Opini Publik
A
A
A
Betapa media sosial saat ini membuat informasi berseliweran ke segala arah. Dulu produksi informasi sekaligus penyebaran ke khalayak hanya didominasi oleh media massa. Namun, sekarang telah berubah. Siapa pun yang memproduksi informasi juga bisa menyebarkan ke khalayak melalui media sosial. Akan semakin tersebar luas jika informasi tersebut getok tular atau diviralkan oleh banyak pihak.
Inilah kekuatan baru informasi. Mudah disebarkan sehingga mudah pula didapatkan. Jika 20 tahun lalu ada sebuah informasi yang bisa tertutup rapat, sekarang hanya sedikit saja yang mungkin tertutup rapat.
Terbuka dan cepat yang membuat informasi begitu mudah diterima masyarakat. Ketika berbicara terbuka dan cepat, maka akan identik dengan kuantitas dan jauh dengan kualitas. Sehingga, kualitas informasi tersebut juga dipertanyakan karena kecepatan dan keterbukaan tersebut. Inilah evolusi atau kalau mau mengatakan, revolusi informasi di masyarakat.
Dampak lain adalah bagaimana opini publik mudah terbentuk. Jika dulu opini publik hanya didominasi oleh seseorang atau lembaga yang mempunyai peran penting, sekarang opini publik bisa dibentuk oleh individu atau kelompok individu tertentu. Individu atau kelompok individu kini mempunyai (menjangkau) akses dalam menyebarkan informasi untuk memengaruhi opini publik.
Dulu mungkin ini menjadi persoalan dalam membuat opini publik. Jika dulu opini publik hanya bisa dilakukan oleh yang mempunyai peran penting dan akses ke media massa (misalnya), sekarang tidak lagi.
Jika dulu nyaris tidak ada perang opini publik, maka sekarang perang opini publik sering terjadi. Bukan hanya media massa yang semakin mudah diakses pemegang peran penting. Bahkan media sosial yang setiap individu bisa mengakses, perang opini publik terjadi. Salah satunya melalui pembuatan tagar atau hashtag.
Dalam opini publik apakah kebenaran yang muncul? Bisa jadi. Namun, bisa jadi tidak. Meski begitu, kebanyakan opini publik lebih dekat pada pembenaran. Ketika kecepatan dan keterbukaan sebagai alat yang ampuh menciptakan opini publik yang cepat maka untuk mengatakan opini publik itu sebagai kebenaran juga akan sulit.
Seperti di atas, kecepatan dan keterbukaan lebih dekat ke kuantitas daripada kualitas informasi. Pada hakikatnya membangun opini publik itu adalah sebuah upaya untuk indoktrinasi kepada khalayak agar percaya dengan informasi yang disebarkan.
Inilah yang akhirnya memunculkan istilah post-truth atau pascakebenaran. Di mana kebenaran menjadi sesuatu yang subjektif, bukan lagi objektif.
Dikatakan subjektif karena terpaan informasi yang begitu kuat dan mudah membuat khalayak seperti tidak sempat untuk berpikir dan mencari lebih dalam sebuah informasi.
Ketika indoktrinasi terjadi, maka emosi khalayak menjadi goyah. Nalar ataupun logika menjadi tersisih. Yang terjadi akhirnya menerima apa adanya informasi dengan hanya emosi tanpa dibarengi nalar dan logika. Inilah yang membuat kebenaran bukan lagi menjadi sebuah objektif, tapi subjektif. Ujungnya adalah muncul konflik sosial.
Pengalaman pilkada dan pemilu adalah salah satu bagaimana terjadi perang opini publik. Pendukung dua kubu berseberangan seperti kehilangan nalar dan logika. Mereka sekadar menggunakan emosi.
Muncullah kebencian mendalam atau berlebihan. Dan, kecintaan mendalam atau berlebihan. Bukankah sesuatu yang berlebihan itu lebih dekat ke radikalisme? Inilah risiko yang harus dihadapi ketika terjadi evolusi atau bahkan revolusi informasi. Semakin banyak informasi yang berseliweran semestinya harus juga diikuti dengan kekuatan khalayak dalam mengayak informasi.
Lebih banyak berkomunikasi dengan pihak luar bahkan yang berseberangan akan menjadi saringan khalayak menilai sebuah informasi. Membuka komunikasi selebar mungkin akan menambah referensi pikiran kita, selain membaca sumber-sumber informasi yang lebih banyak.
Bagi institusi atau pemimpin memang akan cukup sulit melawan opini publik. Sebuah kebijakan menjadi sebuah kesalahan (meskipun mungkin itu benar) jika berseberangan dengan opini publik. Menghadapi opini publik harus dengan keteguhan hati. Pembuktian yang nyata akan sangat membantu menghadapi opini publik meskipun belum tentu bisa menghilangkan.
Namun, inilah yang terjadi dengan bangsa ini. Ketika opini publik bertarung, khalayak akan semakin sulit melihat kebenaran. Kunci untuk mengintip kebenaran hanya dengan nalar dan logika, bukan hanya emosi.
Inilah kekuatan baru informasi. Mudah disebarkan sehingga mudah pula didapatkan. Jika 20 tahun lalu ada sebuah informasi yang bisa tertutup rapat, sekarang hanya sedikit saja yang mungkin tertutup rapat.
Terbuka dan cepat yang membuat informasi begitu mudah diterima masyarakat. Ketika berbicara terbuka dan cepat, maka akan identik dengan kuantitas dan jauh dengan kualitas. Sehingga, kualitas informasi tersebut juga dipertanyakan karena kecepatan dan keterbukaan tersebut. Inilah evolusi atau kalau mau mengatakan, revolusi informasi di masyarakat.
Dampak lain adalah bagaimana opini publik mudah terbentuk. Jika dulu opini publik hanya didominasi oleh seseorang atau lembaga yang mempunyai peran penting, sekarang opini publik bisa dibentuk oleh individu atau kelompok individu tertentu. Individu atau kelompok individu kini mempunyai (menjangkau) akses dalam menyebarkan informasi untuk memengaruhi opini publik.
Dulu mungkin ini menjadi persoalan dalam membuat opini publik. Jika dulu opini publik hanya bisa dilakukan oleh yang mempunyai peran penting dan akses ke media massa (misalnya), sekarang tidak lagi.
Jika dulu nyaris tidak ada perang opini publik, maka sekarang perang opini publik sering terjadi. Bukan hanya media massa yang semakin mudah diakses pemegang peran penting. Bahkan media sosial yang setiap individu bisa mengakses, perang opini publik terjadi. Salah satunya melalui pembuatan tagar atau hashtag.
Dalam opini publik apakah kebenaran yang muncul? Bisa jadi. Namun, bisa jadi tidak. Meski begitu, kebanyakan opini publik lebih dekat pada pembenaran. Ketika kecepatan dan keterbukaan sebagai alat yang ampuh menciptakan opini publik yang cepat maka untuk mengatakan opini publik itu sebagai kebenaran juga akan sulit.
Seperti di atas, kecepatan dan keterbukaan lebih dekat ke kuantitas daripada kualitas informasi. Pada hakikatnya membangun opini publik itu adalah sebuah upaya untuk indoktrinasi kepada khalayak agar percaya dengan informasi yang disebarkan.
Inilah yang akhirnya memunculkan istilah post-truth atau pascakebenaran. Di mana kebenaran menjadi sesuatu yang subjektif, bukan lagi objektif.
Dikatakan subjektif karena terpaan informasi yang begitu kuat dan mudah membuat khalayak seperti tidak sempat untuk berpikir dan mencari lebih dalam sebuah informasi.
Ketika indoktrinasi terjadi, maka emosi khalayak menjadi goyah. Nalar ataupun logika menjadi tersisih. Yang terjadi akhirnya menerima apa adanya informasi dengan hanya emosi tanpa dibarengi nalar dan logika. Inilah yang membuat kebenaran bukan lagi menjadi sebuah objektif, tapi subjektif. Ujungnya adalah muncul konflik sosial.
Pengalaman pilkada dan pemilu adalah salah satu bagaimana terjadi perang opini publik. Pendukung dua kubu berseberangan seperti kehilangan nalar dan logika. Mereka sekadar menggunakan emosi.
Muncullah kebencian mendalam atau berlebihan. Dan, kecintaan mendalam atau berlebihan. Bukankah sesuatu yang berlebihan itu lebih dekat ke radikalisme? Inilah risiko yang harus dihadapi ketika terjadi evolusi atau bahkan revolusi informasi. Semakin banyak informasi yang berseliweran semestinya harus juga diikuti dengan kekuatan khalayak dalam mengayak informasi.
Lebih banyak berkomunikasi dengan pihak luar bahkan yang berseberangan akan menjadi saringan khalayak menilai sebuah informasi. Membuka komunikasi selebar mungkin akan menambah referensi pikiran kita, selain membaca sumber-sumber informasi yang lebih banyak.
Bagi institusi atau pemimpin memang akan cukup sulit melawan opini publik. Sebuah kebijakan menjadi sebuah kesalahan (meskipun mungkin itu benar) jika berseberangan dengan opini publik. Menghadapi opini publik harus dengan keteguhan hati. Pembuktian yang nyata akan sangat membantu menghadapi opini publik meskipun belum tentu bisa menghilangkan.
Namun, inilah yang terjadi dengan bangsa ini. Ketika opini publik bertarung, khalayak akan semakin sulit melihat kebenaran. Kunci untuk mengintip kebenaran hanya dengan nalar dan logika, bukan hanya emosi.
(rhs)