Uang Muka Turun, Properti Bergairah?

Selasa, 24 September 2019 - 07:04 WIB
Uang Muka Turun, Properti Bergairah?
Uang Muka Turun, Properti Bergairah?
A A A
LEWAT skema loan to value (LTV), Bank Indonesia (BI) menurunkan uang muka (down payment) properti dan kendaraan bermotor. Dampak dari kebijakan yang merelaksasi kredit properti dan kendaraan bermotor menjadikan uang muka lebih ringan. Regulasi yang mulai berlaku efektif pada 2 Desember mendatang memungkinkan penurunan uang muka properti sekitar 5% dan kendaraan bermotor sebesar 5% hingga 10%. Bank sentral menerbitkan kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya mendorong momentum pertumbuhan ekonomi nasional.Penurunan uang muka khususnya sektor properti bagi pihak perbankan ibarat mendapat angin segar. Mengecilnya uang muka diyakini akan mendongkrak pertumbuhan pasar properti yang masih "melandai" dalam beberapa tahun terakhir. Apabila pasar properti kembali bergairah, sektor lain pun ikut berkembang. Pasalnya, sektor properti terhubung dengan 170 industri lainnya, dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi untuk tahun depan yang diproyeksi oleh bank sentral mencapai 5,1% hingga 5,5%. Kebijakan tersebut diyakini berpengaruh positif baik pada pembeli rumah pertama, tetapi juga kalangan investment buyers karena bisa lebih mudah membeli properti sebagai portofolio investasi.
Meski kebijakan tersebut direspons positif baik dari masyarakat maupun kalangan perbankan, namun masih disayangkan karena tidak disertai penurunan suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan, padahal suku bunga acuan BI terus melandai hingga bertengger di level 5,25%. Pasalnya, uang muka yang mengecil tanpa diiringi penurunan SBDK justru cicilan masyarakat baik pembeli properti maupun kendaraan bermotor akan lebih besar pada jangka waktu (tenor) yang sama. Mengutip data Mortgage Interest Rate Percentages di Asia, bunga KPR di Indonesia tergolong tinggi dengan rata-rata sebesar 12%. Bandingkan dengan India pada level 9,45%, lalu Vietnam sebesar 8,85%, Thailand sekitar 5,72%, selanjutnya Malaysia sebesar 4,53%, dan Singapura hanya 2,5%.
Idealnya, penurunan uang muka sektor properti seharusnya diikuti penurunan suku bunga kredit perbankan. Meski uang muka mengecil, namun tidak serta-merta memacu pertumbuhan kredit secara umum. Karena itu, kebijakan penurunan uang muka hanya akan melonggarkan pembelian secara kredit, tetapi tidak meningkatkan daya beli masyarakat. Berdasarkan analisis uang beredar yang dipublikasi bank sentral ternyata pertumbuhan kredit properti mengalami pelambatan per Juli 2019. Pertumbuhan kredit properti hanya 15,9% (year on year/ yoy). Hal itu disebabkan pelambatan pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) yang hanya pada level 12,3% (yoy).
Suara sumbang di balik kebijakan penurunan uang muka untuk sektor properti dan kendaraan bermotor juga santer terdengar. Kebijakan tersebut dinilai bisa menumbuhkan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perbankan. Dasar hitungannya sederhana bahwa harga jual produk properti dan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat tidak mengalami penurunan. Pada intinya hanya memudahkan masyarakat untuk membeli dengan uang muka yang lebih kecil. Namun, itu ditepis keras oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Sepanjang prudensialnya masih jalan, menurut pria yang pernah menjabat gubernur BI itu, tidak perlu terlalu khawatir terhadap peningkatan NPL.
Selain itu, Darmin meyakini pihak perbankan punya instrumen dalam menangkal NPL yang tinggi. Pasalnya, setiap pemberian kredit pihak perbankan telah memberlakukan persyaratan yang terukur dan teruji sehingga mengetahui sisi kemampuan membayar oleh setiap nasabah yang diberi pinjaman. Karena itu, Darmin yang pernah menjadi orang pertama di lembaga penarik pajak tetap optimistis bahwa pelonggaran uang muka baik sektor properti maupun kendaraan bermotor dapat mendorong daya beli masyarakat yang lebih tinggi.
Walau menimbulkan sejumlah respons yang mempertanyakan efektivitas kebijakan penurunan uang muka sektor properti dan kendaraan bermotor, namun tetap harus dilihat sisi positif kebijakan bank sentral. Setidaknya, langkah tersebut sebagai bentuk antisipasi perlambatan ekonomi dunia dan guna menggenjot permintaan kredit. Akibat ketidakpastian perekonomian global, pertumbuhan perdagangan internasional diprediksi hanya 2,5% pada tahun ini dan tahun depan atau terendah setelah krisis ekonomi yang terjadi pada 2008. Kita berharap kebijakan penurunan uang muka itu bisa diiringi penurunan bunga kredit seiring dengan bunga acuan bank sentral yang terus mengecil dalam tiga bulan ini.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9404 seconds (0.1#10.140)