DPR: Penolakan Muhammadiyah Soal RUU Pesantren Bukan Faktor Dana Abadi
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR, Ali Taher mengakui penolakan Ormas Muhammadiyah terkait pembahasan Rancangan Undang-undang Pesantren yang disepakati pemerintah dan DPR lebih kepada masalah definisi.
Kata Ali, Muhammadiyah menginginkan agar peran serta masyarakat dalam Pesantren terintegrasi dengan pendidikan umum.
"Nah itu yang menjadi kornya Muhammadiyah, persis, perti dan lain sebagainya punya boarding. Kalo nggak punya boarding kan bukan pesantren namanya, kan begitu. Maka kita harus mewujudkan bahwa pesantren betul-betul memiliki ciri khas itu. Nah ciri khas itulah yang memerlukan akomodasi di dalam UU," kata Ali di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Diketahui, Ormas Muhammadiyah berseberangan dengan NU menyikapi RUU Pesantren. Muhammadiyah meminta RUU itu ditinjau ulang, sementara NU meminta segera disahkan menjadi UU.
Dalam hal ini, Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan bahwa penolakan Muhammadiyah terkait dengan keberadaan dana abadi dari pemerintah.
Ali menjelaskan, dana abadi sebenarnya sudah tersebar di kementerian/lembaga untuk program pemberdayaan, pengembangan ekonomi masyarakat. Hanya saja di kontek UU Pesantren lebih dikhususkan lagi.
Dengan demikian, kata Ali, dalam RUU itu membaginya dalam pasal 5 yakni pesantren itu harus memiliki 3 unsur penting. Pertama pesantren menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengajian kitab kuning. Kedua pesantren menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk dirasat islamiyah dengan pola pendidikan muallimin. Seperti Gontor.
"Yang ketiga pesantren menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum," pungkasnya.
Kata Ali, Muhammadiyah menginginkan agar peran serta masyarakat dalam Pesantren terintegrasi dengan pendidikan umum.
"Nah itu yang menjadi kornya Muhammadiyah, persis, perti dan lain sebagainya punya boarding. Kalo nggak punya boarding kan bukan pesantren namanya, kan begitu. Maka kita harus mewujudkan bahwa pesantren betul-betul memiliki ciri khas itu. Nah ciri khas itulah yang memerlukan akomodasi di dalam UU," kata Ali di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Diketahui, Ormas Muhammadiyah berseberangan dengan NU menyikapi RUU Pesantren. Muhammadiyah meminta RUU itu ditinjau ulang, sementara NU meminta segera disahkan menjadi UU.
Dalam hal ini, Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menegaskan bahwa penolakan Muhammadiyah terkait dengan keberadaan dana abadi dari pemerintah.
Ali menjelaskan, dana abadi sebenarnya sudah tersebar di kementerian/lembaga untuk program pemberdayaan, pengembangan ekonomi masyarakat. Hanya saja di kontek UU Pesantren lebih dikhususkan lagi.
Dengan demikian, kata Ali, dalam RUU itu membaginya dalam pasal 5 yakni pesantren itu harus memiliki 3 unsur penting. Pertama pesantren menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengajian kitab kuning. Kedua pesantren menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk dirasat islamiyah dengan pola pendidikan muallimin. Seperti Gontor.
"Yang ketiga pesantren menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum," pungkasnya.
(pur)