UU PAS Juga Mengatur DPR Jadi Pengawas Eksternal Lapas
A
A
A
JAKARTA - Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan (UU PAS) untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR.
Dengan revisi tersebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tidak berlaku lagi. Sehingga, PP Nomor 32 Tahun 1999 diberlakukan kembali.
Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 terdapat Pasal 34A yang mengatur pemberian remisi bagi narapidana perkara terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi, wajib memenuhi persyaratan.
Salah satu syaratnya adalah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya alias bertindak sebagai justice collaborator. Adapun dalam PP Nomor 32 Tahun 1999 yang akan kembali berlaku, pemberian remisi diatur dalam Pasal 34. Pasal ini hanya menyebut, setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi.
“Telah kita berlakukan PP Nomor 32/1999 yang menyebut dan berkorelasi dengan KUHP,” ungkap Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Dengan pemberlakuan kembali PP 32 itu, maka narapidana bisa memperoleh hak remisi jika vonis hakim tidak mencabut hak memperoleh remisi itu. “Semua narapidana itu berhak untuk mendapatkan hak-haknya. Itu dilindungi oleh hak asasi manusia (HAM),” ungkap politikus Partai Demokrat ini.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, persamaan hak narapidana termasuk narapidana (napi) kasus korupsi menjadi dasar dibuatnya aturan tersebut. “Narapidana itu memiliki hak, sebagai warga binaan yang sudah diputus inkracht oleh pengadilan. Hak-hak narapidana itu ada beberapa, ada yang terkait dengan haknya termasuk kesehatan, hak bertemu keluarganya termasuk hak dia untuk memperoleh remisi,” kata Masinton.
Namun Masinton mengatakan, dalam aturan juga ditegaskan bahwa pemberian remisi harus melalui pengadilan termasuk untuk narapidana pada kasus-kasus pidana khusus. Terlebih, pembatasan hak itu tidak boleh diatur oleh peraturan yang tingkatannya berada di bawah UU. “Pembatasan hak hanya boleh berdasarkan undang-undang atau putusan pengadilan. Itu berlaku universal dalam UUD kan begitu, Pasal 28 itu. Pembatasan hak itu hanya boleh melalui UU atau putusan pengadilan,” paparnya.
Ditanya soal alasan lain dibuatnya aturan tersebut, politikus PDIP itu menyebut bahwa di berbagai negara termasuk di Australia menerapkan hal yang sama di mana pemberian remisi harus berdasarkan putusan pengadilan saja. “Pada saat kami ke Australia juga begitu. Yang dia terkait pidana khusus yang ingin memperoleh remisi harus berdasarkan pengadilan untuk pidana-pidana khusus,” ungkapnya.
Terkait efek jera terhadap koruptor yang dikhawatirkan memudar, Masinton membantah itu. Sebab, pemberian remisi harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan saat menjadi warga binaan, apakah dia berkelakuan baik atau tidak sehingga pemberian remisinya patut diproses pengadilan. Dan lagi pertimbangannya berlapis.
“Makanya pertimbangannya berlapis, bukan hanya dari lapas saja, tapi juga berdasarkan putusan pengadilan. Kan ada kriteria-kriteria yang harus dipenuhi yang diatur di UU, ada peraturan pemerintah sebagai turunan perundang-undangan yang akan mengatur teknis, tata cara bisa mengajukan, memberikan pertimbangan,” paparnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengaku tak khawatir dianggap memberi angin segar narapidana (napi) kasus korupsi, terorisme, dan narkoba melalui revisi UU PAS. Bahkan Yasonna mengklaim revisi UU PAS itu bukan sebagai angin segar bagi narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkoba. “Enggak (khawatir) lah, tidak ada, kan ada pengaturan lebih lanjut nanti,” tandas Yasonna.
Dia menjelaskan bahwa bebas bersyarat itu adalah hak. Sedangkan pembatasan hak, harus melalui undang-undang. “Nanti kita lihat pelan-pelan ya, nanti kita lihat turunannya seperti apa dulu lah, pokoknya setiap orang punya hak remisi. (Pembatasan) itu melanggar hak asasi, pembatasan itu melalui 2, pengadilan dan UU,” paparnya.
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap draf yang sudah disahkan itu, tidak banyak yang berubah dalam UU PAS. Kecuali, ketentuan peralihan mengenai berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pada Bab X Ketentuan Peralihan, Pasal 94 ayat 2.
Banyak hal yang diperjelas dalam hasil revisi UU PAS. Di antaranya soal definisi tahanan, anak yang berkonflik, pelayanan, pembinaan, pembimbingan, perawatan, pengamanan, pengamatan, penelitian kemasyarakatan, rumah tahanan (rutan), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), petugas pemasyarakatan, wali pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakatan dan asesor pemasyarakatan yang diatur pada Pasal 1 ayat 1-24.
UU ini juga mempertegas jaminan perlindungan terhadap tahanan dan anak serta pelindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf a dan c. Penegasan fungsi pemasyarakat juga diatur dalam Pasal 4 huruf a sampai f yang menyatakan bahwa fungsi pemasyarakatan meliputi pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan, perawatan, pengamanan dan pengamatan.
Hak tahanan dan narapidana juga ditambah sebagaimana diatur pada Pasal 7 dan Pasal 9 huruf f, i dan j. Yakni, mendapatkan penyuluhan hukum dan bantuan hukum, mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dilindungi dari penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan dan segala tindakan yang membahayakan fisik dan mental, serta pelayanan sosial.
Dalam Pasal 10 ayat 1 juga ditambahkan mengenai hak napi untuk mendapatkan remisi dan berbagai hak lainnya yakni asimilasi, cuti mengunjungi dan dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan hak lain yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Dalam Pasal 10 ayat 2 memuat tentang syarat untuk mendapatkan hak-hak yang diatur pada Pasal 10 ayat 1, yakni berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan dan telah menunjukkan tingkat penurunan risiko. Serta syarat minimal menjalani masa pidana 2/3 dari masa pidana atau minimal 9 bulan untuk hak bebas bersyarat sebagaimana Pasal 10 ayat 3.
Di sini, anak binaan juga mendapatkan hak pengurangan masa pidana, asimilasi, cuti mengunjungi dan dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat dan hak lain yang diatur dalam Pasal 14 ayat 1. Syaratnya pun sama dengan Pasal 10 ayat 2. Hanya saja, untuk cuti menjelang bebas dan bebas bersyarat harus menjalani masa pidana minimal 1/2 sebagaimana diatur pada Pasal 13 ayat 3.
Ditambah juga ketentuan soal pelayanan anak pada Bab III tentang Penyelenggaraan Fungsi Pemasyarakatan, paragraf 2. Serta pembinaan narapidana pada bab yang sama. Sejumlah bab baru juga ditambahkan dalam UU PAS hasil revisi ini. Di antaranya, Bab IV tentang Intelijen Pemasyarakatan, Bab V soal Sistem Teknologi Informasi Pemasyarakatan, Bab VI tentang Sarana dan Prasarana, Bab VII tentang Petugas Pemasyarakatan, Bab VIII tentang Pengawasan, dan Bab IX tentang Kerja Sama dan Peran Serta Masyarakat.
Khusus Bab VIII tentang Pengawasan, mengatur secara detail tentang pengawasan eksternal yang melibatkan peran Komisi III DPR. Pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Jakarta, Suparji Achmad mengatakan, konsekuensi dari perubahan ini adalah berlakunya PP 32/1999. Sehingga, tidak ada lagi disiskriminasi terhadap tindak pidana tertentu. Karena selama ini, ada diskriminasi untuk tindak pidana korupsi, terorisme, dan kejahatan narkoba untuk mendapatkan remisi.
Dan sebenarnya itu bertentangan dengan konsep bahwa setiap narapidana mendapatkan hak yang sama. Masalahnya, lanjut Suparji, bagaimana caranya agar dengan peluang remisi itu bisa memberikan efek jera atau membuat mereka enggan lagi melakukan kejahatan. Harus dipikirkan bagaimana membuat narapidana ini menjadi orang yang jauh lebih baik. “Dalam asumsi bahwa mereka bisa menjadi lebih baik itu dibuat kesempatan itu,” tandasnya.
Sehingga, ada pergeseran paradigma dari pemidanaan dengan konsep pemenjaraan menjadi konsep pemulihan, tidak semata-mata orang dikasih sanksi itu dengan pemidanaan. Terlebih, ada fakta overcapacity lapas yang membuat beban negara menjadi tinggi dan banyak konsekuensi ekonomi lain.
“Yang kemudian kalau semuanya dipenjara dalam waktu yang lama tanpa adanya remisi kemudian tidak akan bisa berdampak pada bagaimana pengurangan lapas itu karena akan selalui tambah terus,” paparnya. Karena itu, Suparji berpandangan bahwa adanya peluang mendapatkan remisi itu harus dilakukan secara selektif.
Sehingga, Dirjen Pas beserta dengan aparat di bawahnya itu dituntut untuk memberikan sebuah penilaian yang obyektif agar tidak secara sembarangan mengobral remisi dan tidak membuat sebuah transaksi remisi dengan cara pendekatan-pendekatan yang baik. “Tetapi kemudian, pendekatannya bahwa mereka sudah berubah baik, mereka sudah bisa turun ke masyarakat, dan lain sebagainya,” tandasnya.
Dengan demikian, hal ini menjadi tantangan agar UU PAS ini bisa membuat manajemen pemasyarakat menjadi lebih baik. Dan dengan adanya pengawasan eksternal ini diharapkan bisa membuat praktik-praktik yang tidak benar seperti jual beli, sewa kamar tahanan, pemberian izin keluar masuk penjara karena sakit, dan praktik transaksional lainnya bisa diatasi. Ditambah adanya fakta bahwa narapidana memiliki ketrgantungan terhdap pejabat lapas.
“Maka menurut saya salah satunya adalah bagaimana menciptakan akuntabilitas pengelolaan lapas itu sehingga menjadi lembaga yang kredibel. Karena memang, agak susah selama ini yang terjadi para petugas itu mempunyai otoritas penuh di wilayah itu sehingga ada ketergantungan yang sangat tinggi bagi warga binaan terhadap mereka demi keselamatan, kenyamanan, ketenangan ada proses kompromis yang sebetulnya tidak boleh terjadi. Ini jadi tantangan manajemen pemasyarakatan di masa depan,” paparnya.
Dengan revisi tersebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tidak berlaku lagi. Sehingga, PP Nomor 32 Tahun 1999 diberlakukan kembali.
Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 terdapat Pasal 34A yang mengatur pemberian remisi bagi narapidana perkara terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi, wajib memenuhi persyaratan.
Salah satu syaratnya adalah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya alias bertindak sebagai justice collaborator. Adapun dalam PP Nomor 32 Tahun 1999 yang akan kembali berlaku, pemberian remisi diatur dalam Pasal 34. Pasal ini hanya menyebut, setiap narapidana dan anak pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi.
“Telah kita berlakukan PP Nomor 32/1999 yang menyebut dan berkorelasi dengan KUHP,” ungkap Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Dengan pemberlakuan kembali PP 32 itu, maka narapidana bisa memperoleh hak remisi jika vonis hakim tidak mencabut hak memperoleh remisi itu. “Semua narapidana itu berhak untuk mendapatkan hak-haknya. Itu dilindungi oleh hak asasi manusia (HAM),” ungkap politikus Partai Demokrat ini.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, persamaan hak narapidana termasuk narapidana (napi) kasus korupsi menjadi dasar dibuatnya aturan tersebut. “Narapidana itu memiliki hak, sebagai warga binaan yang sudah diputus inkracht oleh pengadilan. Hak-hak narapidana itu ada beberapa, ada yang terkait dengan haknya termasuk kesehatan, hak bertemu keluarganya termasuk hak dia untuk memperoleh remisi,” kata Masinton.
Namun Masinton mengatakan, dalam aturan juga ditegaskan bahwa pemberian remisi harus melalui pengadilan termasuk untuk narapidana pada kasus-kasus pidana khusus. Terlebih, pembatasan hak itu tidak boleh diatur oleh peraturan yang tingkatannya berada di bawah UU. “Pembatasan hak hanya boleh berdasarkan undang-undang atau putusan pengadilan. Itu berlaku universal dalam UUD kan begitu, Pasal 28 itu. Pembatasan hak itu hanya boleh melalui UU atau putusan pengadilan,” paparnya.
Ditanya soal alasan lain dibuatnya aturan tersebut, politikus PDIP itu menyebut bahwa di berbagai negara termasuk di Australia menerapkan hal yang sama di mana pemberian remisi harus berdasarkan putusan pengadilan saja. “Pada saat kami ke Australia juga begitu. Yang dia terkait pidana khusus yang ingin memperoleh remisi harus berdasarkan pengadilan untuk pidana-pidana khusus,” ungkapnya.
Terkait efek jera terhadap koruptor yang dikhawatirkan memudar, Masinton membantah itu. Sebab, pemberian remisi harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan saat menjadi warga binaan, apakah dia berkelakuan baik atau tidak sehingga pemberian remisinya patut diproses pengadilan. Dan lagi pertimbangannya berlapis.
“Makanya pertimbangannya berlapis, bukan hanya dari lapas saja, tapi juga berdasarkan putusan pengadilan. Kan ada kriteria-kriteria yang harus dipenuhi yang diatur di UU, ada peraturan pemerintah sebagai turunan perundang-undangan yang akan mengatur teknis, tata cara bisa mengajukan, memberikan pertimbangan,” paparnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengaku tak khawatir dianggap memberi angin segar narapidana (napi) kasus korupsi, terorisme, dan narkoba melalui revisi UU PAS. Bahkan Yasonna mengklaim revisi UU PAS itu bukan sebagai angin segar bagi narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkoba. “Enggak (khawatir) lah, tidak ada, kan ada pengaturan lebih lanjut nanti,” tandas Yasonna.
Dia menjelaskan bahwa bebas bersyarat itu adalah hak. Sedangkan pembatasan hak, harus melalui undang-undang. “Nanti kita lihat pelan-pelan ya, nanti kita lihat turunannya seperti apa dulu lah, pokoknya setiap orang punya hak remisi. (Pembatasan) itu melanggar hak asasi, pembatasan itu melalui 2, pengadilan dan UU,” paparnya.
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap draf yang sudah disahkan itu, tidak banyak yang berubah dalam UU PAS. Kecuali, ketentuan peralihan mengenai berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan pada Bab X Ketentuan Peralihan, Pasal 94 ayat 2.
Banyak hal yang diperjelas dalam hasil revisi UU PAS. Di antaranya soal definisi tahanan, anak yang berkonflik, pelayanan, pembinaan, pembimbingan, perawatan, pengamanan, pengamatan, penelitian kemasyarakatan, rumah tahanan (rutan), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), petugas pemasyarakatan, wali pemasyarakatan, pembimbing kemasyarakatan dan asesor pemasyarakatan yang diatur pada Pasal 1 ayat 1-24.
UU ini juga mempertegas jaminan perlindungan terhadap tahanan dan anak serta pelindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf a dan c. Penegasan fungsi pemasyarakat juga diatur dalam Pasal 4 huruf a sampai f yang menyatakan bahwa fungsi pemasyarakatan meliputi pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan, perawatan, pengamanan dan pengamatan.
Hak tahanan dan narapidana juga ditambah sebagaimana diatur pada Pasal 7 dan Pasal 9 huruf f, i dan j. Yakni, mendapatkan penyuluhan hukum dan bantuan hukum, mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dilindungi dari penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan dan segala tindakan yang membahayakan fisik dan mental, serta pelayanan sosial.
Dalam Pasal 10 ayat 1 juga ditambahkan mengenai hak napi untuk mendapatkan remisi dan berbagai hak lainnya yakni asimilasi, cuti mengunjungi dan dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan hak lain yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Dalam Pasal 10 ayat 2 memuat tentang syarat untuk mendapatkan hak-hak yang diatur pada Pasal 10 ayat 1, yakni berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan dan telah menunjukkan tingkat penurunan risiko. Serta syarat minimal menjalani masa pidana 2/3 dari masa pidana atau minimal 9 bulan untuk hak bebas bersyarat sebagaimana Pasal 10 ayat 3.
Di sini, anak binaan juga mendapatkan hak pengurangan masa pidana, asimilasi, cuti mengunjungi dan dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat dan hak lain yang diatur dalam Pasal 14 ayat 1. Syaratnya pun sama dengan Pasal 10 ayat 2. Hanya saja, untuk cuti menjelang bebas dan bebas bersyarat harus menjalani masa pidana minimal 1/2 sebagaimana diatur pada Pasal 13 ayat 3.
Ditambah juga ketentuan soal pelayanan anak pada Bab III tentang Penyelenggaraan Fungsi Pemasyarakatan, paragraf 2. Serta pembinaan narapidana pada bab yang sama. Sejumlah bab baru juga ditambahkan dalam UU PAS hasil revisi ini. Di antaranya, Bab IV tentang Intelijen Pemasyarakatan, Bab V soal Sistem Teknologi Informasi Pemasyarakatan, Bab VI tentang Sarana dan Prasarana, Bab VII tentang Petugas Pemasyarakatan, Bab VIII tentang Pengawasan, dan Bab IX tentang Kerja Sama dan Peran Serta Masyarakat.
Khusus Bab VIII tentang Pengawasan, mengatur secara detail tentang pengawasan eksternal yang melibatkan peran Komisi III DPR. Pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Jakarta, Suparji Achmad mengatakan, konsekuensi dari perubahan ini adalah berlakunya PP 32/1999. Sehingga, tidak ada lagi disiskriminasi terhadap tindak pidana tertentu. Karena selama ini, ada diskriminasi untuk tindak pidana korupsi, terorisme, dan kejahatan narkoba untuk mendapatkan remisi.
Dan sebenarnya itu bertentangan dengan konsep bahwa setiap narapidana mendapatkan hak yang sama. Masalahnya, lanjut Suparji, bagaimana caranya agar dengan peluang remisi itu bisa memberikan efek jera atau membuat mereka enggan lagi melakukan kejahatan. Harus dipikirkan bagaimana membuat narapidana ini menjadi orang yang jauh lebih baik. “Dalam asumsi bahwa mereka bisa menjadi lebih baik itu dibuat kesempatan itu,” tandasnya.
Sehingga, ada pergeseran paradigma dari pemidanaan dengan konsep pemenjaraan menjadi konsep pemulihan, tidak semata-mata orang dikasih sanksi itu dengan pemidanaan. Terlebih, ada fakta overcapacity lapas yang membuat beban negara menjadi tinggi dan banyak konsekuensi ekonomi lain.
“Yang kemudian kalau semuanya dipenjara dalam waktu yang lama tanpa adanya remisi kemudian tidak akan bisa berdampak pada bagaimana pengurangan lapas itu karena akan selalui tambah terus,” paparnya. Karena itu, Suparji berpandangan bahwa adanya peluang mendapatkan remisi itu harus dilakukan secara selektif.
Sehingga, Dirjen Pas beserta dengan aparat di bawahnya itu dituntut untuk memberikan sebuah penilaian yang obyektif agar tidak secara sembarangan mengobral remisi dan tidak membuat sebuah transaksi remisi dengan cara pendekatan-pendekatan yang baik. “Tetapi kemudian, pendekatannya bahwa mereka sudah berubah baik, mereka sudah bisa turun ke masyarakat, dan lain sebagainya,” tandasnya.
Dengan demikian, hal ini menjadi tantangan agar UU PAS ini bisa membuat manajemen pemasyarakat menjadi lebih baik. Dan dengan adanya pengawasan eksternal ini diharapkan bisa membuat praktik-praktik yang tidak benar seperti jual beli, sewa kamar tahanan, pemberian izin keluar masuk penjara karena sakit, dan praktik transaksional lainnya bisa diatasi. Ditambah adanya fakta bahwa narapidana memiliki ketrgantungan terhdap pejabat lapas.
“Maka menurut saya salah satunya adalah bagaimana menciptakan akuntabilitas pengelolaan lapas itu sehingga menjadi lembaga yang kredibel. Karena memang, agak susah selama ini yang terjadi para petugas itu mempunyai otoritas penuh di wilayah itu sehingga ada ketergantungan yang sangat tinggi bagi warga binaan terhadap mereka demi keselamatan, kenyamanan, ketenangan ada proses kompromis yang sebetulnya tidak boleh terjadi. Ini jadi tantangan manajemen pemasyarakatan di masa depan,” paparnya.
(don)