Abraham Samad: Revisi UU Akan Bikin KPK Mati Suri

Jum'at, 06 September 2019 - 16:33 WIB
Abraham Samad: Revisi...
Abraham Samad: Revisi UU Akan Bikin KPK Mati Suri
A A A
JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberatansan Korupsi (KPK) Abraham Samad menilai revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK akan membuat lembaga yang pernah dipimpinnya itu akan mati suri.

Menurut dia, hampir semua pasal dalam revisi UU tersebut melemahkan kinerja KPK. "Dari rencana revisi Undang-undang KPK itu, beberapa point di antaranya akan membuat KPK Mati Suri," ujar Abraham Samad dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/9/2019).

Poin pertama, KPK hendak dimasukkan sebagai lembaga penegak hukum berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan atau di bawah presiden. Sedangkan pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan.

Menurut Abraham, jika KPK berada di bawah struktur kekuasaan eksekutif maka status independen KPK dengan sendirinya hilang. Padahal independensi menjadi syarat kunci tegaknya sebuah badan/lembaga antikorupsi.

"Ketika KPK berada di bawah eksekutif maka KPK akan bekerja mengikuti program-program eksekutif, seperti kementerian atau badan lain yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Pada situasi ini KPK akan mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tipikor," tuturnya.

KPK, kata dia, juga akan berbenturan dengan kejaksaan yang memang desain konstitusionalnya berada di bawah Presiden, dalam “perebutan pengaruh”. "Pada akhirnya jenis kelamin KPK akan berubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, semata mengerjakan tugas pencegahan korupsi saja, tidak lebih," tambahnya.

Kedua, masalah penyadapan. Revisi tersebut dinilainya hendak melumpuhkan sistem kolektif kolegial pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan dengan memperpanjang alur penyadapan dengan melibatkan izin Dewan Pengawas.

Menurut Abraham, perumus naskah revisi Undang-undang KPK tidak mengetahui standar operasional prosedur (SOP) penyidikan, termasuk penyadapan di KPK.

"Sebelum dilakukan penyadapan, izinnya harus melewati banyak meja, kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, kemudian meja lima pimpinan. Jadi sistem kolektif kolegial kelima Pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan itu. Sangat tidak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan," tuturnya.

Dalam revisi UU KPK, lanjut Abraham, nantinya ada organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang ini dibantu oleh organ pelaksana pengawas.

Dari poin itu, Abraham menganggap tidak adanya urgensi dibentuknya Dewan Pengawas untuk KPK. Sebab, jika alasannya untuk mengawasi KPK dari potensi penyalahgunaan kewenangan, kata Abraham, belum ada yang bisa menjamin jika Dewan Pengawas nantinya bebas kepentingan.

Apalagi, sambung dia, KPK sudah memiliki sistem deteksi dan prosedur penindakan internal jika ada pimpinan atau pegawai yang menyalahgunakan wewenang.

"Ada Pengawas Internal (PI) yang menerapkan standar SOP zero tolerance kepada semua terperiksa, tidak terkecuali Pimpinan. Sistem kolektif kolegial lima pimpinan KPK juga adalah bagian dari saling mengawasi. Ditambah jika ada pelanggaran berat yang dilakukan Pimpinan, bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya," katanya.

Selain itu, dalam Revisi UU KPK juga hendak memberikan wewenang kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.

Menurut Abraham, hal tersebut sama dengan wewenang yang dimiliki Kejaksaan dan Kepolisian, wewenang yang sering disorot masyarakat sipil.

"Lagipula, selama ini KPK selalu berhasil mempertahankan pembuktiannya di setiap sidang tipikor meski tanpa kewenangan SP3 (menghentikan penyidikan) itu. Karena proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di KPK terhubung 'satu atap' dalam satu kedeputian, Kedeputian Penindakan. Jadi, KPK jangan disuruh berkompromi dengan kasus tipikor yang disidiknya dengan memberikan wewenang menerbitkan SP3," ungkapnya.

Melihat pertimbangan itu, kata dia, tidak ada kepentingan hukum yang mendesak untuk merevisi Undang-undang KPK selain kepentingan politik.

"DPR perlu diingatkan bahwa ada banyak tunggakan rancangan undang-undang lain yang lebih penting untuk dibahas, ketimbang mengutak-atik Undang-undang KPK dan akan berhadapan dengan masyarakat," tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1382 seconds (0.1#10.140)