Fahri Hamzah Nilai RUU KUHP Ditolak karena Tak Paham Isinya
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menilai penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bukan karena UU tersebut bermasalah. Namun pihak-pihak yang menolak sebenarnya tidak paham terhadap isi UU tersebut secara menyeluruh.
Hal ini juga imbas dari belum maksimalnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Padahal, sebenarnya pembahasan RUU ini sudah dilakukan selama belasan tahun. Dirinya pun mengaku heran karena pembahasan RUU ini sudah cukup lama namun publik tidak juga memahami isi RUU KUHP sehingga meniai penolakan.
”Kita (publik) menolak bukan karena undang-undang (KUHP) kita bermasalah, tapi karena kita (masyarakat) nggak ngerti. Itukan sayang sekali. Saya sangat menyedihkan karena reformasi hukum kita agak terhenti,” ujar Fahri Hamzah usai Rapat Paripurna terakhir DPR Periode 2014-2019 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2019).
Fahri mengatakan selama bertahun-tahun banyak pihak yang mengeluhkan tentang sistem hukum yang ada di Indonesia. Nah, solusi dari berbagai keluhan soal permasalahan hukum tersebut sebenarnya ada dalam RUU KUHP yang akhirnya resmi dibatalkan pengesahannya setelah menuai penolakan dari publik.
”Kita mengeluhkan hukum kita selama beberapa tahun belakangan ini, ya (jawaban) keluhannya itu ya di KUHP. Kenapa orang banyak ditahan seenaknya? Kenapa penjara itu penuh? Semua jawaban itu ada di KUHP. Manajemen lapas kita mau kita perbaiki, ditentang,” keluhnya.
Dikatakan Fahri, pemerintah memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan pentingnya ada KUHP baru sebagai pengganti KUHP produk Kolonial Belanda. ”Republik ini jika mau tenang, mau tenteram maka harus ada kepastian hukum. Ya kalau mau ada keadilan maka segeralah undang-undang (produk) Belanda itu diganti dengan undang-undang yang kita buat sendiri."
"Itu saja sebenarnya. Dan saya kira kalau ada yang menentang dan masih ingin menggunakan undang-undang (produk) Belanda, itu keterlaluan. Tapi okelah, kita sudah tunda. Pemerintah nanti punya tugas mensosialisasikan karena ini usulan pemerintah,” sambungnya.
RUU KUHP resmi ditunda dan pembahasannya akan dilanjutkan (carry over) oleh DPR periode 2019-2024 bersama pemerintah. Penundaan dilakukan menyusul keinginan Presiden yang disampaikan melalui surat yang dikirim Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) ke DPR. Ke depan, RUU ini akan menjadi prioritas dalam pembahasan DPR bersama pemerintah ke depan.
”Diupayakan setelah sosialisasi, akan disahkan secepat-cepatnya dalam awal periode yang akan datang. Makanya ini menjadi tugas pemerintah dan DPR untuk mensosiasilisasikan karena sebenarnya RUU (KUHP) itu tidak ada masalah,” tandas Fahri.
Hal ini juga imbas dari belum maksimalnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Padahal, sebenarnya pembahasan RUU ini sudah dilakukan selama belasan tahun. Dirinya pun mengaku heran karena pembahasan RUU ini sudah cukup lama namun publik tidak juga memahami isi RUU KUHP sehingga meniai penolakan.
”Kita (publik) menolak bukan karena undang-undang (KUHP) kita bermasalah, tapi karena kita (masyarakat) nggak ngerti. Itukan sayang sekali. Saya sangat menyedihkan karena reformasi hukum kita agak terhenti,” ujar Fahri Hamzah usai Rapat Paripurna terakhir DPR Periode 2014-2019 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2019).
Fahri mengatakan selama bertahun-tahun banyak pihak yang mengeluhkan tentang sistem hukum yang ada di Indonesia. Nah, solusi dari berbagai keluhan soal permasalahan hukum tersebut sebenarnya ada dalam RUU KUHP yang akhirnya resmi dibatalkan pengesahannya setelah menuai penolakan dari publik.
”Kita mengeluhkan hukum kita selama beberapa tahun belakangan ini, ya (jawaban) keluhannya itu ya di KUHP. Kenapa orang banyak ditahan seenaknya? Kenapa penjara itu penuh? Semua jawaban itu ada di KUHP. Manajemen lapas kita mau kita perbaiki, ditentang,” keluhnya.
Dikatakan Fahri, pemerintah memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan pentingnya ada KUHP baru sebagai pengganti KUHP produk Kolonial Belanda. ”Republik ini jika mau tenang, mau tenteram maka harus ada kepastian hukum. Ya kalau mau ada keadilan maka segeralah undang-undang (produk) Belanda itu diganti dengan undang-undang yang kita buat sendiri."
"Itu saja sebenarnya. Dan saya kira kalau ada yang menentang dan masih ingin menggunakan undang-undang (produk) Belanda, itu keterlaluan. Tapi okelah, kita sudah tunda. Pemerintah nanti punya tugas mensosialisasikan karena ini usulan pemerintah,” sambungnya.
RUU KUHP resmi ditunda dan pembahasannya akan dilanjutkan (carry over) oleh DPR periode 2019-2024 bersama pemerintah. Penundaan dilakukan menyusul keinginan Presiden yang disampaikan melalui surat yang dikirim Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) ke DPR. Ke depan, RUU ini akan menjadi prioritas dalam pembahasan DPR bersama pemerintah ke depan.
”Diupayakan setelah sosialisasi, akan disahkan secepat-cepatnya dalam awal periode yang akan datang. Makanya ini menjadi tugas pemerintah dan DPR untuk mensosiasilisasikan karena sebenarnya RUU (KUHP) itu tidak ada masalah,” tandas Fahri.
(kri)