YLBHI Curiga Ada 'Modus' di Balik Pasal Penghinaan Presiden
A
A
A
JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHP) yang memasukkan pasal penghinaan presiden.
Ketua YLBHI, Asfinawati mengingatkan presiden adalah lembaga negara bukan personal. Dengan menghidupkan kembali pasal ini menunjukkan Presiden anti terhadap berbagai kritik masyarakat.
"Apalagi ini presiden dalam negara hukum dan mengakui demokrasi," kata Asfinawati saat dihubungi SINDOnews, Jumat (20/9/2019).
Asfin, biasa perempuan ini disapa mengatakan, khusus pasal penghinaan presiden sebenarnya pernah "dimatikan" di Mahkamah Kontitusi (MK). Pasal ini disebutnya tidak mengikat.
Dia mengaku heran kenapa DPR dan pemerintah terkesan kompak untuk menghidupkan pasal yang sudah mati.
Asfin menduga ada berbagai "modus" yang mendorong pasal ini sengaja dihidupkan kembali, yakni semangat untuk menjadi penguasa yang antikritik dan antidemokrasi.
Dia menganggap, rata-rata semangat menghidupkan "pasal karet" ini mengarah pada perlindungan investasi atau bisnis, melindungi koruptor, dan sebaliknya merampas hak rakyat. Terlebih, pasal ini muncul bersamaan produk legislasi DPR periode 2014-2019 yang lolos secara mulus.
"Intinya DPR dan presiden bersiap-siap agar bisa menjadi penyelenggara negara yang otoriter secara aman," ujar Asfin.
Ketua YLBHI, Asfinawati mengingatkan presiden adalah lembaga negara bukan personal. Dengan menghidupkan kembali pasal ini menunjukkan Presiden anti terhadap berbagai kritik masyarakat.
"Apalagi ini presiden dalam negara hukum dan mengakui demokrasi," kata Asfinawati saat dihubungi SINDOnews, Jumat (20/9/2019).
Asfin, biasa perempuan ini disapa mengatakan, khusus pasal penghinaan presiden sebenarnya pernah "dimatikan" di Mahkamah Kontitusi (MK). Pasal ini disebutnya tidak mengikat.
Dia mengaku heran kenapa DPR dan pemerintah terkesan kompak untuk menghidupkan pasal yang sudah mati.
Asfin menduga ada berbagai "modus" yang mendorong pasal ini sengaja dihidupkan kembali, yakni semangat untuk menjadi penguasa yang antikritik dan antidemokrasi.
Dia menganggap, rata-rata semangat menghidupkan "pasal karet" ini mengarah pada perlindungan investasi atau bisnis, melindungi koruptor, dan sebaliknya merampas hak rakyat. Terlebih, pasal ini muncul bersamaan produk legislasi DPR periode 2014-2019 yang lolos secara mulus.
"Intinya DPR dan presiden bersiap-siap agar bisa menjadi penyelenggara negara yang otoriter secara aman," ujar Asfin.
(dam)