Artis di Parlemen Jangan Hanya Pemanis
A
A
A
Penyanyi Mulan Jameela menarik perhatian publik dan menjadi perbincangan dalam beberapa hari terakhir. Penyebabnya karena istri musisi Ahmad Dhani tersebut ditetapkan sebagai anggota DPR periode 2019-2024 dari Partai Gerindra.
Mulan melenggang ke Senayan dengan cara dramatis. Sebelumnya ia dinyatakan tidak terpilih. Namun, setelah ia mengajukan gugatan atas penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya meminta DPP Partai Gerindra menetapkan Mulan sebagai anggota DPR terpilih.
Mulan melengkapi deretan nama artis yang telah ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih dan akan mengemban amanah hingga lima tahun mendatang. Sebelumnya, 13 pesohor lebih dulu ditetapkan KPU sebagai anggota DPR. Mereka menjadi bagian dari 575 jumlah anggota DPR periode 2019-2024 yang akan dilantik pada Oktober mendatang.
Dari nama-nama yang lolos, terdapat selebritas yang namanya sudah sangat populer di masayarakat, di antaranya Rano Karno, Dessy Ratnasari, Primus Yustisio, Dede Yusuf Macan Effendi, Krisdayanti, Rieke Diah Pitaloka, dan Tommy Kurniawan. Jika dibandingkan dengan hasil pemilu legislatif lalu, jumlah artis yang masuk Senayan kali ini berkurang. Pada DPR periode 2014-2019 terdapat 17 anggota DPR yang berlatar belakang artis.
Pertanyaan yang selalu mucul menyertai terpilihnya para artis adalah sejauh mana mereka mampu berkontribusi di parlemen? Benarkah para artis ini terpilih semata mengandalkan modal popularitas sehingga kinerjanya tidak akan menonjol nantinya?
Tentu tidak fair anggapan yang menyatakan bahwa artis di parlemen sekadar jadi “pemanis” saja yang kerjanya datang, duduk, mendengarkan. Buktinya, terdapat beberapa nama artis yang selama ini kinerjanya cukup menonjol, terlihat menguasai isu-isu publik, bahkan dipercaya menjadi pimpinan komisi atau panitia khusus (pansus). Sebut di antaranya Dede Yusuf, ketua Komisi IX DPR periode 2014-2019, dan Rieke Diah Pitaloka yang pernah menjadi ketua Pansus Pelindo II.
Namun, jika ditelisik lebih dalam, memang banyak juga artis yang kinerjanya mengecewakan. Indikatornya sederhana, mereka tidak pernah terlihat tampil untuk mengawal isu-isu publik atau sekadar tampil mengambil bagian dalam sebuah diskursus yang menjadi perhatian publik. Jika tidak ingin dicap hanya bermodal tampang, anggota DPR dari kalangan artis seyogianya bisa menunjukkan bahwa mereka itu punya kapabilitas, kapasitas dam integritas sebagai wakil rakyat.
Tentu bukan semata salah si artis jika kontribusi yang diberikan selama ia menjabat anggota parlemen minim. Kesalahan utama tetap ada di partai politik (parpol). Mengapa? Sebab parpollah yang seharusnya melakukan pembinaan dan kaderisasi terhadap anggotanya. Kader partai tidak sekadar mampu menguasai isu-isu publik, namun juga bisa mengidentifikasi berbagai permasalahan dan merumuskan solusinya.
Namun sayang hal seperti itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Parpol memilih menempuh jalan pintas untuk memperoleh dampak elektoral. Salah satu caranya adalah merekrut artis sebagai calon anggota legislatif. Artis ini lalu dijadikan vote getter karena tingkat kepopulerannya yang sangat baik. Hampir semua parpol yang ikut kontestasi pemilu lalu menampilkan figur artis sebagai daya tarik. Uniknya, ini juga sejalan dengan kecenderungan pemilih yang memilih wakilnya karena faktor popularitas saja, bukan pada program kerja yang ditawarkan.
Sesungguhnya tidak menjadi persoalan jika artis dijadikan alat untuk mendulang suara. Namun, itu perlu diikuti dengan pembekalan atau bimbingan teknis setelah anggota DPR baru selesai dilantik. Pembekalan dan bimtek kepada kader sangat penting karena kerja yang menanti di DPR tidak ringan.
Menjadi anggota DPR tidak mudah karena harus mengerjakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Untuk menguasai tugas mendasar ini diperlukan keseriusan, kerja keras, dan waktu yang cukup lama. Maka dari itu, parpol bertanggung jawab untuk mengembangkan kualitas anggotanya yang artis melalui kaderisasi yang berkelanjutan.
Agar kiprahnya di parlemen tidak sekadar jadi "pemanis" artis perlu dibekali dengan nilai-nilai ideologi dan program-programnya partai sejak dini. Nilai-nilai ideologi yang terinternalisasi akan membuat figur artis menjadi kuat. Namun ini juga tidak mudah, karena sulit menemukan parpol yang melakukan proses kaderisasi secara baik. Maka caranya adalah menempuh jalan pintas dengan merekrut figur terkenal, terutama artis.
Kader partai berlatar belakang artis yang berkualitas sesungguhnya akan memberikan benefit yang besar buat partai itu sendiri. Jika artis ini cakap dalam mengemban tugas di DPR, maka dia akan mudah mendapatkan dukungan masyarakat karena sudah unggul popularitas.
Hasilnya akan kembali ke partai juga yakni meningkatnya kepercayan masyarakat dan bisa meraih suara sebanyak-banyaknya saat pemilu. Sebaliknya, jika figur artis ternyata tidak mampu menunjukkan kecakapannya maka yang didapatkan artis dan partainya adalah nilai negatif. Parpol dinilai hanya mengeksploitasi popularitas artis, sekadar dicalonkan hanya untuk mendulang suara.
Mulan melenggang ke Senayan dengan cara dramatis. Sebelumnya ia dinyatakan tidak terpilih. Namun, setelah ia mengajukan gugatan atas penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya meminta DPP Partai Gerindra menetapkan Mulan sebagai anggota DPR terpilih.
Mulan melengkapi deretan nama artis yang telah ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih dan akan mengemban amanah hingga lima tahun mendatang. Sebelumnya, 13 pesohor lebih dulu ditetapkan KPU sebagai anggota DPR. Mereka menjadi bagian dari 575 jumlah anggota DPR periode 2019-2024 yang akan dilantik pada Oktober mendatang.
Dari nama-nama yang lolos, terdapat selebritas yang namanya sudah sangat populer di masayarakat, di antaranya Rano Karno, Dessy Ratnasari, Primus Yustisio, Dede Yusuf Macan Effendi, Krisdayanti, Rieke Diah Pitaloka, dan Tommy Kurniawan. Jika dibandingkan dengan hasil pemilu legislatif lalu, jumlah artis yang masuk Senayan kali ini berkurang. Pada DPR periode 2014-2019 terdapat 17 anggota DPR yang berlatar belakang artis.
Pertanyaan yang selalu mucul menyertai terpilihnya para artis adalah sejauh mana mereka mampu berkontribusi di parlemen? Benarkah para artis ini terpilih semata mengandalkan modal popularitas sehingga kinerjanya tidak akan menonjol nantinya?
Tentu tidak fair anggapan yang menyatakan bahwa artis di parlemen sekadar jadi “pemanis” saja yang kerjanya datang, duduk, mendengarkan. Buktinya, terdapat beberapa nama artis yang selama ini kinerjanya cukup menonjol, terlihat menguasai isu-isu publik, bahkan dipercaya menjadi pimpinan komisi atau panitia khusus (pansus). Sebut di antaranya Dede Yusuf, ketua Komisi IX DPR periode 2014-2019, dan Rieke Diah Pitaloka yang pernah menjadi ketua Pansus Pelindo II.
Namun, jika ditelisik lebih dalam, memang banyak juga artis yang kinerjanya mengecewakan. Indikatornya sederhana, mereka tidak pernah terlihat tampil untuk mengawal isu-isu publik atau sekadar tampil mengambil bagian dalam sebuah diskursus yang menjadi perhatian publik. Jika tidak ingin dicap hanya bermodal tampang, anggota DPR dari kalangan artis seyogianya bisa menunjukkan bahwa mereka itu punya kapabilitas, kapasitas dam integritas sebagai wakil rakyat.
Tentu bukan semata salah si artis jika kontribusi yang diberikan selama ia menjabat anggota parlemen minim. Kesalahan utama tetap ada di partai politik (parpol). Mengapa? Sebab parpollah yang seharusnya melakukan pembinaan dan kaderisasi terhadap anggotanya. Kader partai tidak sekadar mampu menguasai isu-isu publik, namun juga bisa mengidentifikasi berbagai permasalahan dan merumuskan solusinya.
Namun sayang hal seperti itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Parpol memilih menempuh jalan pintas untuk memperoleh dampak elektoral. Salah satu caranya adalah merekrut artis sebagai calon anggota legislatif. Artis ini lalu dijadikan vote getter karena tingkat kepopulerannya yang sangat baik. Hampir semua parpol yang ikut kontestasi pemilu lalu menampilkan figur artis sebagai daya tarik. Uniknya, ini juga sejalan dengan kecenderungan pemilih yang memilih wakilnya karena faktor popularitas saja, bukan pada program kerja yang ditawarkan.
Sesungguhnya tidak menjadi persoalan jika artis dijadikan alat untuk mendulang suara. Namun, itu perlu diikuti dengan pembekalan atau bimbingan teknis setelah anggota DPR baru selesai dilantik. Pembekalan dan bimtek kepada kader sangat penting karena kerja yang menanti di DPR tidak ringan.
Menjadi anggota DPR tidak mudah karena harus mengerjakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Untuk menguasai tugas mendasar ini diperlukan keseriusan, kerja keras, dan waktu yang cukup lama. Maka dari itu, parpol bertanggung jawab untuk mengembangkan kualitas anggotanya yang artis melalui kaderisasi yang berkelanjutan.
Agar kiprahnya di parlemen tidak sekadar jadi "pemanis" artis perlu dibekali dengan nilai-nilai ideologi dan program-programnya partai sejak dini. Nilai-nilai ideologi yang terinternalisasi akan membuat figur artis menjadi kuat. Namun ini juga tidak mudah, karena sulit menemukan parpol yang melakukan proses kaderisasi secara baik. Maka caranya adalah menempuh jalan pintas dengan merekrut figur terkenal, terutama artis.
Kader partai berlatar belakang artis yang berkualitas sesungguhnya akan memberikan benefit yang besar buat partai itu sendiri. Jika artis ini cakap dalam mengemban tugas di DPR, maka dia akan mudah mendapatkan dukungan masyarakat karena sudah unggul popularitas.
Hasilnya akan kembali ke partai juga yakni meningkatnya kepercayan masyarakat dan bisa meraih suara sebanyak-banyaknya saat pemilu. Sebaliknya, jika figur artis ternyata tidak mampu menunjukkan kecakapannya maka yang didapatkan artis dan partainya adalah nilai negatif. Parpol dinilai hanya mengeksploitasi popularitas artis, sekadar dicalonkan hanya untuk mendulang suara.
(maf)