Berikan Pendampingan Keluarga, Kemen PPPA Kembangkan Puspaga
A
A
A
JAKARTA - Sejak diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada 2016, Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) hingga tahun ini telah berkembang menjadi 117 unit di 9 Provinsi dan 108 kabupaten/kota.
Menurut Menteri PPPA Yohana Yembise, Puspaga dibentuk sebagai perwujudan program Three Ends, yaitu Akhiri Kekerasan pada Perempuan dan Anak, Akhiri Perdagangan Manusia, dan Akhiri Kesenjangan Ekonomi bagi Perempuan. Puspaga menjadi salah satu program unggulan untuk pengasuhan yang benar dan pencegahan kekerasan dan eksploitasi dalam keluarga.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari, mengatakan, di Indonesia saat ini terdapat 65 juta keluarga dan 2% di antaranya mengalami kekerasan.
“Sehingga Puspaga mengambil peran besar untuk memberikan pendampingan kepada keluarga yang tidak terkait kasus kekerasan demi mencegah terjadinya pelanggaran pada pemenuhan hak anak dan kekerasan dalam rumah tangga,” ungkap Rohika dalam Forum Penguatan Kapasitas Konselor Keluarga Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, kemarin.
Dua layanan utama di Puspaga adalah layanan Konseling dan Konsultasi, sehingga dalam setiap Puspaga minimal harus ada satu psikolog atau konselor keluarga.
Asdep Kesetaraan Gender Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan pembangunan Keluarga, Budi Mardaya, menambahkan, para konselor harus juga memahami muatan konseling kesetaraan gender. “Konselor keluarga harus memiliki pemahaman kesetaraan gender dalam keluarga, yang menjadi salah satu pondasi terwujudnya ketahanan keluarga,” ungkapnya.
Budi menjelaskan, fondasi ketahanan keluarga di antaranya adalah mendampingi keluarga untuk dapat mengoptimalkan sumber daya keluarga, baik waktu maupun kekayaan. “Melatih keluarga membagi waktu untuk memberikan perlindungan maksimal, pembagian peran dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan, pengambil keputusan dalam keluarga serta bisa membangun konsepsi diri yang positif dan mengendalikan emosi untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anggota keluarga,” ujarnya.
Sementara itu, Tata Sudrajat dari Save The Children mengakui bahwa saat ini banyak terjadi kasus disfungsi keluarga, pergeseran gaya hidup, dan teknologi yang sedikit banyak memengaruhi pola pengasuhan dalam keluarga.
“Orang tua harus diberikan pemahaman bahwa anak memerlukan pendampingan, kasih sayang, perhatian dan kedekatan hubungan. Komunikasi menjadi kunci utama antara orang tua dan anak, sehingga anak merasa nyaman untuk mengungkapkan pendapat dan menyampaikan setiap permasalahan yang dihadapi,” kata Tata. (Binti Mufarida)
Menurut Menteri PPPA Yohana Yembise, Puspaga dibentuk sebagai perwujudan program Three Ends, yaitu Akhiri Kekerasan pada Perempuan dan Anak, Akhiri Perdagangan Manusia, dan Akhiri Kesenjangan Ekonomi bagi Perempuan. Puspaga menjadi salah satu program unggulan untuk pengasuhan yang benar dan pencegahan kekerasan dan eksploitasi dalam keluarga.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari, mengatakan, di Indonesia saat ini terdapat 65 juta keluarga dan 2% di antaranya mengalami kekerasan.
“Sehingga Puspaga mengambil peran besar untuk memberikan pendampingan kepada keluarga yang tidak terkait kasus kekerasan demi mencegah terjadinya pelanggaran pada pemenuhan hak anak dan kekerasan dalam rumah tangga,” ungkap Rohika dalam Forum Penguatan Kapasitas Konselor Keluarga Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, kemarin.
Dua layanan utama di Puspaga adalah layanan Konseling dan Konsultasi, sehingga dalam setiap Puspaga minimal harus ada satu psikolog atau konselor keluarga.
Asdep Kesetaraan Gender Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan pembangunan Keluarga, Budi Mardaya, menambahkan, para konselor harus juga memahami muatan konseling kesetaraan gender. “Konselor keluarga harus memiliki pemahaman kesetaraan gender dalam keluarga, yang menjadi salah satu pondasi terwujudnya ketahanan keluarga,” ungkapnya.
Budi menjelaskan, fondasi ketahanan keluarga di antaranya adalah mendampingi keluarga untuk dapat mengoptimalkan sumber daya keluarga, baik waktu maupun kekayaan. “Melatih keluarga membagi waktu untuk memberikan perlindungan maksimal, pembagian peran dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan, pengambil keputusan dalam keluarga serta bisa membangun konsepsi diri yang positif dan mengendalikan emosi untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anggota keluarga,” ujarnya.
Sementara itu, Tata Sudrajat dari Save The Children mengakui bahwa saat ini banyak terjadi kasus disfungsi keluarga, pergeseran gaya hidup, dan teknologi yang sedikit banyak memengaruhi pola pengasuhan dalam keluarga.
“Orang tua harus diberikan pemahaman bahwa anak memerlukan pendampingan, kasih sayang, perhatian dan kedekatan hubungan. Komunikasi menjadi kunci utama antara orang tua dan anak, sehingga anak merasa nyaman untuk mengungkapkan pendapat dan menyampaikan setiap permasalahan yang dihadapi,” kata Tata. (Binti Mufarida)
(nfl)