15 Poin Krusial dalam UU KPK Baru Hasil Revisi

Rabu, 25 September 2019 - 00:46 WIB
15 Poin Krusial dalam...
15 Poin Krusial dalam UU KPK Baru Hasil Revisi
A A A
JAKARTA - Rapat paripurna DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Selasa 17 September 2019. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, ada 15 poin krusial dalam revisi UU KPK yang dikhawatirkan memperlemah KPK dan pemberantasan korupsi.

Pertama, KPK tidak lagi lembaga negara Independen. Pasal 1 ayat (3), Pasal 3 UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.

"Penjelasan, Aturan ini bertabrakan dengan empat putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus, yakni tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011. Pada putusan tersebut menegaskan, KPK bukan bagian dari eksekutif, melainkan lembaga negara independen sebagaimana disebutkan Pasal 3 UU KPK sebelumnya," ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Selasa (24/9/2019).

Kedua, Pembentukan Dewan Pengawas. Pasal 21 Ayat (1) huruf a, Pasal 37 A UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas a) Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang. Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf a.

"Penjelasan: Konsep lembaga negara independen pada dasarnya tidak mengenal kelembagaan pengawas, namun yang dijadikan fokus adalah membangun sistem pengawasan. Jadi, secara konsep teori logika DPR dan pemerintah keliru. KPK sendiri selama ini telah diawasi oleh publik, dalam hal keuangan mekanisme audit dari Badan Pemeriksa Keuangan, kinerja melalui DPR dengan forum Rapat Dengar Pendapat, dan lembaga anti rasuah itu secara berkala melaporkan kinerja kepada Presiden. Khusus langkah penindakan, KPK bertanggung jawab pada institusi kekuasaan kehakiman," ujarnya.

Ketiga, Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas. Pasal 37 B Ayat (1) huruf b: Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

"Penjelasan: Kewenangan pro justicia seperti itu semestinya tidak diberikan pada organ khusus yang semestinya bekerja pada tataran pengawasan administratif. Sekalipun Dewan Pengawas tidak dibutuhkan KPK saat ini, namun dengan kewenangan besar seperti itu terlihat pembentuk UU tidak memahami bahwa dalam regulasi KUHAP hanya institusi Pengadilan yang berwenang mengeluarkan izin. Sedangkan Dewan Pengawas sendiri bukan bagian dari penegak hukum," katanya.

Keempat, Dewan Pengawas Campur Tangan Eksekutif. Pasal 37 E Ayat (1): Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.

"Penjelasan: Pengangkatan Dewan Pengawas yang dilakukan oleh Presiden dikhawatirkan melunturkan sikap independensi penegakan hukum di KPK. Sebab, kewenangan yang diperoleh oleh Dewan Pengawas amat besar, hingga pada izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan," katanya.

Kelima, KPK Tidak Bisa Membuka Kantor Perwakilan. Pasal 19 Ayat (1): Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

"Penjelasan: Pasal ini jelas menghilangkan kewenangan KPK untuk membuka kantor perwakilan di daerah provinsi sebagaimana diatur pada Pasal 19 Ayat (2) UU KPK sebelumnya. Mengingat maraknya kejahatan korupsi pada tingkat provinsi ataupun level kota harusnya opsi KPK dapat membuka kantor perwakilan tetap dimasukkan," imbuhnya.

Keenam, Kaum Muda Tidak Bisa Menjadi Pimpinan KPK. Pasal 29 huruf e: Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.

"Penjelasan: Tidak ada argumentasi logis yang membenarkan Pasal ini. Sebab dalam aturan sebelumnya Pimpinan KPK dapat berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun. Tentu ini akan berdampak akan hilangnya kesempatan kaum muda yang ingin mendaftar sebagai Pimpinan KPK," tuturnya.

Ketujuh, KPK Dapat Menghentikan Penanganan Perkara. Pasal 40 Ayat (1): Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

"Penjelasan: Dengan adanya Pasal ini mengartikan bahwa KPK sewaktu-waktu dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tentu poin ini akan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010 yang secara tegas melarang KPK untuk mengeluarkan SP3. Ini semata-mata agar KPK lebih berhati-hati sebelum menentukan sebuah perkara masuk pada ranah penyidikan. Jika pun setelah masuk ranah penyidikan namun bukti yang ditemukan dinyatakan tidak cukup maka perintah putusan MK perkara itu tetap harus dilimpahkan ke persidangan dan terdakwa harus dituntut lepas atau bebas," ungkapnya.

Kedelapan, Perkara Besar Dengan Tingkat Kerumitan Tertentu Berpotensi Dihentikan. Pasal 40 Ayat (1): Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

"Penjelasan: Dengan adanya batasan waktu penyidikan ataupun penuntutan hanya 2 (dua) tahun maka akan menyulitkan KPK membongkar kasus-kasus besar yang tergolong rumit dibuktikan. Contoh, perkara korupsi KTP-EL saja memakan waktu 2 tahun untuk memperoleh penghitungan kerugian negara. Lagi pun pada dasarnya setiap perkara memiliki kerumitan pengungkapan yang berbeda-beda, jadi tidak tepat jika harus dibatasi waktu tertentu," tukasnya.

Kesembilan, Menggerus Kewenangan Pimpinan KPK. Pasal 21 Ayat (4) sebagaimana diatur dalam UU KPK sebelumnya dihapus. Isinya: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah penyidik dan penuntut umum.

"Penjelasan: Penghilangan status penyidik dan penuntut pada Pimpinan KPK berakibat serius, karena Pimpinan KPK dapat dikatakan hanya menjalankan fungsi administrative saja, tidak bisa masuk lebih jauh dalam penindakan. Jadi, ke depan Pimpinan KPK tidak bisa memberikan izin penyadapan, penggeledahan, maupun tindakan pro justicia lainnya," paparnya.

Kesepuluh, Pegawai KPK Akan Berstatus Sebagai Aparatur Sipil Negara. Pasal 1 angka 6, Pasal 24 Ayat (2): Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.

"Penjelasan: Selama ini tidak seluruh pegawai KPK termasuk dalam Aparatur Sipil Negara. Sebab terdapat pegawai tetap KPK dan pegawai tidak tetap. Tentu atas kondisi seperti ini diperlukan penyesuaian kondisi yang cukup panjang. Selain itu poin pentingnya adalah dalam konsep lembaga negara independen salah satu cirinya adalah kemandirian dalam sumber daya manusia. Tentu jika disamakan status kepegawaian akan menghilangkan status lembaga negara independen," imbuhnya.

Kesebelas, Hilangnya Independensi KPK Dalam Perekrutan Penyelidik. Pasal 43, Pasal 43 A: Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi; Persyaratan menjadi Penyelidik diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan Kepolisian dan/atau Kejaksaan.

"Penjelasan: Dengan adanya aturan ini menghilangkan independensi KPK dalam pengelolaan sumber daya manusia. Sebab, meskipun dibuka kesempatan dari instansi pemerintah lainnya dan/atau internal KPK namun dalam ayat selanjutnya mengharuskan adanya kerjasama dengan Kepolisian dan/atau Kejaksaan dalam memenuhi persyaratan tertentu untuk menjadi penyelidik," ujarnya.

Keduabelas, Menghilangkan Kewenangan KPK Mengangkat Penyidik Independen. Pasal 45, Pasal 45 A: Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dan penyeleidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Penjelasan: Aturan ini menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016 yang telah memberikan kewenangan pada KPK untuk merekrut penyidik di luar dari institusi Kepolisian ataupun Kejaksaan. Secara spesifik MK menyebutkan bahwa praktik merekrut penyidik independen merupakan sebuah keniscayaan karena hal yang sama juga dilakukan oleh ICAC Hongkong dan CPIB Singapura. Lain hal dari itu penting untuk mencegah adanya loyalitas ganda ketika penyidik yang berasal dari insitusi lain bekerja di KPK," tuturnya.

Ketigabelas, Kewenangan Penyadapan KPK Terganggu. Pasal 37 B ayat (1) huruf b, Pasal 12 ayat (1): Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan; Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.

"Penjelasan: Instrumen penyadapan merupakan salah satu alat bagi KPK untuk membongkar praktik kejahatan korupsi, utamanya pada tangkap tangan selama ini. Data KPK menyebutkan bahwa sejauh ini KPK telah melakukan tangkap tangan sebanyak 123 kali dengan jumlah tersangka 432 orang. Poin pentingnya, sejak KPK berdiri hingga saat ini belum ada satupun terdakwa yang pada awalnya terjaring tangkap tangan divonis bebas oleh Pengadilan. Ini mengartikan bukti yang dihadirkan KPK ke persidangan telah teruji secara hukum. Selain itu aturan ini terlalu birokratis, karena menambah jenjang baru pemberian izin sadap, yakni Dewan Pengawas," katanya.

Keempatbelas, Penuntutan KPK Harus Berkoordinasi Dengan Kejaksaan Agung. Pasal 12 A: Dalam melaksanakan tugas penuntutan, penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

"Penjelasan: Jika ditelisik lebih jauh ketentuan ini maka institusi yang dimaksud untuk melaksanakan koordinasi bersama dengan KPK adalah Kejaksaan. KPK pada dasarnya adalah institusi penegak hukum yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap. Tentu jika harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kejaksaan dipastikan mengganggu ritme kerja KPK yang selama ini dikenal cepat dalam penuntasan sebuah perkara," imbuhnya.

Kelimabelas, Hilangnya Kewenangan KPK Pada Tingkat Penyelidikan dan Penuntutan. Pasal 12 ayat (2): Dalam melaksanakan tugas penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri, b. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa,
c. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait,
d. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa,
e. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri
f. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

"Penjelasan: Perubahan ini tentu akan berdampak buruk bagi penegakan hukum di KPK. Bagaimanapun dalam undang-undang sebelumnya dengan kewenangan KPK yang luas pada tingkat penyelidikan sampai pada penuntutan terbukti mempermudah dan memaksimalkan kerja KPK dalam hal pengumpulan barang bukti yang nanti muaranya ada pada melancarkan proses penanganan perkara tersebut dan pembuktian kesalahan terdakwa di muka persidangan," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1187 seconds (0.1#10.140)