Dirjen Pemasyarakatan: Syarat Cuti Bersyarat Sangat Ketat
A
A
A
JAKARTA - Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami menilai pemberitaan mengenai cuti bersyarat (CB) bagi Warga Binaan Pemasyarakatan cenderung bias.
Menurut Utami, cuti bersyarat adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak didik pemasyarakan ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. “Jadi ada persyaratan yang ketat,” kata Utami.
Utami menyebut, syarat cuti bersyarat di antaranya masa pidana paling lama 1 tahun 6 bulan, telah menjalani dua pertiga masa pidana, berkelakuan baik selama enam bulan terakhir bagi pidana umum dan sembilan bulan bagi narapidana terorisme,narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganiasasi lainnya, serta membayar lunas denda dan atau uang pengganti bagi koruptor.
“Cuti bersyarat itu paling lama diberikan enam bulan dan melengkapi 10 dokumen. Jadi apabila ada yang berpikir begitu mudahnya mendapatkan cuti bersyarat, bahkan tanpa seleksi, ya tidak begitu,” kata dia.
Menurut Utami, pemberian cuti bersyarat didasarkan asas keadilan yang menjadi landasan hukum berbagai perundang-undangan di Indonesia. Undang-Undang 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan misalnya, mencantumkan berbagai hak yang dapat diperoleh narapidana selama berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
“Ada beberapa hak yang dapat diperoleh narapidana, khususnya terkait kesempatan narapidana untuk meninggalkan Lapas seperti cuti bersyarat. Sebelum tercantum di dalam Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU Pas), semua itu sudah ada dalam aturan yang masih berlaku sampai saat ini,” kata dia.
Mengutip Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018, menurut Utami di dalamnya disebutkan bahwa cuti bersyarat merupakan program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
“Kalau boleh saya bacakan, dalam Permen Kumham RI no 03/2018 itu ditegaskan, pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat dilakukan untuk memberikan motivasi dan kesempatan kepada narapidana dan anak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial, pendidikan, keterampilan guna mempersiapkan diri di tengah masyarakat serta mendorong peran serta masyarakat untuk secara aktif ikut serta mendukung penyelenggaraan sistem pemasyarakatan,” kata Utami.
Berkaitan dengan maraknya pemberitaan mengenai cuti bersyarat saat ini, Utami melihat adanya bias. “Masa cuti bersyarat itu memang dijalani di luar Lapas, bukan justru artinya bisa keluar masuk Lapas. Tidak semua narapidana bisa mendapatkan cuti bersyarat,” kata dia.
Alhasil, karena cuti bersyarat pun masih merupakan masa proses pembinaan, sebenarnya narapidana yang sedang menjalani cuti bersyarat tak hanya bisa jalan-jalan ke mal, diapun bisa menjalankan aktivitas laiknya warga masyarakat lainnya. Bedanya, secara teratur dia diwajibkan melapor kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang ditunjuk.
“Jadi tidak serta merta narapidana bebas melakukan apa saja di luar Lapas asalkan didampingi petugas. Tidak seperti itu,” kata dia.
Mereka yang terseleksi mendapatkan cuti bersyarat, akan menjalankan cuti bersyarat itu di luar lapas. Mereka dapat hidup normal di masyarakat, dengan ketentuan tidak boleh melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat dan mengulangi tindak pidana. “Apabila sampai terjadi, cuti bersyarat akan dicabut, “ kata Dirjen Utami.
Karena baik cuti bersyarat ataupun jenis-jenis pembinaan lain seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas, dan sebagainya itu sudah berjalan lama dengan aturan sebelumnya, Utami justru heran mengapa hal tersebut menjadi persoalan seiring pembahasan RUU Pemasyarakatan.
”Padahal, RUU Pemasyarakatan yang sedang digodok untuk disahkan itu cenderung memiliki landasan pemikiran yang lebih berkeadilan, lebih manusiawi, lebih ramah HAM dan lebih modern,” kata dia.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu juga menegaskan pembatasan hak narapidana koruptor hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan dan ketentuan undang-undang.
“Jadi, pembatasan hak itu tidak boleh di bawah perundang-undangan, pembatasan hak hanya boleh berdasarkan undang-undang atau putusan pengadilan," ujar Masinton, beberapa waktu lalu.
Menurut Masinton, pertimbangan pemberian pembebasan bersyarat, remisi maupun hak lainnya, bergantung pada putusan pengadilan serta seiring waktu, penilaian dari Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Mekanisme seperti itu, kata Masinton, telah diterapkan di banyak negara.
Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik mengatakan, dengan berlakunya kembali PP Nomor 32 tahun 1999, maka pemberian pembebasan syarat tergantung pada vonis hakim pengadilan.
Selain itu, pemberian pembebasan bersyarat mengacu pada penilaian Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham. Menurut Erma hal itu sejalan dengan asas hukum pidana dalam konteks pembatasan hak. "Penerima remisi, cuti bersyarat dan lain sebagainya itu teman-teman di Pemasyarakatan yang akan menilai," kata Erma.
Menurut Utami, cuti bersyarat adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak didik pemasyarakan ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. “Jadi ada persyaratan yang ketat,” kata Utami.
Utami menyebut, syarat cuti bersyarat di antaranya masa pidana paling lama 1 tahun 6 bulan, telah menjalani dua pertiga masa pidana, berkelakuan baik selama enam bulan terakhir bagi pidana umum dan sembilan bulan bagi narapidana terorisme,narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganiasasi lainnya, serta membayar lunas denda dan atau uang pengganti bagi koruptor.
“Cuti bersyarat itu paling lama diberikan enam bulan dan melengkapi 10 dokumen. Jadi apabila ada yang berpikir begitu mudahnya mendapatkan cuti bersyarat, bahkan tanpa seleksi, ya tidak begitu,” kata dia.
Menurut Utami, pemberian cuti bersyarat didasarkan asas keadilan yang menjadi landasan hukum berbagai perundang-undangan di Indonesia. Undang-Undang 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan misalnya, mencantumkan berbagai hak yang dapat diperoleh narapidana selama berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
“Ada beberapa hak yang dapat diperoleh narapidana, khususnya terkait kesempatan narapidana untuk meninggalkan Lapas seperti cuti bersyarat. Sebelum tercantum di dalam Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU Pas), semua itu sudah ada dalam aturan yang masih berlaku sampai saat ini,” kata dia.
Mengutip Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018, menurut Utami di dalamnya disebutkan bahwa cuti bersyarat merupakan program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
“Kalau boleh saya bacakan, dalam Permen Kumham RI no 03/2018 itu ditegaskan, pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat dilakukan untuk memberikan motivasi dan kesempatan kepada narapidana dan anak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial, pendidikan, keterampilan guna mempersiapkan diri di tengah masyarakat serta mendorong peran serta masyarakat untuk secara aktif ikut serta mendukung penyelenggaraan sistem pemasyarakatan,” kata Utami.
Berkaitan dengan maraknya pemberitaan mengenai cuti bersyarat saat ini, Utami melihat adanya bias. “Masa cuti bersyarat itu memang dijalani di luar Lapas, bukan justru artinya bisa keluar masuk Lapas. Tidak semua narapidana bisa mendapatkan cuti bersyarat,” kata dia.
Alhasil, karena cuti bersyarat pun masih merupakan masa proses pembinaan, sebenarnya narapidana yang sedang menjalani cuti bersyarat tak hanya bisa jalan-jalan ke mal, diapun bisa menjalankan aktivitas laiknya warga masyarakat lainnya. Bedanya, secara teratur dia diwajibkan melapor kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang ditunjuk.
“Jadi tidak serta merta narapidana bebas melakukan apa saja di luar Lapas asalkan didampingi petugas. Tidak seperti itu,” kata dia.
Mereka yang terseleksi mendapatkan cuti bersyarat, akan menjalankan cuti bersyarat itu di luar lapas. Mereka dapat hidup normal di masyarakat, dengan ketentuan tidak boleh melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat dan mengulangi tindak pidana. “Apabila sampai terjadi, cuti bersyarat akan dicabut, “ kata Dirjen Utami.
Karena baik cuti bersyarat ataupun jenis-jenis pembinaan lain seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas, dan sebagainya itu sudah berjalan lama dengan aturan sebelumnya, Utami justru heran mengapa hal tersebut menjadi persoalan seiring pembahasan RUU Pemasyarakatan.
”Padahal, RUU Pemasyarakatan yang sedang digodok untuk disahkan itu cenderung memiliki landasan pemikiran yang lebih berkeadilan, lebih manusiawi, lebih ramah HAM dan lebih modern,” kata dia.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu juga menegaskan pembatasan hak narapidana koruptor hanya dapat dilakukan melalui putusan pengadilan dan ketentuan undang-undang.
“Jadi, pembatasan hak itu tidak boleh di bawah perundang-undangan, pembatasan hak hanya boleh berdasarkan undang-undang atau putusan pengadilan," ujar Masinton, beberapa waktu lalu.
Menurut Masinton, pertimbangan pemberian pembebasan bersyarat, remisi maupun hak lainnya, bergantung pada putusan pengadilan serta seiring waktu, penilaian dari Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Mekanisme seperti itu, kata Masinton, telah diterapkan di banyak negara.
Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik mengatakan, dengan berlakunya kembali PP Nomor 32 tahun 1999, maka pemberian pembebasan syarat tergantung pada vonis hakim pengadilan.
Selain itu, pemberian pembebasan bersyarat mengacu pada penilaian Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham. Menurut Erma hal itu sejalan dengan asas hukum pidana dalam konteks pembatasan hak. "Penerima remisi, cuti bersyarat dan lain sebagainya itu teman-teman di Pemasyarakatan yang akan menilai," kata Erma.
(cip)