Kasus Menpora dan Pemberantasan Korupsi

Jum'at, 20 September 2019 - 06:15 WIB
Kasus Menpora dan Pemberantasan Korupsi
Kasus Menpora dan Pemberantasan Korupsi
A A A
INDONESIAmemang tak pernah sepi dari berita korupsi. Kali ini yang dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Kejadian ini semakin meneguhkan kegagalan pemerintah dan aparat hukum dalam pemberantasan korupsi, terutama dari sisi pencegahannya.

Penetapan tersangka pada Menpora ini menarik karena Imam adalah menteri pertama yang aktif yang menjadi tersangka korupsi. Sejak Rabu (18/9) lalu, Imam telah berstatus tersangka kasus dugaan suap dana bantuan hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Imam dan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, diduga menerima uang suap dan gratifikasi sebesar Rp26,5 miliar. Sebelumnya Menteri Sosial Idrus Marham juga menjadi tersangka KPK. Namun, Idrus buru-buru mengundurkan diri dari jabatan menteri sebelum ditetapkan menjadi tersangka, sehingga Imam memang menjadi menteri pertama Kabinet Kerja yang menjadi tersangka KPK.

Fakta ini setidaknya mengandung pesan penting, terutama dalam upaya kita dalam memberantas korupsi. Pertama, sangat disayangkan dugaan korupsi terjadi di ring satu pemerintahan. Padahal, sudah sering kali Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Ternyata pesan Presiden tidak diindahkan oleh Menpora.

Satu lagi, dalam kasus ini, Menpora tampaknya tidak belajar banyak dari cerita para pejabat yang akhirnya berakhir tragis di penjara karena terjerat kasus korupsi. Kini karier politik Imam pun bakal tamat. Kecuali dia nanti membuktikan di pengadilan kalau dia tidak bersalah. Namun, hal itu hampir mustahil karena mayoritas tersangka di KPK berakhir di terali besi.

Karena itu, ini sekaligus menjadi perhatian dan peringatan serius agar kabinet mendatang agar diisi dengan orang-orang yang tidak saja mumpuni di bidangnya. Namun, yang tidak kalah penting adalah komitmen dan integritasnya terhadap masyarakat dan negara. Jangan sampai memilih menteri lagi yang tidak amanah terhadap kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Kedua, Idrus Marham dan Imam Nahrawi, keduanya merupakan kader dari partai politik yang ditunjuk menjadi menteri. Idrus berasal dari Partai Golkar dan Imam kader Partai Kebangkitan Bangsa. Apakah ini kebetulan saja bahwa ternyata dua menteri yang menjadi tersangka merupakan kader parpol bukan dari profesional atau pejabat karier? Bisa saja fenomena ini sebuah kebetulan. Bisa saja tidak. Masyarakat yang akan menilai.

Yang jelas, kasus ini harus juga menjadi pertimbangan Presiden Jokowi dalam memilih para pembantunya. Memang tidak ada jaminan menteri yang profesional tidak akan korupsi. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa menteri yang berasal dari parpol lebih berpotensi untuk terjadinya conflict of interest. Setidaknya kasus Idrus dan Imam ini bisa menjadi contoh.

Ketiga, diumumkannya status tersangka Imam Nahrawi ini bisa dimaknai bahwa betapa korupsi ini sudah sangat mengkhawatirkan. Korupsi merajalela dan terjadi di mana-mana. Tidak saja di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, tetapi juga di sekitar istana sendiri. Namun, yang menyesakkan dada adalah adanya upaya yang sistematis untuk melemahkan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK.

KPK punya kewenangan super saja masih banyak pejabat yang berani korupsi. Bagaimana ketika KPK lemah? Kalau kita mau merunut ke belakang, sudah ada 100-an kepala daerah yang dijebloskan ke penjara oleh KPK karena terjerat kasus korupsi. Hampir setiap pekan ada saja kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan. Karena itu, ketika ada pejabat yang ditetapkan tersangka, sudah tidak membuat masyarakat kaget lagi karena sudah saking banyaknya pejabat yang masuk penjara karena terlibat perbuatan kriminal ini.

Kita sepakat UU KPK bukan sesuatu yang sakral yang tidak boleh diubah. Namun kalau perubahannya secara jelas mengebiri lembaga antirasuah tersebut, sulit rasanya korupsi akan hilang dari Bumi Pertiwi. Belum lagi, kini koruptor makin mudah bebas karena bisa mendapatkan remisi setelah disahkannya UU Pemasyarakatan.

Kini, sejumlah kesaktian KPK (seperti penyadapan harus lapor Dewan Pengawas yang dipilih presiden dan bolehnya KPK mengeluarkan SP3) sudah dilucuti melalui revisi kilat UU KPK. Akankah dengan UU KPK hasil revisi ini pemberantasan korupsi akan lebih baik? Banyak yang meragukannya. Namun, bagaimanapun revisi UU KPK sudah resmi diketuk DPR.

Mau tidak mau kita harus menerimanya. Kita hanya bisa berharap dan berdoa semoga korupsi bisa lenyap dari Bumi Pertiwi. Karena jika korupsi masih marak seperti saat ini, sampai kapan pun negara ini tidak akan bisa maju. Kita pun akan semakin tertinggal dengan negara lain. Meski seperti sebuah harapan yang utopia, kita tetap tak boleh berhenti berharap dan berdoa untuk kemajuan negara yang kita cintai bersama ini.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5801 seconds (0.1#10.140)