Demo Mahasiswa, Pengamat: Gelombang Protes ke DPR Salah Alamat
A
A
A
JAKARTA - Gelombang protes mahasiswa diberbagai daerah terkait RUU yang menuai kontroversi membuat pemerintah akhirnya mengambil jalan tengah untuk menunda penetapannya. Empat RUU itu adalahRUU Pertanahan,RUU Minerba,RUU KUHP,RUU Pemasyarakatan dan RUU ketenagakerjaan.
Namun, salah satu RUU yang paling banyak penolakan dan kontroversi justru telah lebih dulu disahkan menjadi undang-undang. "RUU perubahan atas Undang-undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diketok palu dan tinggal menunggu tanda tangan presiden," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, melalui keterangan pers yang diterima SINDOnews, Rabu (25/9/2019).
Menurutnya, isu pelemahan KPK yang menjadi salah satu titik krusial justru luput dari perhatian mahasiswa dan 'bola panas' justru sekarang berada di tangan presiden bukan lagi di DPR. Begitu juga seluruh RUU yang sedang dibahas dan ditetapkan di DPR adalah produk RUU inisiatif presiden. "Hanya RUU KPK saja yang menjadi inisitif DPR, sehingga gelombang protes yang ditujukan mahasiswa kepada DPR sesungguhnya salah alamat," katanya.
Gelombang protes dan tekanan politik, lanjut dia, semestinya ditujukan ke istana bukan ke gedung parlemen, karena sejatinya akar masalah ada di istana. Dengan demikian, seluruh RUU inisiatif pemerintah bisa ‘ditunda’ hanya atas perintah presiden. Begitu juga UU KPK yang baru saja ditetapkan DPR bisa dengan 'mudah' dibatalkan oleh presiden dengan mengeluarkan semacam Perpu.
Sekali lagi, tegasnya, presiden punya hak veto, apapun bisa dilakukan presiden. "Jadi, sekarang sesungguhnya kunci persoalan itu ada di tangan presiden sehingga sangat tidak relevan lagi menekan DPR yang sudah tidak berdaya itu, memadamkan api, pemadam kebakarannya ada di Istana," ujar analis politik tersebut.
Ada hal yang menarik dalam pendekatan sistem presidensial murni, zonasi/garis demarkasi sangat jelas, legislatif fokus membuat produk undang dan eksekutif melaksanakannya. "Sementara, presidential kita justru eksekutif sibuk buat peraturan perundang-undangan," ungkapnya.
Pertarungan kepentingan tersebut mencapai konsensus yang melahirkan sistem presidential model Indonesia yang berbeda dengan negara lain. Dengan ciri utama, keterlibatan presiden dalam proses pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR.
Konstruksi konstitusi yang dapat mengatasi kebuntuan politik antara eksekutif dengan legislatif dengan mekanisme saling ‘bypassing’ antara presiden dan DPR dalam proses pengambilan keputusan.
"Presidensial kita memang unik, produk legislasi masih didominasi oleh eksekutif. Mungkin ini jalan tengah, mencegah deedlock antara legislatif dan eksekutif sehingga ada kompromi, salah satunya eksekutif (pemerintah) membuat undang undang," pungkasnya.
Namun, salah satu RUU yang paling banyak penolakan dan kontroversi justru telah lebih dulu disahkan menjadi undang-undang. "RUU perubahan atas Undang-undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diketok palu dan tinggal menunggu tanda tangan presiden," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, melalui keterangan pers yang diterima SINDOnews, Rabu (25/9/2019).
Menurutnya, isu pelemahan KPK yang menjadi salah satu titik krusial justru luput dari perhatian mahasiswa dan 'bola panas' justru sekarang berada di tangan presiden bukan lagi di DPR. Begitu juga seluruh RUU yang sedang dibahas dan ditetapkan di DPR adalah produk RUU inisiatif presiden. "Hanya RUU KPK saja yang menjadi inisitif DPR, sehingga gelombang protes yang ditujukan mahasiswa kepada DPR sesungguhnya salah alamat," katanya.
Gelombang protes dan tekanan politik, lanjut dia, semestinya ditujukan ke istana bukan ke gedung parlemen, karena sejatinya akar masalah ada di istana. Dengan demikian, seluruh RUU inisiatif pemerintah bisa ‘ditunda’ hanya atas perintah presiden. Begitu juga UU KPK yang baru saja ditetapkan DPR bisa dengan 'mudah' dibatalkan oleh presiden dengan mengeluarkan semacam Perpu.
Sekali lagi, tegasnya, presiden punya hak veto, apapun bisa dilakukan presiden. "Jadi, sekarang sesungguhnya kunci persoalan itu ada di tangan presiden sehingga sangat tidak relevan lagi menekan DPR yang sudah tidak berdaya itu, memadamkan api, pemadam kebakarannya ada di Istana," ujar analis politik tersebut.
Ada hal yang menarik dalam pendekatan sistem presidensial murni, zonasi/garis demarkasi sangat jelas, legislatif fokus membuat produk undang dan eksekutif melaksanakannya. "Sementara, presidential kita justru eksekutif sibuk buat peraturan perundang-undangan," ungkapnya.
Pertarungan kepentingan tersebut mencapai konsensus yang melahirkan sistem presidential model Indonesia yang berbeda dengan negara lain. Dengan ciri utama, keterlibatan presiden dalam proses pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR.
Konstruksi konstitusi yang dapat mengatasi kebuntuan politik antara eksekutif dengan legislatif dengan mekanisme saling ‘bypassing’ antara presiden dan DPR dalam proses pengambilan keputusan.
"Presidensial kita memang unik, produk legislasi masih didominasi oleh eksekutif. Mungkin ini jalan tengah, mencegah deedlock antara legislatif dan eksekutif sehingga ada kompromi, salah satunya eksekutif (pemerintah) membuat undang undang," pungkasnya.
(pur)