DPR Diminta Akomodir Keterwakilan Perempuan dalam Revisi UU MD3

Minggu, 08 September 2019 - 20:16 WIB
DPR Diminta Akomodir Keterwakilan Perempuan dalam Revisi UU MD3
DPR Diminta Akomodir Keterwakilan Perempuan dalam Revisi UU MD3
A A A
JAKARTA - Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi meminta, agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam merevisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), memperhatikan keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dan pimpinan dewan.

Menurut Veri, momentum menyuarakan keterwakilan perempuan pada revisi UU MD3 dirasa tepat. Hal tersebut mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Oleh karena itu, kami menuntut supaya DPR dalam revisi UU MD3 memasukkan putusan MK Nomor 82 Tahun 2014 ini sebagai rujukan dalam revisi UU nantinya," kata Veri dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (8/9/2019).

(Baca juga: Revisi UU KPK dan MD3 Dinilai Hanya Keinginan Segelintir Dewan)

Hal itu ditegaskan Veri kala membantu anggota DPR perempuan Khofifah Indar Parawansa dan Rieke Diah Pitaloka dalam judicial review, mengenai keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dan pimpinan dewan di MK.

Hasilnya kata dia, sudah diputuskan dalam putusan MK Nomor 82 Tahun 2014. Putusan terhadap Pasal 97 Ayat 2, 104 Ayat 2, 109 Ayat 2, 115 Ayat 2, 121 Ayat 2, 152 Ayat 2, dan 158 Ayat 2.

"Keseluruhannya menegaskan kembali dan dalam putusan MK disebutkan pimpinan MPR DPR DPD dan alat kelengkapan DPR itu mesti mengutamakan keterwakilan perempuan," jelasnya.

Pada saat judicial review di MK tersebut, meminta wajib adanya keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dari pimpinan DPR. Namun, pada saat itu MK mengambil jalan tengah, dengan memutuskan klausulnya tidak wajib tapi memperhatikan.

"Pada saat itu MK membuat pertimbangan yaitu kalau misalnya kami putuskan wajib soal keterwakilan perempuan, pertanyaannya bagaimana kalau tidak ada? karena kalau sudah diputuskan wajib soal keterwakilan perempuan kalau itu tidak dipenuhi maka akan diberikan sanksi hukum jika tidak ada keterwakilan perempuan," katanya.

Maka dari itu, Veri menilai MK sudah tepat memutuskan untuk tidak mewajibkan keterwakilan perempuan pada parlemen tapi harus memperhatikan keterwakilan perempuan.

"Oleh karena itu, Mahkamah menunjukan komitmen yang oke, kita tidak putuskan dengan klausul wajib tapi mengutamakan yang memiliki derajat lebih tinggi dibanding memperhatikan. Mengutamakan itu dalam artian, itu wajib dalam tanda petik hanya saja ini sebagai klausul antisipatif kalau misalnya nanti tidak ada perempuan," tuturnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6572 seconds (0.1#10.140)