Kepemimpinan yang Mengerdilkan Golkar
A
A
A
JAKARTA - Bambang Soesatyo
Wakil Ketua Koordinator Bidang Pratama DPP Partai Golkar 2017–2019/Bendahara Umum DPP Partai Golkar 2014–2016
PENGERDILAN Partai Golkar akibat kepemimpinan yang lemah harus dihentikan. Perilaku otoriter dan diskriminatif harus dilawan sebelum berkembang menjadi sebuah preseden. Jika kepemimpinan yang lemah seperti sekarang dibiarkan, Golkar akan menjadi partai politik minimalis yang sekadar berburu jabatan menteri.
Persepsi tentang proses pengerdilan Golkar mulai terbentuk. Hari-hari ini Partai Golkar terus ditertawakan oleh khalayak, utamanya para pemerhati. Ada alasan bagi khalayak mengolok-olok Partai Golkar. Sebab hampir setiap hari selalu saja muncul drama konyol yang kemudian menjadi pemberitaan pers.
Ada drama tentang rebutan kantor dewan pimpinan pusat (DPP), pengerahan preman untuk menjaga kantor DPP, larangan bagi pengurus DPP menggunakan kantor, drama pemecatan, ritual sumpah setia hingga rapat-rapat pengurus yang berlangsung di sejumlah tempat. Wajar jika semua kekonyolan ini menjadi tertawaan publik. Kecuali segelintir orang di DPP, semua kader Golkar terpaksa menanggung malu.
Sejarah memang mencatat bahwa Partai Golkar sarat pengalaman. Tetapi fakta bahwa hari-hari ini Golkar tak bisa mengurus dirinya sendiri tak dapat ditutup-tutupi lagi. Semua masalah itu bersumber dari kepemimpinan yang kurang kuat. Ketua Umum Airlangga Hartarto dan orang-orang kepercayaannya di DPP tak mampu mengelola aspirasi kader dan perbedaan pendapat di tubuh partai.
Ketidakmampuan itu kemudian dikompensasi dengan tindakan otoriter berupa pemecatan pengurus di pusat dan daerah, penerapan kebijakan diskriminatif dan menyuruh oknum preman menggembok gerbang DPP di bilangan Slipi, Jakarta.
Dengan perilaku kepemimpinan seperti itu, Golkar seperti sedang dikemas menjadi partai politik yang minimalis. Ambisi atau target tak perlu besar. Cukup menjadi partai pendukung pemerintah lalu berharap belas kasih dari Presiden untuk mendapatkan jabatan menteri. Karena itu, konsolidasi partai pasca-Pemilu 2019 tidak masuk skala prioritas DPP Golkar.
Rapat pleno tak pernah diselenggarakan sehingga jadwal pelaksanaan musyawarah nasional (munas) belum jelas benar. Tampaknya para kader memang tidak berharap banyak dari elite Golkar. Hari-hari ini, orang-orang di DPP sedang sibuk menimbang-nimbang kader siapa menjadi menteri apa.
Tidak ada orang di DPP Golkar yang berbicara atau membahas target Pilkada 2020 dan target Pemilu 2024. Padahal gong bagi persiapan Pilkada 2020 sudah dibunyikan. Parpol lain sudah bergerak dan bersiap karena ingin meraih hasil maksimal dari Pilkada 2020. Partai Golkar akan meraih hasil yang sangat minimal jika pengurus pusat dan daerah tidak solid.
Kepemimpinan Airlangga dan orang-orang kepercayaannya telah merusak soliditas partai. Kalau keadaan seperti sekarang ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kebesaran Partai Golkar akan sirna di Pilkada 2020. Artinya, jika DPP Golkar tidak signifikan dalam merespons urgensi tentang persiapan Pilkada 2020, pengerdilan Partai Golkar sedang berporses.
Mau tak mau, kepemimpinan yang lemah dan kekanak-kanakan seperti sekarang ini harus dihentikan. Perilaku otoriter dan diskriminatif harus dilawan sebelum berkembang menjadi sebuah preseden. Akan sangat berbahaya bagi masa depan Partai Golkar jika gaya kepemimpinan sekarang ini menjadi preseden. Kemungkinan ini harus dicegah melalui mekanisme partai. Kalau opsi munas dihalang-halangi, opsi musyawarah nasional luar biasa (munaslub) menjadi pilihan yang tak bisa dihindari.
Menuju Pilkada 2020
Belum lama ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memberikan pesan kepada semua pihak yang berkepentingan dengan pelaksanaan Pilkada 2020. Tentu saja pesan KPU itu juga dialamatkan kepada semua parpol, termasuk Partai Golkar. Sebagai parpol yang dipastikan menjadi peserta pemilihan umum tingkat daerah, Golkar seharusnya memang segera merespons pesan KPU tentang persiapan dan tahap-tahap yang harus dilalui menuju penyelenggaraan Pilkada 2020.
Golkar sudah harus berancang-ancang untuk menghadapi Pilkada 2020 yang pelaksanaannya dijadwalkan pada 23 September 2020. Rencana kerja DPP dan DPD Golkar terkait Pilkada 2020 itu idealnya mulai disusun sejak sekarang karena aktivitas awal menuju pilkada dimaksud akan dimulai pada akhir September 2019 nanti.
Dengan begitu ada alasan yang sangat strategis jika banyak kader mendesak DPP Golkar segera menyelenggarakan rapat pleno. Jangan takut bahwa rapat pleno akan dimanfaatkan forum untuk hanya membahas jadwal munas. Jauh lebih penting adalah memanfaatkan rapat pleno itu untuk bersama semua DPD Golkar menatap Pilkada 2020, menetapkan target dan merumuskan strategi untuk mewujudkan target bersama itu.
Bagi semua parpol, kerja politik sejatinya sudah dimulai. Setelah KPU mengumumkan bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum ( PKPU) No 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada 2020 telah selesai diundangkan pada 9 Agustus 2019. KPU mengumumkan perkembangan ini pada Rabu (21/8).
Bagi peserta pemilu, termasuk Golkar, PKPU ini menjadi acuan tahapan pencalonan, kampanye, dan pemutakhiran data pemilih. Dan bersamaan dengan diundangkannya PKPU yang sama, semua daerah penyelenggara pilkada pun didorong untuk mulai melakukan persiapan awal.
Pilkada 2020 diselenggarakan di 270 wilayah meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Telah ditetapkan bahwa masa kampanye selama 81 hari, mulai 11 Juli hingga 19 September. Beberapa ketentuan ini diumumkan terbuka untuk mendorong semua pihak yang berkepentingan untuk segera melakukan kerja politik. Golkar pun idealnya segera menanggapi PKPU Nomor 15/2019 itu dengan serangkaian persiapan internal yang relevan.
Dari DPP, semua DPD tentu ingin tahu target, strategi, persoalan logistik hingga sosok atau figur-figur yang akan dicalonkan sebagai bakal calon (balon) gubernur, balon wali kota, dan balon bupati. Apakah DPP Golkar punya balon? Atau DPD diberi kebebasan untuk menjaring balon? Tak sekadar dibahas di forum pleno Golkar, pertanyaan atau masalah seperti ini harus intensif dibahas oleh DPP dan DPD. Maka harus ada komunikasi antara DPP dan semua DPD. Itulah pentingnya DPP Golkar segera membuka diri dan jangan lagi menutup rapat-rapat gerbang kantor DPP.
Akhirnya para elite DPP Golkar di Jakarta harus menyadari bahwa segera setelah terbitnya PKPU Nomor 15/2019 itu, daerah kini sedang menunggu pesan atau instruksi dari DPP. Cobalah untuk mendengarkan serta menanggapi aspirasi DPD dengan tidak membiarkan DPD berlama-lama menunggu.
Sebagai parpol besar, DPP Golkar harus profesional dan responsif. Jangan lagi berperilaku amatiran. Idealnya, DPP Golkar sudah bisa mendorong dan menantang semua DPD segera membentuk the winning team karena Golkar berambisi meraih kemenangan besar di Pilkada 2020 nanti.
Wakil Ketua Koordinator Bidang Pratama DPP Partai Golkar 2017–2019/Bendahara Umum DPP Partai Golkar 2014–2016
PENGERDILAN Partai Golkar akibat kepemimpinan yang lemah harus dihentikan. Perilaku otoriter dan diskriminatif harus dilawan sebelum berkembang menjadi sebuah preseden. Jika kepemimpinan yang lemah seperti sekarang dibiarkan, Golkar akan menjadi partai politik minimalis yang sekadar berburu jabatan menteri.
Persepsi tentang proses pengerdilan Golkar mulai terbentuk. Hari-hari ini Partai Golkar terus ditertawakan oleh khalayak, utamanya para pemerhati. Ada alasan bagi khalayak mengolok-olok Partai Golkar. Sebab hampir setiap hari selalu saja muncul drama konyol yang kemudian menjadi pemberitaan pers.
Ada drama tentang rebutan kantor dewan pimpinan pusat (DPP), pengerahan preman untuk menjaga kantor DPP, larangan bagi pengurus DPP menggunakan kantor, drama pemecatan, ritual sumpah setia hingga rapat-rapat pengurus yang berlangsung di sejumlah tempat. Wajar jika semua kekonyolan ini menjadi tertawaan publik. Kecuali segelintir orang di DPP, semua kader Golkar terpaksa menanggung malu.
Sejarah memang mencatat bahwa Partai Golkar sarat pengalaman. Tetapi fakta bahwa hari-hari ini Golkar tak bisa mengurus dirinya sendiri tak dapat ditutup-tutupi lagi. Semua masalah itu bersumber dari kepemimpinan yang kurang kuat. Ketua Umum Airlangga Hartarto dan orang-orang kepercayaannya di DPP tak mampu mengelola aspirasi kader dan perbedaan pendapat di tubuh partai.
Ketidakmampuan itu kemudian dikompensasi dengan tindakan otoriter berupa pemecatan pengurus di pusat dan daerah, penerapan kebijakan diskriminatif dan menyuruh oknum preman menggembok gerbang DPP di bilangan Slipi, Jakarta.
Dengan perilaku kepemimpinan seperti itu, Golkar seperti sedang dikemas menjadi partai politik yang minimalis. Ambisi atau target tak perlu besar. Cukup menjadi partai pendukung pemerintah lalu berharap belas kasih dari Presiden untuk mendapatkan jabatan menteri. Karena itu, konsolidasi partai pasca-Pemilu 2019 tidak masuk skala prioritas DPP Golkar.
Rapat pleno tak pernah diselenggarakan sehingga jadwal pelaksanaan musyawarah nasional (munas) belum jelas benar. Tampaknya para kader memang tidak berharap banyak dari elite Golkar. Hari-hari ini, orang-orang di DPP sedang sibuk menimbang-nimbang kader siapa menjadi menteri apa.
Tidak ada orang di DPP Golkar yang berbicara atau membahas target Pilkada 2020 dan target Pemilu 2024. Padahal gong bagi persiapan Pilkada 2020 sudah dibunyikan. Parpol lain sudah bergerak dan bersiap karena ingin meraih hasil maksimal dari Pilkada 2020. Partai Golkar akan meraih hasil yang sangat minimal jika pengurus pusat dan daerah tidak solid.
Kepemimpinan Airlangga dan orang-orang kepercayaannya telah merusak soliditas partai. Kalau keadaan seperti sekarang ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kebesaran Partai Golkar akan sirna di Pilkada 2020. Artinya, jika DPP Golkar tidak signifikan dalam merespons urgensi tentang persiapan Pilkada 2020, pengerdilan Partai Golkar sedang berporses.
Mau tak mau, kepemimpinan yang lemah dan kekanak-kanakan seperti sekarang ini harus dihentikan. Perilaku otoriter dan diskriminatif harus dilawan sebelum berkembang menjadi sebuah preseden. Akan sangat berbahaya bagi masa depan Partai Golkar jika gaya kepemimpinan sekarang ini menjadi preseden. Kemungkinan ini harus dicegah melalui mekanisme partai. Kalau opsi munas dihalang-halangi, opsi musyawarah nasional luar biasa (munaslub) menjadi pilihan yang tak bisa dihindari.
Menuju Pilkada 2020
Belum lama ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memberikan pesan kepada semua pihak yang berkepentingan dengan pelaksanaan Pilkada 2020. Tentu saja pesan KPU itu juga dialamatkan kepada semua parpol, termasuk Partai Golkar. Sebagai parpol yang dipastikan menjadi peserta pemilihan umum tingkat daerah, Golkar seharusnya memang segera merespons pesan KPU tentang persiapan dan tahap-tahap yang harus dilalui menuju penyelenggaraan Pilkada 2020.
Golkar sudah harus berancang-ancang untuk menghadapi Pilkada 2020 yang pelaksanaannya dijadwalkan pada 23 September 2020. Rencana kerja DPP dan DPD Golkar terkait Pilkada 2020 itu idealnya mulai disusun sejak sekarang karena aktivitas awal menuju pilkada dimaksud akan dimulai pada akhir September 2019 nanti.
Dengan begitu ada alasan yang sangat strategis jika banyak kader mendesak DPP Golkar segera menyelenggarakan rapat pleno. Jangan takut bahwa rapat pleno akan dimanfaatkan forum untuk hanya membahas jadwal munas. Jauh lebih penting adalah memanfaatkan rapat pleno itu untuk bersama semua DPD Golkar menatap Pilkada 2020, menetapkan target dan merumuskan strategi untuk mewujudkan target bersama itu.
Bagi semua parpol, kerja politik sejatinya sudah dimulai. Setelah KPU mengumumkan bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum ( PKPU) No 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada 2020 telah selesai diundangkan pada 9 Agustus 2019. KPU mengumumkan perkembangan ini pada Rabu (21/8).
Bagi peserta pemilu, termasuk Golkar, PKPU ini menjadi acuan tahapan pencalonan, kampanye, dan pemutakhiran data pemilih. Dan bersamaan dengan diundangkannya PKPU yang sama, semua daerah penyelenggara pilkada pun didorong untuk mulai melakukan persiapan awal.
Pilkada 2020 diselenggarakan di 270 wilayah meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Telah ditetapkan bahwa masa kampanye selama 81 hari, mulai 11 Juli hingga 19 September. Beberapa ketentuan ini diumumkan terbuka untuk mendorong semua pihak yang berkepentingan untuk segera melakukan kerja politik. Golkar pun idealnya segera menanggapi PKPU Nomor 15/2019 itu dengan serangkaian persiapan internal yang relevan.
Dari DPP, semua DPD tentu ingin tahu target, strategi, persoalan logistik hingga sosok atau figur-figur yang akan dicalonkan sebagai bakal calon (balon) gubernur, balon wali kota, dan balon bupati. Apakah DPP Golkar punya balon? Atau DPD diberi kebebasan untuk menjaring balon? Tak sekadar dibahas di forum pleno Golkar, pertanyaan atau masalah seperti ini harus intensif dibahas oleh DPP dan DPD. Maka harus ada komunikasi antara DPP dan semua DPD. Itulah pentingnya DPP Golkar segera membuka diri dan jangan lagi menutup rapat-rapat gerbang kantor DPP.
Akhirnya para elite DPP Golkar di Jakarta harus menyadari bahwa segera setelah terbitnya PKPU Nomor 15/2019 itu, daerah kini sedang menunggu pesan atau instruksi dari DPP. Cobalah untuk mendengarkan serta menanggapi aspirasi DPD dengan tidak membiarkan DPD berlama-lama menunggu.
Sebagai parpol besar, DPP Golkar harus profesional dan responsif. Jangan lagi berperilaku amatiran. Idealnya, DPP Golkar sudah bisa mendorong dan menantang semua DPD segera membentuk the winning team karena Golkar berambisi meraih kemenangan besar di Pilkada 2020 nanti.
(cip)