Akhiri Polemik Esemka
A
A
A
KEHADIRAN mobil dengan merek nasional Esemka Bima bagi sebagian orang merupakan akhir penantian hadirnya mobil yang diproduksi oleh anak bangsa. Namun, bagi sebagian masyarakat, muncul tanda tanya besar mengenai asal-usul mobil yang awalnya diklaim sebagai mobil nasional itu.Maklum saja, sejak pertama kali dikenalkan ke publik dan dihadiri oleh pejabat pemerintah termasuk Presiden Joko Widodo, Esemka Bima langsung menghadirkan polemik di tengah masyarakat. Ini lantaran, di jagat maya, tampilan mobil niaga itu terlihat mirip dengan salah satu model dari pabrikan China, Changan Star Truck. Spesifikasi mesin yang digunakan pun memiliki kemiripan.
Alhasil, masyarakat pun menduga mobil itu adalah mobil yang diproduksi oleh pabrikan China. Sah-sah saja masyarakat berpendapat demikian. Apalagi, tak ada penjelasan resmi dari PT Solo Manufaktur Kreasi yang disebut-sebut memproduksi mobil ini secara utuh di pabriknya, Boyolali, Jawa Tengah.
Perusahaan tersebut terkesan tertutup dan tak mau membuka kepada publik tentang proses produksinya. Termasuk mengenai pemasok-pemasok komponen lokal yang diklaim saat ini berkontribusi sebesar 60% terhadap produk yang dihasilkan.Justru, yang sibuk memberikan penjelasan adalah pemerintah melalui Kementerian Perindustrian. Padahal, PT Solo Manufaktur Kreasi berstatus sebagai perusahaan swasta murni, bukan badan usaha milik negara (BUMN). Hal inilah salah satu yang disinyalir semakin "membakar"masyarakat untuk terus mengkritisi mobil perdana yang diproduksi di Boyolali itu.
Terlebih, kemunculan mobil ini pada 2012 silam kental aroma politisnya. Saat itu Esemka diklaim diproduksi oleh pelajar-pelajar yang masih duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK). Padahal, untuk memproduksi sebuah mobil dibutuhkan proses yang panjang dengan investasi yang sangat besar. Termasuk melakukan penelitian dan pengembangan (research and development ) yang melibatkan chief engineer bersama timnya. Kemudian dilanjutkan dengan menciptakan prototipe sebelum dilakukan pengujian terkait tingkat keselamatan dan kelaikan jalan. Baru kemudian, masuk ke dalam proses produksi secara massal.
Saat itu masyarakat seolah dibuat "tuna istilah" sehingga tidak bisa membedakan antara produk yang hanya dirakit (assembled ) dengan produk yang diproduksi melalui proses yang panjang (manufactured ). Alhasil, tiga tahun setelah mobil itu menghebohkan negeri ini, lalu mendadak tenggelam bak ditelan bumi dan hanya menjadi wacana-wacana ringan.
Nah, agar kejadian serupa tak terulang lagi, ada baiknya pemerintah memberikan keleluasaan kepada PT Solo Manufaktur Kreasi untuk memberikan penjelasan kepada publik. Bukan malah meng-endorse perusahaan tersebut seolah olah menjadi bagian dari pemerintah yang wajib untuk dipromosikan. Pasalnya, masyarakat menunggu kejelasan mengenai kualitas Esemka Bima, bukan sekadar mempersoalkan mobil tersebut diproduksi di mana. Karena mobil itu nantinya akan digunakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan seperti yang diungkapkan oleh pemerintah.Tentunya, aspek durability dan safety menjadi faktor penting mengingat di kawasan perdesaan memiliki kontur jalan yang lebih berat dibandingkan dengan perkotaan. Hal lain yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah klaim 60% komponen lokal yang digunakan mobil tersebut. Pertanyaannya, jika mobil itu benar-benar diproduksi di dalam negeri, mengapa tingkat kandungan dalam negeri (TKDN)-nya hanya 60%, kalah jauh dibandingkan produk salah satu pabrikan Jepang yang memiliki TKDN hingga 90%. Yang paling membuat heboh di masyarakat adalah klaim bahwa mesin, transmisi Esemka Bima sudah diproduksi sendiri oleh produsen. Namun, klaim tersebut justru dibantah sendiri oleh pemerintah dengan menegaskan bahwa mesin, transmisi, dan axle Esemka Bima masih diimpor.
Sementara untuk komponen rangka ditegaskan diproduksi oleh PT Inka dan beberapa produsen lainnya. Juga komponen bodi serta kaki-kaki yang dibuat oleh beberapa perusahaan dalam negeri. Termasuk ban yang dipasok oleh GT Radial, dan pelek yang juga dipasok oleh produsen pelek dalam negeri.
Pemerintah perlu memberikan keleluasaan kepada PT Solo Manufaktur Kreasi untuk menjelaskan publik sehingga tidak terkesan menjadi promotor bagi produk-produk yang dihasilkan. Masyarakat pun tak perlu terlalu membesar-besarkan persoalan tersebut, karena Esemka juga memberikan dampak positif membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Kini, keputusan ada di tangan masyarakat. Jika menilai Esemka Bima cocok dan layak untuk dibeli, tentu tak ada masalah.
Yang jelas, persaingan industri automotif sangat ketat karena ada banyak produsen automotif yang telah lebih dulu berjualan di Indonesia dengan kualitas yang baik, sehingga Esemka akan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Di sinilah dukungan pemerintah diperlukan agar automotif produksi anak bangsa ini bisa bersaing dan sukses setidaknya di negeri sendiri.
Alhasil, masyarakat pun menduga mobil itu adalah mobil yang diproduksi oleh pabrikan China. Sah-sah saja masyarakat berpendapat demikian. Apalagi, tak ada penjelasan resmi dari PT Solo Manufaktur Kreasi yang disebut-sebut memproduksi mobil ini secara utuh di pabriknya, Boyolali, Jawa Tengah.
Perusahaan tersebut terkesan tertutup dan tak mau membuka kepada publik tentang proses produksinya. Termasuk mengenai pemasok-pemasok komponen lokal yang diklaim saat ini berkontribusi sebesar 60% terhadap produk yang dihasilkan.Justru, yang sibuk memberikan penjelasan adalah pemerintah melalui Kementerian Perindustrian. Padahal, PT Solo Manufaktur Kreasi berstatus sebagai perusahaan swasta murni, bukan badan usaha milik negara (BUMN). Hal inilah salah satu yang disinyalir semakin "membakar"masyarakat untuk terus mengkritisi mobil perdana yang diproduksi di Boyolali itu.
Terlebih, kemunculan mobil ini pada 2012 silam kental aroma politisnya. Saat itu Esemka diklaim diproduksi oleh pelajar-pelajar yang masih duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK). Padahal, untuk memproduksi sebuah mobil dibutuhkan proses yang panjang dengan investasi yang sangat besar. Termasuk melakukan penelitian dan pengembangan (research and development ) yang melibatkan chief engineer bersama timnya. Kemudian dilanjutkan dengan menciptakan prototipe sebelum dilakukan pengujian terkait tingkat keselamatan dan kelaikan jalan. Baru kemudian, masuk ke dalam proses produksi secara massal.
Saat itu masyarakat seolah dibuat "tuna istilah" sehingga tidak bisa membedakan antara produk yang hanya dirakit (assembled ) dengan produk yang diproduksi melalui proses yang panjang (manufactured ). Alhasil, tiga tahun setelah mobil itu menghebohkan negeri ini, lalu mendadak tenggelam bak ditelan bumi dan hanya menjadi wacana-wacana ringan.
Nah, agar kejadian serupa tak terulang lagi, ada baiknya pemerintah memberikan keleluasaan kepada PT Solo Manufaktur Kreasi untuk memberikan penjelasan kepada publik. Bukan malah meng-endorse perusahaan tersebut seolah olah menjadi bagian dari pemerintah yang wajib untuk dipromosikan. Pasalnya, masyarakat menunggu kejelasan mengenai kualitas Esemka Bima, bukan sekadar mempersoalkan mobil tersebut diproduksi di mana. Karena mobil itu nantinya akan digunakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan seperti yang diungkapkan oleh pemerintah.Tentunya, aspek durability dan safety menjadi faktor penting mengingat di kawasan perdesaan memiliki kontur jalan yang lebih berat dibandingkan dengan perkotaan. Hal lain yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah klaim 60% komponen lokal yang digunakan mobil tersebut. Pertanyaannya, jika mobil itu benar-benar diproduksi di dalam negeri, mengapa tingkat kandungan dalam negeri (TKDN)-nya hanya 60%, kalah jauh dibandingkan produk salah satu pabrikan Jepang yang memiliki TKDN hingga 90%. Yang paling membuat heboh di masyarakat adalah klaim bahwa mesin, transmisi Esemka Bima sudah diproduksi sendiri oleh produsen. Namun, klaim tersebut justru dibantah sendiri oleh pemerintah dengan menegaskan bahwa mesin, transmisi, dan axle Esemka Bima masih diimpor.
Sementara untuk komponen rangka ditegaskan diproduksi oleh PT Inka dan beberapa produsen lainnya. Juga komponen bodi serta kaki-kaki yang dibuat oleh beberapa perusahaan dalam negeri. Termasuk ban yang dipasok oleh GT Radial, dan pelek yang juga dipasok oleh produsen pelek dalam negeri.
Pemerintah perlu memberikan keleluasaan kepada PT Solo Manufaktur Kreasi untuk menjelaskan publik sehingga tidak terkesan menjadi promotor bagi produk-produk yang dihasilkan. Masyarakat pun tak perlu terlalu membesar-besarkan persoalan tersebut, karena Esemka juga memberikan dampak positif membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Kini, keputusan ada di tangan masyarakat. Jika menilai Esemka Bima cocok dan layak untuk dibeli, tentu tak ada masalah.
Yang jelas, persaingan industri automotif sangat ketat karena ada banyak produsen automotif yang telah lebih dulu berjualan di Indonesia dengan kualitas yang baik, sehingga Esemka akan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Di sinilah dukungan pemerintah diperlukan agar automotif produksi anak bangsa ini bisa bersaing dan sukses setidaknya di negeri sendiri.
(mhd)