Puan, Sejarah, dan DPR

Rabu, 02 Oktober 2019 - 09:05 WIB
Puan, Sejarah, dan DPR
Puan, Sejarah, dan DPR
A A A
PUAN Maharani mencatat sejarah. Dia menjadi perempuan pertama di Indonesia yang duduk sebagai ketua DPR. Ini adalah sejarah baru bagi trah Soekarno. Ibunya, Megawati Soekarnoputri, juga mencatatkan diri sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia. Sedangkan kakeknya, Ir Soekarno, adalah presiden pertama Indonesia. Artinya, catatan sejarah memang sangat dekat dengan keluarga besar Ir Soekarno.

Sebenarnya, terlepas sebagai perempuan pertama sebagai ketua DPR, hal yang wajar jika Puan mendapatkan jabatan ini. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan adalah pemenang Pemilu 2019 dengan raihan 19,33% atau sekitar 27.053.961 suara.

Pada jajaran pimpinan DPR 2019-2024 Puan ditemani wakil ketua Azis Syamsuddin (Partai Golkar), Sufmi Dasco (Partai Gerindra), Rachmat Gobel (Partai NasDem), dan A Muhaimin Iskandar (PKB). Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, dan PKB. Lumrah juga dalam politik kita memperoleh jatah wakil ketua DPR sebab perolehan suara empat partai tersebut terbesar setelah PDIP.

Namun, tentu tantangan Puan bukan hanya perempuan pertama yang duduk sebagai ketua DPR. Jika ingin mencatatkan sejarah berikutnya, Puan harus bisa membuat gebrakan. Tidak dipungkiri, kinerja DPR periode 2014-2019 banyak mengundang kontroversi. Yang terbaru adalah cepatnya dalam pembahasan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang mengundang kontroversi.

Begitu juga dengan beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang memunculkan kontroversi satu di antaranya tentang KUHP. Bahkan aksi unjuk rasa oleh mahasiswa hampir di seluruh Indonesia sebagai respons terhadap kinerja kurang baik DPR periode 2014-2019. Kinerja DPR tersebut dianggap tidak berpihak ke rakyat dan lebih berpihak kepada kepentingan partai politik. Padahal, DPR adalah wakil rakyat.

Belum lagi kontroversi lainnya. Di awal 2014 saat beberapa hari setelah dilantik, kericuhan pemilihan ketua DPR mengundang keprihatinan masyarakat, hingga memunculkan pimpinan DPR tandingan. Rencana renovasi Gedung DPR yang dianggap bukan sesuatu yang urgen. Usulan uang pensiun seumur hidup serta usulan kenaikan tunjangan, baik kehormatan, komunikasi, langganan listrik, maupun pengawasan anggaran juga memicu kontroversi.

Belum lagi soal usulan dana aspirasi Rp20 miliar per anggota untuk bisa terjun ke dapil masing-masing. Dalih anggota Dewan saat itu untuk membantu pemerintah dalam menguatkan pembangunan di daerah-daerah. Itu semua kontroversi yang dibuat anggota DPR. Berbanding terbalik dengan UU yang dilahirkan. Dari 189 RUU di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) hanya 80 RUU yang berhasil diselesaikan atau hanya sekitar 40%. Kualitasnya pun mengundang perdebatan karena di akhir masa jabatan justru membahas RUU yang memicu kontroversi. Survei LSI pun menyebutkan DPR sebagai institusi dengan tingkat kepercayaan terendah kedua. DPR hanya unggul dari partai politik.

Wajah DPR memang belum berubah di mata masyarakat. Perlu ada gebrakan untuk mengubah image parlemen kita. Tentu bukan sekadar memoles make up wajah DPR sehingga terlihat baik, namun benar-benar harus menunjukkan kinerja yang baik sehingga bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat. DPR yang baru harus mampu benar-benar menjadi wakil rakyat. Memang tidak bisa dielakkan ketika ada kepentingan partai politik.

Namun, bukankah dalam politik demokrasi memegang teguh dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat sebagai subjek, bukan objek. Selama ini rakyat bagi DPR hanya sebagai objek. Agar bisa membuktikan bahwa rakyat sebagai subjek, DPR harus benar-benar menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik daripada sebelumnya.

Sanggupkah Puan? Memang belum banyak teruji. Namun, bekal politik dari ibunya selama di PDIP dan menjadi menteri koordinator tentu Puan telah mengenyam asam garam dalam politik Indonesia. Visi yang jelas dan bagaimana mengomunikasikan visi tersebut hingga mengeksekusinya akan menjadi taruhan lima tahun ke depan.

Puan telah dilantik, artinya tidak ada kata mundur. Taruhan telah dilemparkan, jika Puan tidak bekerja dengan baik, taruhannya adalah karier politik pribadi dia hingga partai politik pengusungnya. Belum lagi, apakah Puan mempunyai kemampuan untuk mengontrol kinerja pemerintah yang saat ini dipimpin oleh kader separtai juga menjadi ujian.

Akankah Puan sebagai ketua DPR bisa objektif dan menjadi rekan kerja yang baik dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Lima tahun ke depan masyarakat akan menyaksikan lantas menilai.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6375 seconds (0.1#10.140)