Mahfud MD Nilai DPR Tidak Transparan Soal Materi Revisi UU KPK
Minggu, 15 September 2019 - 16:36 WIB

Mahfud MD Nilai DPR Tidak Transparan Soal Materi Revisi UU KPK
A
A
A
YOGYAKARTA - Hingga saat ini gelombang pro dan kontra pembahasan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) masih berlanjut. Padahal banyak susbtansi materi yang tidak sampai ke masyarakat sehingga menjadikan agenda pembahasan bisa di masyarakat.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD, pembahasan rancangan UU memang memiliki prosedur. Di antaranya adalah menggelar rapat dengar pendapat publik.
"Seperti halnya revisi UU KPK ini, masyarakat harus tahu," terangnya kepada wartawan di Yogyakarta, Minggu (15/9/2019).
Namun demikian, sampai saat ini materi yang akan dibahas DPR tidak pernah sampai ke publik. "Saya mencoba melihat website juga tidak ada. Padahal setiap rancangan peraturan perundangan harus diasah dengan azas keterbukaan, saya hanya mendengar lisan ada 20 atau 11, saya hanya mendengar beberapa beberapa," ujarnya.
Dijelaskannya, UU KPK adalah sifatnya umum sehingga perlu mekanisme rapat dengar pendapat publik. Untuk itu ketika ada pembahasan memang ada mekanismenya yang harus dilalui. "Karena normal adalah waktu tersisa tinggal 18 hari karena masa kerja DPR itulah masalahnya," ucap dia.
Salah satu yang mencuat adalah pemberian surat penghentian penyidikan perkara (SP3) serta Dewan Pengawas KPK. Menurut Mahfud, hal tersebut memang penting untuk dibahas dengan publik karena kita adalah negara demokrasi.
"Misalnya mengapa orang menjadi tersangka seumur hidup tidak ada SP3. Seperti rektor Universitas Airlangga Surabaya, lima tahun jadi tersangka, ditetapkan tersangka istrinya meninggal, nah kan butuh kepastian hukum sampai hampir lima tahun," tandasnya.
Bahkan, kata Mahfud, ada yang berstatus tersangka sampai dia meninggal. Karena itu, dia menilai penting adanya SP3 di KPK. "Usulan presiden baik pentingnya dilakukan SP3 bagi kasus yang dasar pembuktiannya tidak kuat," ucap Guru Besar Hukum UII ini.
Dia juga menyinggung perlunya pengawasan lembaga antirasuah tersebut. Menurutnya kalau pembentukan Deean Pengawas pro justisia maka tujuannya baik. "Salah satu contoh ketika ada OTT, Komisioner KPK menyatakan tidak tahu, namun karena komisoner maka ikut prosedur mengumumkan, jadi kan perlu diawasi. Ini yang jadi masalah karena harus ada yang bertanggung jawab. Makanya pro justisianya bagaimana siapa yang berhak mengawasi," jelas dia.
Dalam hal revisi UU KPK, dia menilai pemerintah memiliki waktu 60 hari yang bisa digunakan untuk mendengar aspirasi masyarakat. "Bisa ke kampus-kampus kumpulkan advokat, dengan ini siapa yang dianggap pro justisia. Idenya rasional dan bagus demi perbaikan hukum, "pungkasnya.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD, pembahasan rancangan UU memang memiliki prosedur. Di antaranya adalah menggelar rapat dengar pendapat publik.
"Seperti halnya revisi UU KPK ini, masyarakat harus tahu," terangnya kepada wartawan di Yogyakarta, Minggu (15/9/2019).
Namun demikian, sampai saat ini materi yang akan dibahas DPR tidak pernah sampai ke publik. "Saya mencoba melihat website juga tidak ada. Padahal setiap rancangan peraturan perundangan harus diasah dengan azas keterbukaan, saya hanya mendengar lisan ada 20 atau 11, saya hanya mendengar beberapa beberapa," ujarnya.
Dijelaskannya, UU KPK adalah sifatnya umum sehingga perlu mekanisme rapat dengar pendapat publik. Untuk itu ketika ada pembahasan memang ada mekanismenya yang harus dilalui. "Karena normal adalah waktu tersisa tinggal 18 hari karena masa kerja DPR itulah masalahnya," ucap dia.
Salah satu yang mencuat adalah pemberian surat penghentian penyidikan perkara (SP3) serta Dewan Pengawas KPK. Menurut Mahfud, hal tersebut memang penting untuk dibahas dengan publik karena kita adalah negara demokrasi.
"Misalnya mengapa orang menjadi tersangka seumur hidup tidak ada SP3. Seperti rektor Universitas Airlangga Surabaya, lima tahun jadi tersangka, ditetapkan tersangka istrinya meninggal, nah kan butuh kepastian hukum sampai hampir lima tahun," tandasnya.
Bahkan, kata Mahfud, ada yang berstatus tersangka sampai dia meninggal. Karena itu, dia menilai penting adanya SP3 di KPK. "Usulan presiden baik pentingnya dilakukan SP3 bagi kasus yang dasar pembuktiannya tidak kuat," ucap Guru Besar Hukum UII ini.
Dia juga menyinggung perlunya pengawasan lembaga antirasuah tersebut. Menurutnya kalau pembentukan Deean Pengawas pro justisia maka tujuannya baik. "Salah satu contoh ketika ada OTT, Komisioner KPK menyatakan tidak tahu, namun karena komisoner maka ikut prosedur mengumumkan, jadi kan perlu diawasi. Ini yang jadi masalah karena harus ada yang bertanggung jawab. Makanya pro justisianya bagaimana siapa yang berhak mengawasi," jelas dia.
Dalam hal revisi UU KPK, dia menilai pemerintah memiliki waktu 60 hari yang bisa digunakan untuk mendengar aspirasi masyarakat. "Bisa ke kampus-kampus kumpulkan advokat, dengan ini siapa yang dianggap pro justisia. Idenya rasional dan bagus demi perbaikan hukum, "pungkasnya.
(kri)