Revisi UU KPK, DPR Ingin Bunuh KPK secara Perlahan-lahan
A
A
A
JAKARTA - Rencana DPR melakukan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah disahkan sebagai RUU usulan inisiatif DPR merupakan upaya DPR membunuh KPK secara perlahan-lahan.
Pakar hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menilai, ada banyak kejanggalan yang bisa dilihat melalui draf RUU atas revisi UU KPK yang menjadi usul inisiatif DPR hingga kemudian disahkan sebagai RUU dalam Sidang Paripurna DPR. Dia berpandangan, upaya merevisi UU KPK memang merupakan agenda lama DPR meskipun revisi UU KPK tidak masuk sebagai RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019.
"Mereka (DPR) menemukan momentumnya sekarang. Kenapa? Karena ini (revisi UU KPK) adalah kolaborasi antar-kelompok dari lintas partai. Mereka sesungguhnya tidak berkeinginan KPK makin kuat dan pemberantasan korupsi yang transparan, jadi KPK harus diembat. Jelas sekali dengan revisi UU KPK, mereka (DPR) ingin membunuh KPK secara perlahan-lahan," ungkap JM Muslimin saat dihubungi, Jumat (6/9/2019).
Mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan, revisi UU KPK yang diinisiasi DPR menambah lengkap ancaman yang dihadapi KPK. Pasalnya, dalam 10 nama calon pimpinan KPK periode 2019-2023 yang disodorkan Presiden ke DPR masih ada calon pimpinan yang bermasalah. "KPK sedang diserang dari berbagai penjuru mata angin, masuk dalam kungkungan," tegasnya.
Muslimin menggariskan, proses muncul dan pengesahan revisi UU KPK sebagai RUU inisiatif DPR dalam Sidang Paripurna DPR juga telah melanggar UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Tata Tertib DPR. Padahal misalnya Tata Tertib DPR sebagai standard operating procedure (SOP) telah disusun, dibuat, dibahas, dan disepakati bersama oleh para anggota DPR. Karenanya keberadaan revisi UU KPK sebagai usul inisiatif DPR cacat secara hukum.
"Kalau itu (Tata Tertib DPR) dibuat bersama dan disepakati bersama tetapi tidak dijunjung tinggi, maka yang seperti ini akan kecanduan dan ketagihan. Suatu waktu akan terjadi lagi yang seperti ini kalau ditolerir," bebernya.
Direktur Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan, Presiden Joko Widodo harus mengambil dan memutuskan sikap tegas Pemerintah agar menolak revisi UU KPK yang sedang bergulir. Salah satu caranya, Presiden tidak menandatangani dan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR agar tidak terjadi pembahasan apapun di DPR.
"Kalau Presiden memiliki sense of urgency bahwa ini persoalan yang luar biasa penting dalam kaitan dalam menegakkan good governance dan clean government, maka secepatnya harus bertindak. Sebab kalau tidak, itu berarti terjadi pembiaran," tandas Muslimin.
Pakar hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menilai, ada banyak kejanggalan yang bisa dilihat melalui draf RUU atas revisi UU KPK yang menjadi usul inisiatif DPR hingga kemudian disahkan sebagai RUU dalam Sidang Paripurna DPR. Dia berpandangan, upaya merevisi UU KPK memang merupakan agenda lama DPR meskipun revisi UU KPK tidak masuk sebagai RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019.
"Mereka (DPR) menemukan momentumnya sekarang. Kenapa? Karena ini (revisi UU KPK) adalah kolaborasi antar-kelompok dari lintas partai. Mereka sesungguhnya tidak berkeinginan KPK makin kuat dan pemberantasan korupsi yang transparan, jadi KPK harus diembat. Jelas sekali dengan revisi UU KPK, mereka (DPR) ingin membunuh KPK secara perlahan-lahan," ungkap JM Muslimin saat dihubungi, Jumat (6/9/2019).
Mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan, revisi UU KPK yang diinisiasi DPR menambah lengkap ancaman yang dihadapi KPK. Pasalnya, dalam 10 nama calon pimpinan KPK periode 2019-2023 yang disodorkan Presiden ke DPR masih ada calon pimpinan yang bermasalah. "KPK sedang diserang dari berbagai penjuru mata angin, masuk dalam kungkungan," tegasnya.
Muslimin menggariskan, proses muncul dan pengesahan revisi UU KPK sebagai RUU inisiatif DPR dalam Sidang Paripurna DPR juga telah melanggar UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Tata Tertib DPR. Padahal misalnya Tata Tertib DPR sebagai standard operating procedure (SOP) telah disusun, dibuat, dibahas, dan disepakati bersama oleh para anggota DPR. Karenanya keberadaan revisi UU KPK sebagai usul inisiatif DPR cacat secara hukum.
"Kalau itu (Tata Tertib DPR) dibuat bersama dan disepakati bersama tetapi tidak dijunjung tinggi, maka yang seperti ini akan kecanduan dan ketagihan. Suatu waktu akan terjadi lagi yang seperti ini kalau ditolerir," bebernya.
Direktur Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan, Presiden Joko Widodo harus mengambil dan memutuskan sikap tegas Pemerintah agar menolak revisi UU KPK yang sedang bergulir. Salah satu caranya, Presiden tidak menandatangani dan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR agar tidak terjadi pembahasan apapun di DPR.
"Kalau Presiden memiliki sense of urgency bahwa ini persoalan yang luar biasa penting dalam kaitan dalam menegakkan good governance dan clean government, maka secepatnya harus bertindak. Sebab kalau tidak, itu berarti terjadi pembiaran," tandas Muslimin.
(pur)