Masalah Perizinan Persoalan Klasik

Sabtu, 28 September 2019 - 06:07 WIB
Masalah Perizinan Persoalan Klasik
Masalah Perizinan Persoalan Klasik
A A A
PEMERINTAH menyadari persoalan perizinan yang ribet sangat merugikan dalam bersaing dengan negara lain untuk menarik arus investasi sebagai penggerak roda pertumbuhan ekonomi. Tak mengherankan bila dalam beberapa bulan terakhir ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap kali mengeluhkan masalah perizinan yang masih menjadi pengganjal utama bagi investor untuk menanam modal di Indonesia. Sebenarnya pangkal masalahnya sudah terang-benderang, yakni berpusar pada penyerahan kewenangan perundang-undangan kepada pemerintah daerah maupun para menteri yang seharusnya berada di bawah kendali langsung Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Lebih jelas, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang kini sedang berjibaku memangkas perizinan yang menghambat investasi mencontohkan Undang Undan (UU) No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan payung hukum tersebut sejumlah kewenangan yang disentralisasi kepada pemerintah daerah. Celakanya, implementasi kebijakan di lapangan lebih banyak menimbulkan keribetan.

Hal itu diamini kalangan pengusaha seperti pengakuan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, yang mengalami sejumlah kendala perizinan saat membuka pabrik di daerah. Mulai dari izin lokasi, izin warga setempat, izin mendirikan bangunan, sertifikat laik fungsi, izin industri, izin perdagangan, izin pembuangan limbah, izin petir, izin limbah B3, dan masih banyak izin lainnya. Izin tersebut hampir semua berlaku di kabupaten dan kota dan sudah pasti tidak ada yang gratis.

Kerumitan birokrasi perizinan menjadi salah satu pertimbangan, terutama investor asing, dalam memilih satu negara untuk menanamkan modalnya. Padahal selama ini pemerintah sudah mengerahkan segala daya dan upaya memancing investor masuk ke Indonesia. Bila dibandingkan dengan sejumlah negara Asia Tenggara, harus diakui Indonesia memiliki prosedur banyak dan waktu perizinan mendirikan bisnis yang lama. Sebagaimana ditulis World Competitiveness Report versi WEF tahun lalu, di Indonesia terdapat 11 prosedur dan butuh waktu 25 hari mengurus izin untuk mendirikan bisnis. Bandingkan dengan Malaysia yang hanya mengenakan tiga prosedur dan pengurusan perizinan yang sangat singkat sekitar 2,5 hari saja.

Indonesia memang selalu masuk dalam pantauan radar investor asing karena pasar domestik yang besar dan didukung sumber daya alam yang memadai. Secara garis besar terdapat empat motivasi yang mendorong investor asing menggelontorkan dananya kepada suatu negara, tertarik karena sumber daya alam, pasar yang menarik, adanya aset-aset strategis hingga masalah efisiensi.

Berdasarkan survei dari World Bank Group (WBG) yang dipublikasi belum lama ini, mayoritas investor asing atau sekitar 71% berinvestasi ke suatu negara karena mencari pasar yang menarik untuk ekspansi. Alasan lainnya, sebanyak 13% untuk efisiensi bisnis. Dan, hanya sebanyak 4% dengan alasan kekayaan sumber daya alam sebuah negara tujuan investasi.

Masih berdasarkan survei WBG terungkap bahwa setidaknya terdapat sejumlah faktor penting menjadi pertimbangan investor asing sebelum membenamkan dananya pada sebuah negara. Pertama, faktor kelembagaan yang mencakup stabilitas politik dan keamanan. Kedua, efisiensi pasar yang meliputi kebijakan dan aspek legal suatu negara, beban pajak hingga akses ke lahan dan real estate. Ketiga, besarnya pasar domestik suatu negara yang diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) maupun kontribusi ekspor terhadap PDB. Keempat, kondisi dan dan stabilitas makroekonomi juga jadi pertimbangan investor asing. Kelima, infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja dan pasar keuangan suatu negara.

Namun dari berbagai prasyarat ideal di mata investor, yang paling mendasar jadi pertimbangan adalah stabilitas politik dan keamanan, ukuran pasar, dan efisiensi yang meliputi aspek legal dan regulasi atau perizinan. Tiga faktor tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Contoh, urusan perizinan yang berbelit-belit jelas masalah besar buat investor. Presiden Jokowi sendiri menilai bahwa persoalan perizinan di negeri ini sangat tidak bersahabat dengan investor. "Perizinan berinvestasi di negara kita betul-betul prosedural, terlau banyak aturan, terlalu banyak UU-nya dan berbelit-belit," tegas Jokowi dalam sebuah rapat kabinet pekan lalu.

Celakanya, dari 72 UU yang terkait dengan investasi pada umumnya diterbitkan dalam era 1970 hingga 1990. Tentu, seiring perkembangan zaman tidak sedikit regulasi tersebut tidak selaras lagi dengan kondisi sekarang. Karena itu tugas jangka pendek pemerintah, segera mengidentifikasi perizinan yang tidak relevan lagi. Perizinan yang tidak selaras dengan kekinian tidak boleh dilakukan sekadar penyederhanaan yang selama ini sering ditempuh pemerintah, tetapi wajib dicabut segera.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3610 seconds (0.1#10.140)