Artis di Parlemen Jangan Hanya Pemanis

Rabu, 25 September 2019 - 05:33 WIB
Artis di Parlemen Jangan Hanya Pemanis
Artis di Parlemen Jangan Hanya Pemanis
A A A
Penyanyi Mulan Jameela menarik perhatian publik dan men­­jadi perbincangan dalam beberapa hari terakhir. Pe­nyebabnya karena istri musisi Ahmad Dhani ter­se­but di­te­tap­kan sebagai anggota DPR periode 2019-2024 dari Par­tai Gerindra.

Mulan melenggang ke Senayan dengan cara dramatis. Se­be­lumnya ia dinyatakan tidak terpilih. Namun, setelah ia mengajukan gu­gatan atas penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pengadilan Ne­ge­ri Jakarta Selatan akhirnya me­minta DPP Partai Gerindra mene­tap­kan Mulan sebagai anggota DPR terpilih.

Mulan melengkapi deretan nama artis yang telah ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih dan akan mengemban amanah hingga lima tahun mendatang. Sebelumnya, 13 pesohor lebih dulu dite­tap­kan KPU sebagai anggota DPR. Mereka menjadi bagian dari 575 jum­lah anggota DPR periode 2019-2024 yang akan dilantik pada Okto­ber mendatang.

Dari nama-nama yang lolos, terdapat selebritas yang namanya sudah sangat populer di masayarakat, di antaranya Rano Karno, Dessy Ratnasari, Primus Yustisio, Dede Yusuf Macan Effendi, Krisdayanti, Rieke Diah Pitaloka, dan Tommy Kurniawan. Jika dibandingkan dengan hasil pemilu legislatif lalu, jumlah artis yang masuk Senayan kali ini berkurang. Pada DPR periode 2014-2019 terdapat 17 anggota DPR yang berlatar belakang artis.

Pertanyaan yang selalu mucul menyertai terpilihnya para artis adalah sejauh mana mereka mampu berkontribusi di parlemen? Benarkah para artis ini terpilih semata mengandalkan modal po­pu­laritas sehingga kinerjanya tidak akan menonjol nantinya?

Tentu tidak fair anggapan yang menyatakan bahwa artis di parlemen sekadar jadi “pemanis” saja yang kerjanya datang, duduk, mende­ngar­kan. Buktinya, terdapat beberapa nama artis yang selama ini kinerjanya cukup menonjol, terlihat menguasai isu-isu publik, bahkan dipercaya menjadi pimpinan komisi atau panitia khusus (pansus). Sebut di antaranya Dede Yusuf, ketua Komisi IX DPR periode 2014-2019, dan Rieke Diah Pitaloka yang pernah menjadi ketua Pansus Pelindo II.

Namun, jika ditelisik lebih dalam, memang banyak juga artis yang kinerjanya mengecewakan. Indikatornya sederhana, mereka tidak pernah terlihat tampil untuk mengawal isu-isu publik atau sekadar tam­pil mengambil bagian dalam sebuah diskursus yang menjadi perhatian publik. Jika tidak ingin dicap hanya bermodal tampang, anggota DPR dari kalangan artis seyogianya bisa menunjukkan bahwa mereka itu punya kapabilitas, kapasitas dam integritas sebagai wakil rakyat.

Tentu bukan semata salah si artis jika kontribusi yang diberikan selama ia menjabat anggota parlemen minim. Kesalahan utama tetap ada di partai politik (parpol). Mengapa? Sebab parpollah yang seha­rus­nya melakukan pembinaan dan kaderisasi terhadap anggotanya. Kader partai tidak sekadar mampu menguasai isu-isu publik, namun juga bisa mengidentifikasi berbagai permasalahan dan merumuskan solusinya.

Namun sayang hal seperti itu tidak berjalan sebagaimana mes­ti­nya. Parpol memilih menempuh jalan pintas untuk memperoleh dam­pak elek­toral. Salah satu caranya adalah merekrut artis sebagai calon ang­gota legislatif. Artis ini lalu dijadikan vote getter karena tingkat kepopulerannya yang sangat baik. Hampir semua parpol yang ikut kontestasi pemilu lalu menampilkan figur artis sebagai daya tarik. Uniknya, ini juga sejalan dengan kecenderungan pemilih yang memilih wakilnya karena faktor popularitas saja, bukan pada program kerja yang ditawarkan.

Sesungguhnya tidak menjadi persoalan jika artis dijadikan alat untuk mendulang suara. Namun, itu perlu diikuti dengan pem­be­kalan atau bimbingan teknis setelah anggota DPR baru selesai di­lantik. Pembekalan dan bimtek kepada kader sangat penting karena kerja yang menanti di DPR tidak ringan.

Menjadi anggota DPR tidak mudah karena harus mengerjakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Untuk menguasai tugas mendasar ini diperlukan ke­se­riusan, kerja keras, dan waktu yang cukup lama. Maka dari itu, par­pol bertanggung jawab untuk mengembangkan kualitas ang­go­ta­nya yang artis melalui kaderisasi yang berkelanjutan.

Agar ki­prah­nya di parlemen tidak sekadar jadi "pemanis" artis perlu dibekali de­ngan nilai-nilai ideologi dan program-programnya partai sejak dini. Nilai-nilai ideologi yang terinternalisasi akan membuat figur artis menjadi kuat. Namun ini juga tidak mudah, karena sulit mene­mu­kan parpol yang melakukan proses kaderisasi secara baik. Maka cara­nya adalah menempuh jalan pintas dengan merekrut figur ter­ke­nal, terutama artis.

Kader partai berlatar belakang artis yang berkualitas sesung­guh­nya akan memberikan benefit yang besar buat partai itu sendiri. Jika artis ini cakap dalam mengemban tugas di DPR, maka dia akan mu­dah mendapatkan dukungan masyarakat karena sudah unggul popu­la­ri­tas.

Hasilnya akan kembali ke partai juga yakni meningkatnya ke­per­cayan masyarakat dan bisa meraih suara sebanyak-banyaknya saat pe­milu. Sebaliknya, jika figur artis ternyata tidak mampu menunjukkan kecakapannya maka yang didapatkan artis dan partainya adalah nilai negatif. Parpol dinilai hanya mengeksploitasi popularitas artis, sekadar dicalonkan hanya untuk mendulang suara.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9033 seconds (0.1#10.140)