Revisi UU Pemda, Menko Perekonomian: NSPK Kewenangan Presiden

Kamis, 26 September 2019 - 06:27 WIB
Revisi UU Pemda, Menko...
Revisi UU Pemda, Menko Perekonomian: NSPK Kewenangan Presiden
A A A
JAKARTA - Pemerintah saat ini tengah menyiapkan revisi terhadap 74 undang-undang (UU) untuk dijadikan omnimbus law perizinan. Salah satu UU yang akan menjadi sasaran revisi adalah UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda).

Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution mengatakan yang akan direvisi dari UU Pemda yang berkaitan dengan klausul norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). Di mana NSPK yang sebelumnya dikeluarkan oleh kementerian/lembaga akan diambilalih presiden. “NSPK itu kewenangan presiden. Bukan kewenangan menteri,” kata Darmin di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, kemarin.

Seperti diketahui NSPK merupakan pedoman bagi pemda dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Termasuk dalam penyusunan peraturan daerah (perda). Menurut Darmin, dengan adanya hal ini maka perda di daerah tidak saja sesuai dengan aturan diatasnya, tapi juga sejalan dengan Undnag-Undang Dasar (UUD). Darmin menyebut, dengan peralihan ini maka presiden nantinya bisa membatalkan perda yang tidak sesuai dengan NSPK.

“Semua perda bisa (dibatalkan). Iya (tidak perlu ke Mahkamah Agung),” ungkapnya. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari penataan kewenangan sebelum masuk pada penyederhanaan proses perizinan. Menurut dia, omnimbus law ini akan menegaskan bahwa penyerahan kewenangan kepada menteri atau kepala daerah harus dibaca sebagai kewenangan presiden yang dilimpahkan.

“Kita sering mengalami menterinya sudah merasa dapat pelimpahan dari UU, sehingga kalau presiden mempertanyakan kebijakan tertentu, itu kemudian menterinya bilang kewenangan saya. Mana ada kewenangan? Menteri itu pembantu presiden. Kepala daerah juga pembantu presiden di daerah. Walaupun dia punya kewenangan yang sudah didesentralisasikan. Bagian itu perlu didudukkan dulu,” ujarnya.

Ketidaksesuaian inilah yang kemudian membuat mendagri kehilangan wewenangnya membatalkan perda. Sebab, pembatalan perda seharusnya menjadi kewenangan presiden. “Jadi waktu saya bilang mendagri cabut 3.000 perda dan pemerintah kalah di MK, bukan karena kalah secara hukum, secara prosedural. Menurut MK, mendagri tidak bisa mencabut itu. Yang bisa bosnya menteri. Makanya diubah saja, cabut lagi selesai urusannya,” tandasnya.

Darmin pun mempersilakan jika ada yang ingin mmenggugat aturan ini nantinya. Dia cukup yakin menang di MK. “Silakan saja. Sangat yakin. Haqqul yaqin. Karena mendagri yang mencabut. Sehingga MK bilang itu bukan kewenangan dia,” paparnya.

Sementara itu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengakui bahwa butuh proses panjang untuk membatalkan perda yang menghambat investasi. Hal ini mengingat dirinya sudah tidak berwenang membatalkan perda. “Itu yang menjadi keputusan MK. Ya panjang. Kalau lewat MA cukup lama. Ya sudah mau bagaimana lagi,” ujarnya.

Untuk saat ini, Tjahjo terus mengimbau pemda melakukan evaluasi perda-perda yang dinilai menghambat investasi. Selain itu, dia juga mendorong pemda melakukan inovasi-inovasi untuk menggenjot perekonomian di daerah. “Jadi, jangan sampai ada perda-perda yang menghambat jalannya pemerintahan di daerah. Sepanjang perda itu untuk masyarakat dan daerah serta konstitusi, ada layanan publik yang baik, ya tidak ada masalah,” tandasnya.

Lebih lanjut Tjahjo mengaku akan lebih berhati-hati dan cermat saat melayani konsultasi pembentukan perda. Hal ini dilakukan agar perda-perda yang dihasilkan tidak bermasalah di kemudian hari.

“Bukan kami menghambat atau melarang. Tapi, kami akan lebih hati-hati dan cermat. Jangan sampai membuat perda-perda yang bertabrakan dengan undang-undang atau justru yang menghambat investasi atau menghambat pelayanan masyarakat dalam rancangannya,” ujarnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6952 seconds (0.1#10.140)