Kewajiban Sertifikasi Halal Siapkah Dilaksanakan?
A
A
A
Ikhsan Abdullah
Executive Partner Ikhsan Abdullah & Co,
Pengajar Universitas Al-Azhar Indonesia
Tanggal 17 Oktober 2019 adalah dimulainya pemberlakuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), khususnya terhadap ketentuan Pasal 4 yang menyebutkan, "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib besertifikat halal ".Selanjutnya, pengaturan mengenai dimulainya kewajiban besertifikasi halal diatur pada Pasal 67 angka 1 UU JPH yang menyebutkan, "Kewajiban besertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan ", yakni dimulai pada 17 Oktober 2019.
Perlu kita ketahui bahwa UU JPH diundangkan pada 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295. Pemberlakuan sebuah UU tentu akan menimbulkan kewajiban hukum bagi masyarakat.Publik dianggap mengetahui isi dari sebuah UU (Ficti Hukum), maka UU JPH akan berlaku dan mengikat pelaku usaha, industri, masyarakat konsumen dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) tanpa kecuali. Ada beberapa ketentuan yang sangat penting untuk dipahami dan dilaksanakan baik oleh pelaku usaha, industri, konsumen, dan BPJPH.
Pertama, ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk semua produknya wajib besertifikasi halal karena ada ketentuan Pasal 4. Dengan demikian, pelaku usaha dimulai dari usaha besar pabrikan sampai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) wajib melakukan sertifikasi halal terhadap produknya. Kedua, ketentuan Pasal 4 Jo Pasal 67 angka 1 menimbulkan kewajiban hukum bagi pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal.
Lalu, pertanyaan selanjutnya, apakah kewajiban sertifikasi halal dimulai pada 17 Oktober 2019?
Menjawab pertanyaan di atas, maka kewajiban melakukan sertifikasi halal baru akan dimulai pada 17 Oktober 2019. Berarti dimulainya pendaftaran proses sertifikasi halal mulai wajib dilakukan oleh pelaku usaha, dan itu artinya harus ada kewajiban dan tanggung jawab BPJPH untuk memastikan berapa lama proses sertifikasi halal tersebut selesai dilakukan.Yang perlu dipastikan antara lain di mana proses permohonan sertifikasi halal dapat dilakukan, apa saja persyaratannya, berapa tarifnya, bagaimana cara membayarnya, dan bagaimana pemohon dapat mengakses tahap dan proses sampai terbit sertifikasi halal.
Pertanyaan kedua, apakah pada 17 Oktober 2019 semua produk yang beredar sudah harus besertifikasi halal sesuai Pasal 67 angka 1 UU JPH? Bila dimaknai sesuai bunyi pasal tersebut, maka kewajiban besertifikasi halal dimulai pada 17 Oktober 2019 atau lebih sebulan ke depan. Artinya, produk yang masuk dan beredar di masyarakat sudah harus memiliki sertifikasi halal.Ini akan menimbulkan konsekuensi berupa larangan untuk produk yang masuk dan beredar jika belum besertifikasi halal. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hanya produk yang telah besertifikasi halal yang dapat beredar.
Lalu, bagaimana dengan jutaan produk UMKM yang pada saat 17 Oktober 2019 belum besertifikasi halal dan belum melakukan pendaftaran atau permohonan pendaftaran sertifikasi halal? Apakah tidak boleh beredar? Persoalan yang sangat penting ini harus dijawab oleh BPJPH melalui sosialisasi dan edukasi sampai kepada pelaku usaha dan masyarakat, baik melalui penyuluhan, penerangan media massa berupa koran, TV, maupun kampus dan berbagai forum diskusi hingga masyarakat paham mengenai kewajiban tersebut.
Perlu kita ketahui bersama bahwa sertifikasi halal sebelum berlakunya UU JPH diselenggarakan dengan prinsip sukarela (voluntary ) artinya sertifikasi halal hanya dilakukan atas dasar kemauan para pelaku usaha dengan kesadaran untuk memenuhi kebutuhan konsumennya dalam kaitannya untuk memenuhi tuntutan konsumen (consumer satisfaction ), dan kesediaan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM ) Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang telah mendapat mandat dari negara dan masyarakat untuk melakukan fungsinya sebagai lembaga sertifikasi halal sejak 30 tahun lalu.Pascapemberlakuan UU JPH, sertifikasi halal menjadi wajib (mandatory ). Karena telah menjadi kewajiban, maka mengikat bagi pelaku usaha dan penyelenggara. Kewajiban tersebut seharusnya dimulai lima tahun sejak UU JPH diberlakukan sesuai bunyi Pasal 67 angka 1 UU JPH.
Apa saja yang menjadi kewajiban pelaku usaha dan BPJPH? Bahwa mulai 17 Oktober 2019, maka semua produk masuk dan beredar wajib besertifikat halal, dikecualikan untuk yang memerlukan pengaturan secara bertahap seperti produk obat, vaksin, dan produk rekayasa teknologi dan genetika.Sedangkan untuk produk makanan, minuman, dan kosmetika tidak lagi diperlukan pengaturan penahapan, mengingat makanan dan minuman itu termasuk produk dengan kategori kebutuhan primer yang dikonsumsi secara masif dan telah diberikan waktu lima tahun untuk menyesuaikan dengan ketentuan UU JPH. Sedangkan kosmetika seharusnya juga disamakan dengan produk makanan dan minuman karena tidak ada kewajiban seseorang untuk menggunakan dan/atau tidak memakai kosmetika karena merupakan kebutuhan sekunder.
Lalu, bagaimana untuk produk impor? Pada dasarnya produk impor makanan dan minuman sudah wajib sertifikasi halal pada saat ini bila mengikuti ketentuan Pasal 4 jo Pasal 67 tanpa kecuali. Inilah fungsi utama UU JPH, yakni untuk dapat melindungi pasar domestik dari serbuan produk asing.
Lalu , apa saja kewajiban BPJPH? Sebagai badan sertifikasi halal yang diberikan kewenangan oleh UU JPH sesuai Pasal 5 dan seterusnya, BPJPH selain berwenang menerima pendaftaran, menerbitkan sertifikasi, dan mencabut sertifikasi halal, lembaga ini juga memiliki kewajiban untuk melakukan sosialisasi dan edukasi atas UU JPH.Selain itu, juga berkewajiban memberikan subsidi pembiayaan sesuai ketentuan Pasal 44 dengan kebijakan yang bersifat afirmatif sebagai konsekuensi negara mewajibkan sertifikasi halal yang semula bersifat sukarela menjadi wajib. Bila negara mengatur dan mewajibkan, maka ada kewajiban negara terhadap pembiayaan sertifikasi halal bagi UMKM agar tidak dianggap membebani dunia usaha dan dapat dijadikan sebagai instrumen competitive advantage dan dalam rangka negara hadir untuk melindungi masyarakat guna memperoleh jaminan mendapatkan produk halal.
Beberapa instrumen minimalis yang wajib disiapkan BPJPH sesuai tujuan sertifikasi halal, yakni harus transparan, akuntabel, dan berkepastian hukum. Kewajiban minimal yang harus dipenuhi sebagai berikut: 1) Adanya Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang diamanati UU untuk melakukan pemeriksaan atas produk yang dimohonkan sertifikasi halal yang terakreditasi; 2) Tersedianya auditor halal yang telah mendapatkan sertifikasi; 3) Kerja sama pemfatwaan produk halal dengan MUI.Kemudian 4). Laboratorium yang terakreditasi; 5) Tarif sertifikasi yang ditetapkan menteri keuangan; 6) Standar halal yang dipergunakan; 7) Sistem pendaftaran yang mudah diakses pemohon; 8) Perwakilan BPJPH di tingkat provinsi mengingat luasnya wilayah Indonesia; 9) Tahapan-tahapan atau alur sertifikasi yang harus jelas dan tersosialisasi kepada pelaku usaha, UKM, dan industri; 10) Jaminan kepastian waktu sertifikasi halal; 11) Logo sertifikasi halal; 12) Pelayanan administrasi pendaftaran dari tingkat pusat sampai tingkat wilayah; 13) Penerbitan sertifikasi halal; 14) Proteksi atas produk yang telah besertifikasi halal dengan uji sistem pendaftaran dan standar halal.
Poin-poin kewajiban tersebut di atas harus dipenuhi oleh BPJPH. Sebagai informasi kondisi riil saat ini, yakni sampai 8 September 2019, belum satu pun terbentuk LPH yang mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI sebagaimana amanat Pasal 13 UU JPH. Selanjutnya untuk mendapatkan akreditasi, LPH wajib memiliki auditor halal minimal tiga orang. Hingga saat ini belum ada satu pun auditor halal yang dihasilkan selama BPJPH dibentuk pada 14 Oktober 2014. Adapun auditor yang berjumlah 1.061 orang yang telah mendapatkan sertifikasi sebagai auditor halal dari MUI merupakan auditor yang selama ini bekerja pada LPPOM MUI di 34 wilayah provinsi dari Aceh hingga Papua.
Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai badan sertifikasi halal, BPJPH wajib menyiapkan sistem pendaftaran yang mudah diakses pelaku usaha, perwakilan BPJPH di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tarif sertifikasi halal yang lebih baik, di samping yang disebutkan di atas yakni perlunya auditor halal dan LPH.
Lalu, bagaimana dengan kesiapan BPJPH akan melakukan sertifikasi halal mengingat hingga saat ini BPJPH belum memenuhi satu pun poin-poin penting yang mutlak harus ada sebagaimana penulis sebutkan di atas, sementara waktunya hanya tersisa satu bulan lagi?
BPJHP juga selanjutnya harus menjalani sertifikasi oleh badan sertifikasi nasional yang berstandar internasional seperti Komite Akreditasi Nasional (KAN) di samping wajib melakukan uji publik untuk semua sistem yang akan diterapkan kepada dunia usaha dan industri agar tidak terjadi trial and error .
Keadaan inilah seharusnya BPJPH tidak dapat memaksakan dengan alasan apa pun untuk melakukan penerimaan pendaftaran sertifikasi halal pada 17 Oktober 2019 karena berbagai instrumen wajib sebagaimana yang diuraikan di atas belum satu pun dipenuhi.Bila tetap dipaksakan, maka akan menimbulkan keadaan yang lebih buruk bagi dunia usaha dan pemerintah, bahkan sebaliknya justru akan menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha yang berdampak pada melemahnya daya saing yang berakibat buruk bagi perekonomian nasional.
Agar pemerintah tidak dianggap melanggar UU dan kewajiban sertifikasi halal untuk semua produk yang masuk dan beredar tetap dapat dilaksanakan dengan baik, maka Presiden Jokowi wajib mengeluarkan peraturan presiden (perpres) agar Pasal 59 dan 60 UU JPH mengenai ketentuan peralihan dapat dipergunakan sebagai landasan hukum sampai BPJPH dapat berfungsi menjalankan kewenangannya sebagai Penyelenggara Sistem Jaminan Produk Halal dan Badan Sertifikasi Halal.Pasal tersebut menyebutkan "Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan. MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk ."
Bila tidak, atas semua ketidaksiapan tersebut di atas masyarakat dapat menganggap pemerintah tidak serius dan tidak siap melaksanakan UU JPH. Lebih jauh pemerintah dapat dianggap melanggar hukum. Maka beralasan juga bila ada sekelompok masyarakat yang berpendapat lain dan saat ini telah mengajukan hak uji materi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA) dan judicial review atas UU Nomor 33 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga, setidaknya penerapan PP tersebut dan implementasi terhadap UU JPH masih harus menunggu proses uji materi di MA da MK.
Sertifikasi halal itu sudah bukan lagi isu karena telah dijalankan dengan baik oleh LPPOM MUI selama 30 tahun dan telah mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat. LPPOM MUI juga berkontribusi besar bagi ketersediaan produk halal di masyarakat, dan tentu sertifikasi halal telah berperan sebagai instrumen pendorong bagi tumbuhnya industri halal.Saat ini yang harus kita fokuskan adalah bagaimana memperoleh manfaat dari perdagangan produk halal tersebut bagi masyarakat dan pemerintah agar mampu mendongkrak devisa. Bila kita masih terjebak pada bagaimana melakukan sertifikasi halal kapan dimulai, itu artinya kita mundur 30 tahun ke belakang.
Executive Partner Ikhsan Abdullah & Co,
Pengajar Universitas Al-Azhar Indonesia
Tanggal 17 Oktober 2019 adalah dimulainya pemberlakuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), khususnya terhadap ketentuan Pasal 4 yang menyebutkan, "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib besertifikat halal ".Selanjutnya, pengaturan mengenai dimulainya kewajiban besertifikasi halal diatur pada Pasal 67 angka 1 UU JPH yang menyebutkan, "Kewajiban besertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan ", yakni dimulai pada 17 Oktober 2019.
Perlu kita ketahui bahwa UU JPH diundangkan pada 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295. Pemberlakuan sebuah UU tentu akan menimbulkan kewajiban hukum bagi masyarakat.Publik dianggap mengetahui isi dari sebuah UU (Ficti Hukum), maka UU JPH akan berlaku dan mengikat pelaku usaha, industri, masyarakat konsumen dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) tanpa kecuali. Ada beberapa ketentuan yang sangat penting untuk dipahami dan dilaksanakan baik oleh pelaku usaha, industri, konsumen, dan BPJPH.
Pertama, ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk semua produknya wajib besertifikasi halal karena ada ketentuan Pasal 4. Dengan demikian, pelaku usaha dimulai dari usaha besar pabrikan sampai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) wajib melakukan sertifikasi halal terhadap produknya. Kedua, ketentuan Pasal 4 Jo Pasal 67 angka 1 menimbulkan kewajiban hukum bagi pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal.
Lalu, pertanyaan selanjutnya, apakah kewajiban sertifikasi halal dimulai pada 17 Oktober 2019?
Menjawab pertanyaan di atas, maka kewajiban melakukan sertifikasi halal baru akan dimulai pada 17 Oktober 2019. Berarti dimulainya pendaftaran proses sertifikasi halal mulai wajib dilakukan oleh pelaku usaha, dan itu artinya harus ada kewajiban dan tanggung jawab BPJPH untuk memastikan berapa lama proses sertifikasi halal tersebut selesai dilakukan.Yang perlu dipastikan antara lain di mana proses permohonan sertifikasi halal dapat dilakukan, apa saja persyaratannya, berapa tarifnya, bagaimana cara membayarnya, dan bagaimana pemohon dapat mengakses tahap dan proses sampai terbit sertifikasi halal.
Pertanyaan kedua, apakah pada 17 Oktober 2019 semua produk yang beredar sudah harus besertifikasi halal sesuai Pasal 67 angka 1 UU JPH? Bila dimaknai sesuai bunyi pasal tersebut, maka kewajiban besertifikasi halal dimulai pada 17 Oktober 2019 atau lebih sebulan ke depan. Artinya, produk yang masuk dan beredar di masyarakat sudah harus memiliki sertifikasi halal.Ini akan menimbulkan konsekuensi berupa larangan untuk produk yang masuk dan beredar jika belum besertifikasi halal. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hanya produk yang telah besertifikasi halal yang dapat beredar.
Lalu, bagaimana dengan jutaan produk UMKM yang pada saat 17 Oktober 2019 belum besertifikasi halal dan belum melakukan pendaftaran atau permohonan pendaftaran sertifikasi halal? Apakah tidak boleh beredar? Persoalan yang sangat penting ini harus dijawab oleh BPJPH melalui sosialisasi dan edukasi sampai kepada pelaku usaha dan masyarakat, baik melalui penyuluhan, penerangan media massa berupa koran, TV, maupun kampus dan berbagai forum diskusi hingga masyarakat paham mengenai kewajiban tersebut.
Perlu kita ketahui bersama bahwa sertifikasi halal sebelum berlakunya UU JPH diselenggarakan dengan prinsip sukarela (voluntary ) artinya sertifikasi halal hanya dilakukan atas dasar kemauan para pelaku usaha dengan kesadaran untuk memenuhi kebutuhan konsumennya dalam kaitannya untuk memenuhi tuntutan konsumen (consumer satisfaction ), dan kesediaan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM ) Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang telah mendapat mandat dari negara dan masyarakat untuk melakukan fungsinya sebagai lembaga sertifikasi halal sejak 30 tahun lalu.Pascapemberlakuan UU JPH, sertifikasi halal menjadi wajib (mandatory ). Karena telah menjadi kewajiban, maka mengikat bagi pelaku usaha dan penyelenggara. Kewajiban tersebut seharusnya dimulai lima tahun sejak UU JPH diberlakukan sesuai bunyi Pasal 67 angka 1 UU JPH.
Apa saja yang menjadi kewajiban pelaku usaha dan BPJPH? Bahwa mulai 17 Oktober 2019, maka semua produk masuk dan beredar wajib besertifikat halal, dikecualikan untuk yang memerlukan pengaturan secara bertahap seperti produk obat, vaksin, dan produk rekayasa teknologi dan genetika.Sedangkan untuk produk makanan, minuman, dan kosmetika tidak lagi diperlukan pengaturan penahapan, mengingat makanan dan minuman itu termasuk produk dengan kategori kebutuhan primer yang dikonsumsi secara masif dan telah diberikan waktu lima tahun untuk menyesuaikan dengan ketentuan UU JPH. Sedangkan kosmetika seharusnya juga disamakan dengan produk makanan dan minuman karena tidak ada kewajiban seseorang untuk menggunakan dan/atau tidak memakai kosmetika karena merupakan kebutuhan sekunder.
Lalu, bagaimana untuk produk impor? Pada dasarnya produk impor makanan dan minuman sudah wajib sertifikasi halal pada saat ini bila mengikuti ketentuan Pasal 4 jo Pasal 67 tanpa kecuali. Inilah fungsi utama UU JPH, yakni untuk dapat melindungi pasar domestik dari serbuan produk asing.
Lalu , apa saja kewajiban BPJPH? Sebagai badan sertifikasi halal yang diberikan kewenangan oleh UU JPH sesuai Pasal 5 dan seterusnya, BPJPH selain berwenang menerima pendaftaran, menerbitkan sertifikasi, dan mencabut sertifikasi halal, lembaga ini juga memiliki kewajiban untuk melakukan sosialisasi dan edukasi atas UU JPH.Selain itu, juga berkewajiban memberikan subsidi pembiayaan sesuai ketentuan Pasal 44 dengan kebijakan yang bersifat afirmatif sebagai konsekuensi negara mewajibkan sertifikasi halal yang semula bersifat sukarela menjadi wajib. Bila negara mengatur dan mewajibkan, maka ada kewajiban negara terhadap pembiayaan sertifikasi halal bagi UMKM agar tidak dianggap membebani dunia usaha dan dapat dijadikan sebagai instrumen competitive advantage dan dalam rangka negara hadir untuk melindungi masyarakat guna memperoleh jaminan mendapatkan produk halal.
Beberapa instrumen minimalis yang wajib disiapkan BPJPH sesuai tujuan sertifikasi halal, yakni harus transparan, akuntabel, dan berkepastian hukum. Kewajiban minimal yang harus dipenuhi sebagai berikut: 1) Adanya Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang diamanati UU untuk melakukan pemeriksaan atas produk yang dimohonkan sertifikasi halal yang terakreditasi; 2) Tersedianya auditor halal yang telah mendapatkan sertifikasi; 3) Kerja sama pemfatwaan produk halal dengan MUI.Kemudian 4). Laboratorium yang terakreditasi; 5) Tarif sertifikasi yang ditetapkan menteri keuangan; 6) Standar halal yang dipergunakan; 7) Sistem pendaftaran yang mudah diakses pemohon; 8) Perwakilan BPJPH di tingkat provinsi mengingat luasnya wilayah Indonesia; 9) Tahapan-tahapan atau alur sertifikasi yang harus jelas dan tersosialisasi kepada pelaku usaha, UKM, dan industri; 10) Jaminan kepastian waktu sertifikasi halal; 11) Logo sertifikasi halal; 12) Pelayanan administrasi pendaftaran dari tingkat pusat sampai tingkat wilayah; 13) Penerbitan sertifikasi halal; 14) Proteksi atas produk yang telah besertifikasi halal dengan uji sistem pendaftaran dan standar halal.
Poin-poin kewajiban tersebut di atas harus dipenuhi oleh BPJPH. Sebagai informasi kondisi riil saat ini, yakni sampai 8 September 2019, belum satu pun terbentuk LPH yang mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI sebagaimana amanat Pasal 13 UU JPH. Selanjutnya untuk mendapatkan akreditasi, LPH wajib memiliki auditor halal minimal tiga orang. Hingga saat ini belum ada satu pun auditor halal yang dihasilkan selama BPJPH dibentuk pada 14 Oktober 2014. Adapun auditor yang berjumlah 1.061 orang yang telah mendapatkan sertifikasi sebagai auditor halal dari MUI merupakan auditor yang selama ini bekerja pada LPPOM MUI di 34 wilayah provinsi dari Aceh hingga Papua.
Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai badan sertifikasi halal, BPJPH wajib menyiapkan sistem pendaftaran yang mudah diakses pelaku usaha, perwakilan BPJPH di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tarif sertifikasi halal yang lebih baik, di samping yang disebutkan di atas yakni perlunya auditor halal dan LPH.
Lalu, bagaimana dengan kesiapan BPJPH akan melakukan sertifikasi halal mengingat hingga saat ini BPJPH belum memenuhi satu pun poin-poin penting yang mutlak harus ada sebagaimana penulis sebutkan di atas, sementara waktunya hanya tersisa satu bulan lagi?
BPJHP juga selanjutnya harus menjalani sertifikasi oleh badan sertifikasi nasional yang berstandar internasional seperti Komite Akreditasi Nasional (KAN) di samping wajib melakukan uji publik untuk semua sistem yang akan diterapkan kepada dunia usaha dan industri agar tidak terjadi trial and error .
Keadaan inilah seharusnya BPJPH tidak dapat memaksakan dengan alasan apa pun untuk melakukan penerimaan pendaftaran sertifikasi halal pada 17 Oktober 2019 karena berbagai instrumen wajib sebagaimana yang diuraikan di atas belum satu pun dipenuhi.Bila tetap dipaksakan, maka akan menimbulkan keadaan yang lebih buruk bagi dunia usaha dan pemerintah, bahkan sebaliknya justru akan menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha yang berdampak pada melemahnya daya saing yang berakibat buruk bagi perekonomian nasional.
Agar pemerintah tidak dianggap melanggar UU dan kewajiban sertifikasi halal untuk semua produk yang masuk dan beredar tetap dapat dilaksanakan dengan baik, maka Presiden Jokowi wajib mengeluarkan peraturan presiden (perpres) agar Pasal 59 dan 60 UU JPH mengenai ketentuan peralihan dapat dipergunakan sebagai landasan hukum sampai BPJPH dapat berfungsi menjalankan kewenangannya sebagai Penyelenggara Sistem Jaminan Produk Halal dan Badan Sertifikasi Halal.Pasal tersebut menyebutkan "Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan. MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk ."
Bila tidak, atas semua ketidaksiapan tersebut di atas masyarakat dapat menganggap pemerintah tidak serius dan tidak siap melaksanakan UU JPH. Lebih jauh pemerintah dapat dianggap melanggar hukum. Maka beralasan juga bila ada sekelompok masyarakat yang berpendapat lain dan saat ini telah mengajukan hak uji materi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA) dan judicial review atas UU Nomor 33 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga, setidaknya penerapan PP tersebut dan implementasi terhadap UU JPH masih harus menunggu proses uji materi di MA da MK.
Sertifikasi halal itu sudah bukan lagi isu karena telah dijalankan dengan baik oleh LPPOM MUI selama 30 tahun dan telah mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat. LPPOM MUI juga berkontribusi besar bagi ketersediaan produk halal di masyarakat, dan tentu sertifikasi halal telah berperan sebagai instrumen pendorong bagi tumbuhnya industri halal.Saat ini yang harus kita fokuskan adalah bagaimana memperoleh manfaat dari perdagangan produk halal tersebut bagi masyarakat dan pemerintah agar mampu mendongkrak devisa. Bila kita masih terjebak pada bagaimana melakukan sertifikasi halal kapan dimulai, itu artinya kita mundur 30 tahun ke belakang.
(nag)