Kebut Selesaikan Sejumlah UU, DPR seperti Balap Liar
A
A
A
JAKARTA - Dikebutnya pengesahan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh DPR dan pemerintah jelang berakhirnya masa kerja DPR dan pemerintah periode 2014-2019 menimbulkan polemik di masyarakat.
Pasalnya, UU yang dihasilkan tidak berkualitas bahkan bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan Forum Masyarkat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, bahwa apa yang dilakukan DPR dan pemerintah itu ibarat aksi 'balapan liar'.
"Pembahasan RUU yang ngebut oleh DPR bersama pemerintah menjelang akhir periode ini ibarat aksi balapan liar," kata Manajer Riset Formappi Lucius Karus saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Minggu (22/9/2019).
"Semua seperti tak terkendali, bahkan sebagai pembalap liar faktor kenyamanan dan penerimaan orang-orang di sekitar juga sama sekali diabaikan," sambungnya.
Menurut Lucius, gerak cepat DPR membahas RUU itu seharusnya menjadi sesuatu yang berjalan stabil sejak awal periode. Sejak awal, DPR dan pemerintah telah melakukan perencanaan legislasi yang rapi bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas) baik daftar panjang maupun prioritas, namun Prolegnas yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah itu dibiarkan sebagai pajangan saja.
"Prolegnas hanya buat gagah-gagahan saja. Biar dikira DPR akan punya banyak agenda, faktanya dari 189 RUU yang masuk Prolegnas, baru 29 di antaranya yang berhasil disahkan," tukasnya.
Lucius berujar, setiap tahunnya hasil evaluasi DPR terkait legislasi ini memang selalu minim, sangat jauh dari jumlah prolegnas prioritas yang sudah ditetapkan setiap tahunnya.
Kata dia, DPR selalu merasa bahwa minim legislasi itu tidak ada yang salah karena, mereka beralasan bahwa DPR selalu mementingkan kualitas ketimbang kuantitas.
"Pembelaan soal kualitas itu kini mulai dipertanyakan menjelang berakhirnya periode. Jika benar DPR mementingkan kualitas, apakah RUU-RUU Prolegnas yang sudah disahkan sampai sekarang benar-benar berkualitas? Saya teramat sangat meragukan itu," tuturnya.
Lebih dari itu, Lucius mencantumkan sejumlah RUU yang diragukan kualitasnya. Seperti misalnya UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang sudah 3 kali direvisi oleh DPR periode sekarang, itu sama saja dengan mereka mengoreksi hasil pekerjaannya sendiri berulang kali.
Perubahan kedua UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dilakukan kurang dari dua pekan dan menuai banyak protes dari berbagai kalangan.
Kemudian lanjut dia, hal yang sama sekarang terjadi dengan RUU KUHP dan RUU perubahan kedua UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sikap DPR yang ingin mengesahkan RUU tersebut ditengah protes publik sungguh sulit dipahami karena RUU-RUU yang akan disahkan itu nantinya akan berlaku untuk semua warga negara Indonesia.
"RUU yang mengabaikan rakyat jelas tak berkualitas dan rendah legitimasinya. DPR dan Pemerintah kelihatan otoriter dan sewenang-wenang jika memaksakan pengesahan walaupun banyak isu bermasalah di dalamnya," tegas Lucius.
Pasalnya, UU yang dihasilkan tidak berkualitas bahkan bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan Forum Masyarkat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, bahwa apa yang dilakukan DPR dan pemerintah itu ibarat aksi 'balapan liar'.
"Pembahasan RUU yang ngebut oleh DPR bersama pemerintah menjelang akhir periode ini ibarat aksi balapan liar," kata Manajer Riset Formappi Lucius Karus saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Minggu (22/9/2019).
"Semua seperti tak terkendali, bahkan sebagai pembalap liar faktor kenyamanan dan penerimaan orang-orang di sekitar juga sama sekali diabaikan," sambungnya.
Menurut Lucius, gerak cepat DPR membahas RUU itu seharusnya menjadi sesuatu yang berjalan stabil sejak awal periode. Sejak awal, DPR dan pemerintah telah melakukan perencanaan legislasi yang rapi bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas) baik daftar panjang maupun prioritas, namun Prolegnas yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah itu dibiarkan sebagai pajangan saja.
"Prolegnas hanya buat gagah-gagahan saja. Biar dikira DPR akan punya banyak agenda, faktanya dari 189 RUU yang masuk Prolegnas, baru 29 di antaranya yang berhasil disahkan," tukasnya.
Lucius berujar, setiap tahunnya hasil evaluasi DPR terkait legislasi ini memang selalu minim, sangat jauh dari jumlah prolegnas prioritas yang sudah ditetapkan setiap tahunnya.
Kata dia, DPR selalu merasa bahwa minim legislasi itu tidak ada yang salah karena, mereka beralasan bahwa DPR selalu mementingkan kualitas ketimbang kuantitas.
"Pembelaan soal kualitas itu kini mulai dipertanyakan menjelang berakhirnya periode. Jika benar DPR mementingkan kualitas, apakah RUU-RUU Prolegnas yang sudah disahkan sampai sekarang benar-benar berkualitas? Saya teramat sangat meragukan itu," tuturnya.
Lebih dari itu, Lucius mencantumkan sejumlah RUU yang diragukan kualitasnya. Seperti misalnya UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang sudah 3 kali direvisi oleh DPR periode sekarang, itu sama saja dengan mereka mengoreksi hasil pekerjaannya sendiri berulang kali.
Perubahan kedua UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dilakukan kurang dari dua pekan dan menuai banyak protes dari berbagai kalangan.
Kemudian lanjut dia, hal yang sama sekarang terjadi dengan RUU KUHP dan RUU perubahan kedua UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sikap DPR yang ingin mengesahkan RUU tersebut ditengah protes publik sungguh sulit dipahami karena RUU-RUU yang akan disahkan itu nantinya akan berlaku untuk semua warga negara Indonesia.
"RUU yang mengabaikan rakyat jelas tak berkualitas dan rendah legitimasinya. DPR dan Pemerintah kelihatan otoriter dan sewenang-wenang jika memaksakan pengesahan walaupun banyak isu bermasalah di dalamnya," tegas Lucius.
(maf)