Jangan Diamkan Temuan BPK
A
A
A
Permasalahan di balik pengelolaan negeri ini ternyata jumlahnya tidak kecil. Merujuk pada laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Pertama 2019 yang dipublikasikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat 14.965 permasalahan dengan potensi kerugian negara hingga Rp10,35 triliun.
Permasalahan yang dipaparkan BPK meliputi kelemahan sistem pengendalian internal lembaga sebanyak 7.236, ketidakpatuhan terhadap undang-undang sebanyak 7.636, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektivan sebanyak 93. Selain itu, 2.798 permasalahan yang berdampak pada penyimpangan administrasi. Adapun IHPS Pertama 2019 meliputi ringkasan dari 692 laporan hasil pemeriksaan (LHP), terdiri atas 651 LHP keuangan, 4 LHP kinerja, dan 37 LHP dengan tujuan tertentu.
Sejumlah temuan BPK pada IHPS Pertama 2019 telah disampaikan ke DPR RI dan pemerintah, di antaranya pengelolaan belanja subsidi oleh pemerintah belum sesuai ketentuan. Pemborosan di tubuh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait pengelolaan subsidi pelayanan publik.Penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran LPG oleh PT Pertamina belum efektif. Dan, penggelembungan dana perjalanan dinas pada sejumlah kementerian dan lembaga. Terkait pengelolaan belanja subsidi, BPK telah memeriksa laporan keuangan (LK) Bendahara Umum Negara (BUN) 2018 menyangkut pengeluaran pemerintah dalam belanja subsidi, sekaligus memeriksa tiga Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) kementerian.
Hasilnya, BPK membeberkan empat temuan dengan sembilan permasalahan. Namun, permasalahan yang perlu dicermati terutama yang terjadi pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), Kementerian Pertanian, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).Selaku pengguna Sistem Informasi Kredit Program (SIKP), Kementerian KUKM belum memiliki mekanisme validasi yang memastikan data calon debitur. Belum memiliki basis data UMKM terkait penyaluran kredit usaha rakyat (KUR). Akibatnya, penerima subsidi bunga KUR sulit diyakini keakuratannya.
Sementara itu, permasalahan pada Kementerian Pertanian, sebagaimana dibeberkan BPK, belum dapat diidentifikasi terperinci sasaran penyaluran pupuk bersubsidi. Akibatnya, alokasi volume kebutuhan pupuk bersubsidi tidak bisa dipakai sebagai sarana pengendalian penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani.Lalu, permasalahan pada Kementerian PUPR terkait dengan belanja subsidi bunga kredit perumahan dan belanja subsidi bantuan uang muka perumahan, di mana basis data profil nasabah dan laporan pertanggungjawaban penyaluran subsidi dan pengendalian oleh KPA belum efektif. Akibatnya, realisasi belanja subsidi bunga kredit perumahan dan bantuan uang muka berisiko tidak akurat.
Selain itu, "pedang" BPK juga membedah kinerja dua badan usaha milik negara (BUMN), yakni PLN dan Pertamina. Pihak BPK menemukan pemborosan pada PLN sebesar Rp275,19 miliar terkait pengelolaan subsidi pelayanan publik. Pemborosan terjadi pada Specific Fuel Consumption (SFC) Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Mobile Power Plant (MPP) Batam, karena dioperasikan dengan bahan bakar high speed diesel .Dan anak perusahaan PLN, yakni PT Indonesia Power, menanggung dampak take or pay sebesar Rp36,97 miliar serta pemborosan lainnya mencapai Rp39,53 miliar. Lalu, Pertamina disorot seputar penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran LPG yang belum efektif.
Selanjutnya, IHPS Pertama 2019 juga membeberkan penggelembungan dana perjalanan dinas pada sejumlah kementerian dan lembaga. BPK mendapatkan data biaya perjalanan dinas ganda atau tidak sesuai ketentuan pada 41 kementerian dan lembaga senilai Rp25,43 miliar.Dalam laporan BPK jelas disebutkan pembayaran perjalanan dinas ganda terjadi pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sebesar Rp4,91 miliar, belanja perjalanan dinas berindikasi tidak riil Rp993,56 juta, dan belanja perjalanan dinas luar negeri sebesar tidak sesuai aturan sebesar Rp184,03 juta.Kelebihan biaya perjalanan dinas KPU dan Kementerian Pertahanan, masing-masing Rp3,06 miliar dan Rp2,17 miliar. Penyalahgunaan dana perjalanan dinas sudah menjadi persoalan klasik sebab sumber anggaran ini memang paling mudah diutak-atik. Namun, paling gampang diklarifikasi terkait pengauditan.
Menyikapi laporan IHPS Pertama 2019, pemerintah atau kementerian dan lembaga yang dinilai bermasalah tidak perlu reaktif yang berlebihan dalam merespons. Terpenting adalah bagaimana menindaklanjuti laporan itu sebab temuan BPK akan efektif dan berdaya guna apabila ditindaklanjuti pada entitas yang diperiksa atau diduga bermasalah, untuk mewujudkan tata kelola keuangan negara yang transparan dan akuntabel.
Permasalahan yang dipaparkan BPK meliputi kelemahan sistem pengendalian internal lembaga sebanyak 7.236, ketidakpatuhan terhadap undang-undang sebanyak 7.636, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektivan sebanyak 93. Selain itu, 2.798 permasalahan yang berdampak pada penyimpangan administrasi. Adapun IHPS Pertama 2019 meliputi ringkasan dari 692 laporan hasil pemeriksaan (LHP), terdiri atas 651 LHP keuangan, 4 LHP kinerja, dan 37 LHP dengan tujuan tertentu.
Sejumlah temuan BPK pada IHPS Pertama 2019 telah disampaikan ke DPR RI dan pemerintah, di antaranya pengelolaan belanja subsidi oleh pemerintah belum sesuai ketentuan. Pemborosan di tubuh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait pengelolaan subsidi pelayanan publik.Penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran LPG oleh PT Pertamina belum efektif. Dan, penggelembungan dana perjalanan dinas pada sejumlah kementerian dan lembaga. Terkait pengelolaan belanja subsidi, BPK telah memeriksa laporan keuangan (LK) Bendahara Umum Negara (BUN) 2018 menyangkut pengeluaran pemerintah dalam belanja subsidi, sekaligus memeriksa tiga Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) kementerian.
Hasilnya, BPK membeberkan empat temuan dengan sembilan permasalahan. Namun, permasalahan yang perlu dicermati terutama yang terjadi pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), Kementerian Pertanian, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).Selaku pengguna Sistem Informasi Kredit Program (SIKP), Kementerian KUKM belum memiliki mekanisme validasi yang memastikan data calon debitur. Belum memiliki basis data UMKM terkait penyaluran kredit usaha rakyat (KUR). Akibatnya, penerima subsidi bunga KUR sulit diyakini keakuratannya.
Sementara itu, permasalahan pada Kementerian Pertanian, sebagaimana dibeberkan BPK, belum dapat diidentifikasi terperinci sasaran penyaluran pupuk bersubsidi. Akibatnya, alokasi volume kebutuhan pupuk bersubsidi tidak bisa dipakai sebagai sarana pengendalian penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani.Lalu, permasalahan pada Kementerian PUPR terkait dengan belanja subsidi bunga kredit perumahan dan belanja subsidi bantuan uang muka perumahan, di mana basis data profil nasabah dan laporan pertanggungjawaban penyaluran subsidi dan pengendalian oleh KPA belum efektif. Akibatnya, realisasi belanja subsidi bunga kredit perumahan dan bantuan uang muka berisiko tidak akurat.
Selain itu, "pedang" BPK juga membedah kinerja dua badan usaha milik negara (BUMN), yakni PLN dan Pertamina. Pihak BPK menemukan pemborosan pada PLN sebesar Rp275,19 miliar terkait pengelolaan subsidi pelayanan publik. Pemborosan terjadi pada Specific Fuel Consumption (SFC) Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Mobile Power Plant (MPP) Batam, karena dioperasikan dengan bahan bakar high speed diesel .Dan anak perusahaan PLN, yakni PT Indonesia Power, menanggung dampak take or pay sebesar Rp36,97 miliar serta pemborosan lainnya mencapai Rp39,53 miliar. Lalu, Pertamina disorot seputar penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran LPG yang belum efektif.
Selanjutnya, IHPS Pertama 2019 juga membeberkan penggelembungan dana perjalanan dinas pada sejumlah kementerian dan lembaga. BPK mendapatkan data biaya perjalanan dinas ganda atau tidak sesuai ketentuan pada 41 kementerian dan lembaga senilai Rp25,43 miliar.Dalam laporan BPK jelas disebutkan pembayaran perjalanan dinas ganda terjadi pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sebesar Rp4,91 miliar, belanja perjalanan dinas berindikasi tidak riil Rp993,56 juta, dan belanja perjalanan dinas luar negeri sebesar tidak sesuai aturan sebesar Rp184,03 juta.Kelebihan biaya perjalanan dinas KPU dan Kementerian Pertahanan, masing-masing Rp3,06 miliar dan Rp2,17 miliar. Penyalahgunaan dana perjalanan dinas sudah menjadi persoalan klasik sebab sumber anggaran ini memang paling mudah diutak-atik. Namun, paling gampang diklarifikasi terkait pengauditan.
Menyikapi laporan IHPS Pertama 2019, pemerintah atau kementerian dan lembaga yang dinilai bermasalah tidak perlu reaktif yang berlebihan dalam merespons. Terpenting adalah bagaimana menindaklanjuti laporan itu sebab temuan BPK akan efektif dan berdaya guna apabila ditindaklanjuti pada entitas yang diperiksa atau diduga bermasalah, untuk mewujudkan tata kelola keuangan negara yang transparan dan akuntabel.
(nag)