Koalisi Masyarakat Sipil Minta Presiden Tarik Pembahasan RUU KKS
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta menarik diri dalam pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Sebab, jika disahkan pada periode ini, maka RUU PKS akan mencatat sejarah beleid super cepat yang dilakukan DPR periode 2014-2019 karena dirumuskan hanya dalam tempo tiga hari.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas sejumlah LSM mencatat RUU KKS muncul atas inisiatif DPR pada Juli 2019 untuk dibahas bersama dengan pemerintah. Dalam internal pemerintah, disebut Koalisi Masyarakat Sipil tengah merampungkan proses penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM) sebagai syarat pembahasan.
Meski muncul sebagai inisiatif sejak Juli lalu, namun rapat pembahasan baru akan pertama kali dilakukan DPR pada hari ini. Dengan berakhirnya masa tugas pada 30 September mendatang, praktis hanya tersisa tiga hari bagi para wakil rakyat untuk mengesahkan RUU KKS sebagai beleid.
“DPR baru rapat pembahasan pertama pada hari ini dan hanya memiliki waktu tiga hari sebelum berakhirnya masa tugas. Jika disahkan, RUU ini akan mencatat sejarah super cepat, mengalahkan UU KPK dan pembahasan RUU KUHP yang saat ini menjadi polemik di masyarakat,” tegas Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil menolak RUU KKS di kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Jumat (27/9).
Wahyudi mengaku khawatir jika RUU KKS dipaksa untuk disahkan pada periode ini justru akan menyandera UU Perlindungan Data Pribadi. Padahal RUU ini seharusnya dibangun secara paralel dengan UU Perlindungan Data Pribadi sehingga tidak saling mengunci.
“Kenapa harus paralel RUU KKS dengan Perlindungan Data Pribadi? Untuk memastikan adanya kedaulatan individu di ruang siber, ada dua hal yang ditekankan, data security dan data protection yang terkait erat dengan hak-hak pemilik data. Misalnya pemilik data memiliki akses merubah, menghapus, menolak. Sementara data security memastikan langkah pengelola bagaimana mengamankan data agar tidak ada kebocoran,” ucap Wahyudi.
Dia menilai, kalau pengesahan ini tidak dilakukan bersamaan akan mengunci beberapa hal yang seharusnya bisa diatur kuat dalam RUU Perlindungan Data Pribadi, seperti monitoring kebocoran data pribadi, akses perlindungan terhadap kebocoran atau penyalahgunaan monitoring data.
Direktur Indonesia Legal Round Table (ILRL) Erwin Natosmal Oemar berpendapat salah satu hal terpenting dari pembahasan RUU adalah evaluasi, antara lain mengenai persinggungan dengan regulasi lain, struktur, ataupun substansi.
“RUU ini tidak pernah dievaluasi, bagaimana persinggungan regulasi ini dengan regulasi lain. Soal struktur, substansi apakah sudah dievaluasi? Saya lihat ada dua delik pidana yang sebenarnya menjadi problem, UU ITE saja sudah ada korban, belum dievaluasi UU sudah ada lagi RUU dengan pasal karet yang ancaman hukumannya tinggi,” papar Erwin.
RUU ini juga dipandang Erwin kontradiktif dengan semangat Presiden Jokowi untuk melakukan perampingan lembaga. Dalam lima tahun disebutkannya telah melakukan perampingan dengan memotong 25 lembaga.
“RUU ini justru kontradiktif dengan penyederhanaan strutur yang digaungkan Jokowi,” timpalnya seraya mengingatkan DPR dan pemerintan untuk berhati-hati menyikapi pembahasan RUU KKS dengan evaluasi kelembagaan, substansi dan regulasi.
Di lokasi yang sama, peneliti senior Imparsial Anton Aliabbas mengutarakan secara tegas mengenai penolakan atas pengesahan RUU KKS. Koalisi meminta Presiden Jokowi campur tangan bila RUU KKS disahkan DPR periode 2014-2019.
“Kami menolak pengesahan RUU KKS untuk disahkan pada periode 2014-2019. Apabila dipaksa disahkan, kami mendesak Jokowi menarik diri dari pembahasan RUU KKS. Pengesahan RUU ini akan menambah kegaduhan yang tidak perlu, akan menambah komplikasi dalam kegaduhan yang ada,” Anton.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas sejumlah LSM mencatat RUU KKS muncul atas inisiatif DPR pada Juli 2019 untuk dibahas bersama dengan pemerintah. Dalam internal pemerintah, disebut Koalisi Masyarakat Sipil tengah merampungkan proses penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM) sebagai syarat pembahasan.
Meski muncul sebagai inisiatif sejak Juli lalu, namun rapat pembahasan baru akan pertama kali dilakukan DPR pada hari ini. Dengan berakhirnya masa tugas pada 30 September mendatang, praktis hanya tersisa tiga hari bagi para wakil rakyat untuk mengesahkan RUU KKS sebagai beleid.
“DPR baru rapat pembahasan pertama pada hari ini dan hanya memiliki waktu tiga hari sebelum berakhirnya masa tugas. Jika disahkan, RUU ini akan mencatat sejarah super cepat, mengalahkan UU KPK dan pembahasan RUU KUHP yang saat ini menjadi polemik di masyarakat,” tegas Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil menolak RUU KKS di kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Jumat (27/9).
Wahyudi mengaku khawatir jika RUU KKS dipaksa untuk disahkan pada periode ini justru akan menyandera UU Perlindungan Data Pribadi. Padahal RUU ini seharusnya dibangun secara paralel dengan UU Perlindungan Data Pribadi sehingga tidak saling mengunci.
“Kenapa harus paralel RUU KKS dengan Perlindungan Data Pribadi? Untuk memastikan adanya kedaulatan individu di ruang siber, ada dua hal yang ditekankan, data security dan data protection yang terkait erat dengan hak-hak pemilik data. Misalnya pemilik data memiliki akses merubah, menghapus, menolak. Sementara data security memastikan langkah pengelola bagaimana mengamankan data agar tidak ada kebocoran,” ucap Wahyudi.
Dia menilai, kalau pengesahan ini tidak dilakukan bersamaan akan mengunci beberapa hal yang seharusnya bisa diatur kuat dalam RUU Perlindungan Data Pribadi, seperti monitoring kebocoran data pribadi, akses perlindungan terhadap kebocoran atau penyalahgunaan monitoring data.
Direktur Indonesia Legal Round Table (ILRL) Erwin Natosmal Oemar berpendapat salah satu hal terpenting dari pembahasan RUU adalah evaluasi, antara lain mengenai persinggungan dengan regulasi lain, struktur, ataupun substansi.
“RUU ini tidak pernah dievaluasi, bagaimana persinggungan regulasi ini dengan regulasi lain. Soal struktur, substansi apakah sudah dievaluasi? Saya lihat ada dua delik pidana yang sebenarnya menjadi problem, UU ITE saja sudah ada korban, belum dievaluasi UU sudah ada lagi RUU dengan pasal karet yang ancaman hukumannya tinggi,” papar Erwin.
RUU ini juga dipandang Erwin kontradiktif dengan semangat Presiden Jokowi untuk melakukan perampingan lembaga. Dalam lima tahun disebutkannya telah melakukan perampingan dengan memotong 25 lembaga.
“RUU ini justru kontradiktif dengan penyederhanaan strutur yang digaungkan Jokowi,” timpalnya seraya mengingatkan DPR dan pemerintan untuk berhati-hati menyikapi pembahasan RUU KKS dengan evaluasi kelembagaan, substansi dan regulasi.
Di lokasi yang sama, peneliti senior Imparsial Anton Aliabbas mengutarakan secara tegas mengenai penolakan atas pengesahan RUU KKS. Koalisi meminta Presiden Jokowi campur tangan bila RUU KKS disahkan DPR periode 2014-2019.
“Kami menolak pengesahan RUU KKS untuk disahkan pada periode 2014-2019. Apabila dipaksa disahkan, kami mendesak Jokowi menarik diri dari pembahasan RUU KKS. Pengesahan RUU ini akan menambah kegaduhan yang tidak perlu, akan menambah komplikasi dalam kegaduhan yang ada,” Anton.
(cip)