus ada light touch regulation. Karena itu, dalam merumuskan dan menerapkan sebuah aturan yang berkaitan langsung ekonomi digital senantiasa diwarnai prinsip kehati-hatian.
Apa yang diungkapkan Menkominfo memang sangat ideal bahwa aturan yang melingkupi ekonomi digital tidak boleh berlaku kaku. Namun, di sisi lain menjadi tantangan tersendiri bagi petugas penarik pajak. Setidaknya terdapat dua tantangan bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk memajaki jenis usaha baru dalam era ekonomi digital.
Pertama, bagaimana mewujudkan regulasi yang adil kompetitif, memberi kepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak, dan memiliki sistem yang baik. Kedua, bagaimana memanfaatkan kehadiran teknologi dengan baik dan maksimal. Memang, aturan pengenaan pajak pada sejumlah aktivitas bisnis terkait ekonomi digital membuat gamang pemerintah. Dari satu sisi potensi pajak yang ada di balik ekonomi digital begitu besar, namun di sisi lain pemerintah juga harus menahan diri agar aktivitas bisnis yang baru tumbuh tidak terpangkas karena pajak.
Predikat Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tertinggi di kawasan Asia Tenggara memiliki tantangan tersendiri. Selain bagaimana menyelaraskan aturan dan perkembangan, juga terkait keamanan siber. Di balik perkembangan ekonomi digital, juga membonceng kejahatan siber. Tengok saja sepanjang 2018, Badan Siber dan Sandi Negara memantau 225,9 juta serangan siber. Serangan siber menjadi hantu terhadap pertumbuhan ekonomi digital.
Selain itu, pertumbuhan perusahaan rintisan yang sangat subur bukan tanpa persoalan. Salah satu masalahnya adalah terbatasnya sumber daya manusia dengan talenta yang berkualitas, dan harus dibarengi infrastruktur digital yang memadai agar pertumbuhannya berkelanjutan.
Predikat tersebut berdasarkan data tren pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara dari laporan e-Conomy Southeast Asia (SEA). Pihak Google Indonesia sebagaimana disampaikan Managing Director Randy Jusuf mengungkapkan bahwa laporan yang menempatkan Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi digital teratas di antara negara serumpun adalah perpaduan dari Google Trends, riset Temasek, dan analisis Bain & Company, serta melibatkan sejumlah sumber dari industri dan wawancara ahli. Transformasi ekonomi yang tinggi diyakini menjadi pendorong pertumbuhan yang dinamis di kawasan Asia Tenggara.
Sebenarnya, laporan e-Conomy SEA tidaklah terlalu mengejutkan sebab selama ini pasar ekonomi digital Indonesia memang selalu disebut sejumlah lembaga riset dalam bidang ekonomi sebagai pasar yang sangat menjanjikan. Bahkan, Indonesia termasuk negara ketiga terbesar di Asia untuk pasar ekonomi digital.
Posisi pertama ditempati China, disusul India. Belakangan ini, sejumlah startup Indonesia menjadi pemain tingkat regional. Berbagai inovasi yang mencengangkan yang mampu memecahkan persoalan lokal, seperti merevolusi sektor transportasi, jasa pengantaran makanan, wisata dan perjalanan. Dan, diperkuat jumlah masyarakat Indonesia yang sudah melek internet. Tercatat kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital.
Pertumbuhan startup atau perusahaan rintisan di Indonesia bak jamur pada musim hujan. Di negeri ini, telah hadir tiga startup unicorn, yakni Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan satu decacorn yaitu Go-Jek, dan sejumlah perusahaan rintisan lainnya telah bermunculan yang berpotensi meraih status unicorn.
Dalam bidang finansial, berdasarkan data Asosiasi Fintech (Financial Technology) Indonesia, lebih dari 200 startup yang bergerak dalam bidang finansial, dan separuh lebih dari perusahaan masuk kategori usaha atau bergerak dalam bidang peminjaman (peer-to-peer lending) terdaftar dan mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan data OJK, Fintech peer-to-peer (P2P) lending yang jumlahnya mencapai 127 platform per Agustus 2019, telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp44,8 triliun. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimbo Santoso mengklaim sejumlah perusahaan Fintech dalam negeri sudah merambah kawasan Asia Tenggara.
Bagaimana dukungan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi digital selama ini? Yang pasti, pemerintah telah berkomitmen penuh bagaimana memberi ruang hidup selebar-lebarnya untuk ekonomi digital. Dalam setiap kesempatan bila berbicara ekonomi digital, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menegaskan bahwa aturan yang dikeluarkan tidak boleh berlaku kaku. Dalam pengembangan ekonomi digital harus ada light touch regulation. Karena itu, dalam merumuskan dan menerapkan sebuah aturan yang berkaitan langsung ekonomi digital senantiasa diwarnai prinsip kehati-hatian.
Apa yang diungkapkan Menkominfo memang sangat ideal bahwa aturan yang melingkupi ekonomi digital tidak boleh berlaku kaku. Namun, di sisi lain menjadi tantangan tersendiri bagi petugas penarik pajak. Setidaknya terdapat dua tantangan bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk memajaki jenis usaha baru dalam era ekonomi digital.
Pertama, bagaimana mewujudkan regulasi yang adil kompetitif, memberi kepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak, dan memiliki sistem yang baik. Kedua, bagaimana memanfaatkan kehadiran teknologi dengan baik dan maksimal. Memang, aturan pengenaan pajak pada sejumlah aktivitas bisnis terkait ekonomi digital membuat gamang pemerintah. Dari satu sisi potensi pajak yang ada di balik ekonomi digital begitu besar, namun di sisi lain pemerintah juga harus menahan diri agar aktivitas bisnis yang baru tumbuh tidak terpangkas karena pajak.
Predikat Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tertinggi di kawasan Asia Tenggara memiliki tantangan tersendiri. Selain bagaimana menyelaraskan aturan dan perkembangan, juga terkait keamanan siber. Di balik perkembangan ekonomi digital, juga membonceng kejahatan siber. Tengok saja sepanjang 2018, Badan Siber dan Sandi Negara memantau 225,9 juta serangan siber. Serangan siber menjadi hantu terhadap pertumbuhan ekonomi digital.
Selain itu, pertumbuhan perusahaan rintisan yang sangat subur bukan tanpa persoalan. Salah satu masalahnya adalah terbatasnya sumber daya manusia dengan talenta yang berkualitas, dan harus dibarengi infrastruktur digital yang memadai agar pertumbuhannya berkelanjutan.
(whb)