Pusat Studi Hukum Tata Negara UI: Revisi UU Hilangkan Independensi KPK

Senin, 16 September 2019 - 17:05 WIB
Pusat Studi Hukum Tata...
Pusat Studi Hukum Tata Negara UI: Revisi UU Hilangkan Independensi KPK
A A A
JAKARTA - Keputusan DPR dan pemerintah merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menuai polemik. Tidak sedikit yang menolak rencana tersebut.

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN-FHUI) menilai revisi UU KPK yang digulirkan oleh DPR belakangan telah memicu kekisruhan di masyarakat.

Mereka juga mengkritik sikap Presiden Joko Widodo yang diharapkan oleh masyarakat memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi justru secepat kilat memberikan respons ikut menyetujui dan memberikan beberapa catatan.

"Pekerjaan besar yang ditargetkan untuk selesai sebelum berakhirnya periode DPR 2014-2019 ini semakin memperlihatkan kegagalan DPR dan Presiden dalam memetakan masalah terkait upaya pemberantasan korupsi," kata Ketua PSHTN-FHUI, Mustafa Fakhri dalam pernyataan sikap PSHTN-FHUI yang diterima SINDOnews, Senin (16/9/2019).

Mustafa menilai revisi UU KPK justru menghilangkan independensi KPK dan berdampak pada desain kelembagaan. Misalnya mengenai revisi terkait kedudukan KPK sebagai lembaga pemerintah, pembentukan Dewan Pengawas, perlunya konfirmasi atau izin lembaga lain dalam pelaksanaan kewenangan.

Menurut dia, pendekatan kelembagaan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden tersebut justru sangat kontraproduktif, bahkan dianggap sebagai pelemahan upaya pemberantasan korupsi.

"Keberadaan lembaga pengawas mungkin diperlukan, namun sebatas pengawasan terhadap etika dan moral para komisioner dan aparatur di tubuh KPK, bukan pengawasan apalagi mekanisme konfirmasi terhadap pelaksanaan kewenangan pro justitia. Padahal UU KPK telah mengatur mekanisme checks and balances tersebut," tuturnya.

Lagipula, lanjut dia, berbagai UU telah mengatur tentang transparansi dan akuntabilitas publik lembaga negara sehingga ada partisipasi masyarakat dalam mengontrol KPK.

PSHTN-FHUI juga menyoroti ketentuan mengenai pemberhentian pimpinan KPK dalam revisi UU KPK juga rawan politisasi dengan memasukkan klausula “melakukan perbuatan tercela”.

"Pengertian 'perbuatan tercela' dalam revisi UU KPK dapat dimaknai sebagai “pasal karet” yang memungkinkan digunakan untuk menjegal Pimpinan KPK secara politis," tuturnya.

Menurut dia, itu akan mengganggu kinerja KPK ke depan sebab pimpinan KPK terancam dipolitisasi dalam menjalankan jabatannya.

DPR dan Presiden, kata Mustafa, sepatutnya membangun upaya pemberantasan korupsi dengan pendekatan mekanisme sehingga dapat melihat permasalahan secara lebih utuh, menyeluruh dan strategis.

DPR juga diminta mempertimbangkan ulang kehendaknya merevisi RUU KPK yang terkesan dipaksakan dan dinilai tidak transparan.

"Publik mencatat Revisi UU KPK tidak ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019, padahal UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur penyusunan suatu undang-undang berdasarkan pada Prolegnas," tutur Mustafa.

Dia menjelaskan, UU tersebut juga mengamanatkan keterlibatan lembaga negara membahas RUU menyangkut lembaga negara tersebut.

DPR dikatakannya juga harus memberikan ruang hak partisipasi masyarakat dalam tahap pembahasan, hal mana yang dianggap sulit oleh publik mengingat masa kerja DPR periode ini hanya tersisa kurang dari 30 hari.

"Presiden seharusnya dapat membentuk kebijakan terkait dengan reformasi seluruh institusi penegak hukum. Beberapa konflik terbuka antara law enforcement agencies, sudah menjadi indikasi adanya ketidakberesan. Apalagi dengan ditambah dengan aksi terror terhadap beberapa penyidik KPK," tutur Mustafa.

Atas pendapatnya itu, PSHTN-FHUI menyatakan menolak Revisi UU KPK yang tidak menyelesaikan masalah-masalah penegakan hukum secara strategis.

"Karenanya, wacana Revisi UU KPK ini hendaklah dilaksanakan dengan tidak tergesa-gesa serta terlebih dahulu memperhatikan pemberantasan korupsi dalam skema yang luas dengan pemetaan masalah secara tepat," kata Mustafa.

PSHTN UI juga menuntut DPR dan Presiden untuk membuka ruang partisipasi publik secara luas terhadap revisi UU KPK dengan melibatkan KPK sebagai pemangku kepentingan utama.

"Mendesak Presiden Joko Widodo untuk konsisten dengan janji kampanyenya dengan mendukung penguatan kelembagaan KPK dan menggunakan constitutional power-nya dengan tidak mengabaikan aspirasi rakyat yang didukung oleh kalangan akademisi," katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7919 seconds (0.1#10.140)